Segala persiapan untuk pesta telah selesai. Sekarang semua penduduk desa hanya duduk diam di kursi yang sudah disiapkan, sambil berharap tidak terjadi apa - apa kepada Jampa. Pesta yang dinantikan belum bisa dimulai.
Cahaya bulan terasa semakin terang saat ini. Tidak lagi terhalang oleh rimbunnya pepohonan. Akhirnya mereka berhasil keluar hutan dengan selamat. Dari dalam hutan beberapa pasang mata menatap ke arah mereka. Gerombolan serigala abu - abu berhenti di pinggir hutan, insting mereka mendorong untuk menyudahi perburuan malam ini. Ditutup lolongan yang menantang, gerombolan itu berbalik kembali masuk ke pedalaman hutan. Mendengar lolongan itu, Viktor dan rekan - rekannya menoleh ke belakang.
"Lain kali.." ucap Viktor, diam sesaat kemudian membalikkan badannya melanjutkan perjalanan menuju desa.
"Amer.., mereka telah kembali" ucap seorang hulubalang datang melapor.
Mendengar hal itu Amer dan Nima sontak langsung berdiri. Disambut sorak sorai penduduk desa, muncul sosok Yuddha yang berjalan di depan yak.
"Para gadis, bersihkan rusa ini. Hari ini Jampa mendapat sesuatu yang spesial untuk kita" ucapnya tersenyum sambil menoleh ke beberapa orang gadis kemudian menunjuk bangkai rusa yang ada di punggung yak. Dengan cepat para gadis datang menghampiri kemudian menggotong bangkai itu untuk segera dibersihkan dan dimasak.Abiral dan Batsa yang datang setelahnya, langsung duduk di meja dan kursi yang telah disediakan khusus untuk para hulabalang. Abiral mengambil ceret yang berisi raksi kemudian langsung menuangkan ke mulutnya.
"Ayo kita lanjutkan pestanya" teriaknya, dengan jenggotnya yang sudah basah.
"beradablah sedikit Abi." sahut Batsa yang duduk disebelahnya sambil menuangkan ceret ke gelasnya.
"kita tidak pernah diajarkan tentang itu.." jawab Abiral kurang jelas, dia sedang meneguk raksi.
Menyembunyikan rasa sakitnya, Jampa dan Viktor berjalan menghampiri Amer dan Nima yang berdiri di balik meja.
"syukurlah kau baik - baik saja Nak, aku takut sesuatu yang buruk menimpamu" ucapnya lirih sambil menyeka air mata yang jatuh ke pipinya.
"lihatlah Ibu, selain kotor dan bau, aku baik - baik saja.." jawab Jampa senyum, mencoba menghibur ibunya.
"thek, thek, thek" Amer mengetok meja kayu yang ada di depannya.
Tiba - tiba keadaan menjadi tenang. Sambil tersenyum dan mengangkat tangannya dengan posisi terbuka Amer bersorak "bukankah ada pesta malam ini?"
Sorak sorai penduduk bergemuruh mendengar sambutan dari Amer tersebut.Dengan panjang lebih dari 100 meter dan lebar 50 meter, lapangan di depan balai desa cukup untuk menampung semua penduduk. Tepat di depan balai, sebaris meja dan kursi disiapkan khusus untuk kepala desa dan keluarganya. Pada sisi kanan sebaris meja untuk para hulubalang. Hadap - hadapan dengan meja hulubalang, berjarak 15 meter, di sisi kiri adalah tempat bagi para tetua desa. Menghadap ke meja kepala desa berjarak 25 meter, disusun berbaris - baris meja dan kursi untuk para penduduk desa. Api ungggun yang berada di tengah - tengahnya menjadi pemandangan yang hangat bagi mereka semua.
Para gadis mulai mondar - mandir mengantarkan makanan dan minuman dari dalam balai desa menuju meja - meja. 2 ekor ayam kalkun panggang diantarkan ke meja Amer, bersama beberapa ceret yang berisi air putih dan raksi. Piring - piring kecil yang terisi potongan daging domba juga diletakkan berjejer memanjang mengikuti arah meja. Di samping kanan Amer duduk istrinya yang bernama Sara diikuti oleh anak laki - laki mereka bernama Paul yang masih berumur 10 tahun.Jampa yang duduk di samping kiri Amer terlihat gusar dan tidak nyaman.
"ada apa? Kenapa kau terlihat gelisah? Tanya Nima melihat gelagatnya.
"aku merasa tidak nyaman dengan badan kotor dan bau seperti ini" jawab Jampa menghindar.
Amer yang mendengar hal itu langsung menoleh ke arah Jampa. Kebetulan saat itu Alisha melintas di depan mereka hendak mengantarkan beberapa piring makanan ke meja tetua.
"Alisha, tolong siapkan sepasang pakaian untuk Jampa. Seharusnya masih ada beberapa di dalam lemari" ucap Amer.
"baik Amer" jawab Alisha kemudian terus berjalan ke meja tetua.
"bersihkan dirimu, masuklah" ucap Amer sambil menepuk pundak Jampa.Berusaha berjalan normal dari tempat duduknya menuju ke dalam balai, Jampa memasuki salah satu kamar yang terletak di sudut kiri bagian belakang bangunan. Kamar yang biasa dipakainya dulu untuk tidur siang saat diajak oleh ayahnya ke balai desa. Alisha yang keluar dari ruangan perlengkapan melihat Amer sedang berjalan ke belakang. Saat sampai di depan kamar, dengan pintu yang tidak tertutup sempurna, Alisha melihat Jampa sedang memegangi kaki kirinya sambil meringis kesakitan. Ingin memastikan, dia masuk kemudian meletakkan pakaian yang dibawanya di atas sebuah meja kecil di pinggir tempat tidur. Melihat luka sobekan yang cukup panjang, hampir sejengkal dan masih mengeluarkan darah, dia buru - buru pergi meninggalkan ruangan itu.
"jangan beritahu siapapun, malam ini semua penduduk sedang bergembira, aku tidak ingin mengacaukannya" minta Jampa kepada Alisha yang berjalan meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Jampa membersihkan tanah dan serasah yang menempel pada lukanya dengan tangan. Sedang asyik membungkuk mengorek - ngorek lukanya suara langkah kaki masuk ke dalam kamar itu. Ternyata yang datang adalah Alisha, dia membawa sesuatu di tanganya.Melodi dari seruling yang mengalun indah, diiringi suara gendang berpadu dengan suara kecapi menyamarkan sorak - sorai penduduk. Menari sambil mengelilingi api unggun dengan tangan dibentang dan saling berpegangan melambangkan kehidupan yang rukun dan berkecukupan. Tarian ini ditujukan kepada dewi Annapurna yang telah memberi hasil panen yang banyak kepada mereka. Hidangan yang tersedia disantap dengan lahap, beberapa gadis masih mondar - mandir mengisi setiap piring dan ceret yang sudah kosong.
Alisha meletakkan mangkuk yang berisi air panas di lantai, kemudian mulai merendam handuk yang sebelumnya sudah disiapkannya.
"berbaringlah!, aku akan membersihkan lukamu" minta Alisha lembut.
Terlihat kulit wajahnya berkedut, menahan rasa sakit saat Alisha membersihkan lukanya. Kemudian Alisha merogoh saku bajunya mengeluarkan sepotong kain, kemudian membalut luka Jampa.
"nah, sudah selesai, silahkan bersihkan badanmu" Alisha tersenyum sambil berjalan keluar kamar.
"terima kasih Alisha" jawab Jampa sambil melihat pintu kamar tertutup.Setealah selesai membersihkan lukanya dan berganti pakaian, Jampa kembali duduk disamping Amer, Ibunya yang mendengar kedatangan Jampa hanya menoleh dan tersenyum.
"kau sudah kembali, ciciplah daging ini, kau pasti lapar" ucap Amer, sambil mengambilkan paha ayam kalkun untuk Jampa kemudian diletakkannya di atas piring.
"terimakasih paman" jawab Jampa lega karena luka di kakinya tidak lagi terasa mengganggu.
Di sela - sela riuhnya pesta, Jampa menggeser kursinya mendekat ke arah Amer. Dia yang masih dipenuhi rasa penasaran bertanya, "paman, apa yang kau ketahui tentang hutan larangan?" sambil melahap paha kalkun yang ada di depannya.
"maksudmu hutan yang berada diseberang sungai kecil diluar hutan perburuan suku kita kan? aku tidak tahu apa - apa tentang tempat itu" jawab Amer santai.
"dulu aku dan Kalden pernah beberapa kali dibawa keluar dari hutan perburuan kita, kami melihat ada sebuah hutan diseberang sungai. Kemudian kakekmu berkata, itu adalah hutan terlarang bagi suku Manang. Jangan pernah memasukinya. Kami yang tidak banyak bertanya hanya patuh dan menurutinya saja" ungkap Amer sambil sedikit melamun, teringat akan masa lalunya.
"apakah tidak ada penduduk desa yang pernah memasukinya" Jampa meneruskan pertanyaannya.
"ada beberapa larangan bagi suku Manang, salah satunya adalah memasuki hutan itu. Larangan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dulu. Tidak mungkin ada penduduk desa yang berani melanggarnya" tambah Amer, menjelaskan apa yang diketahuinya.
"kenapa kau tiba - tiba menanyakannya?" tanya Amer mulai heran
"bukan apa - apa, kebetulan saja tadi aku melihat hutan itu saat berburu" jawab Jampa singkat ingin menutupi.Pesta terus berlangsung hingga larut malam. Rusa hasil buruan Jampa sudah selesai dimasak. Sebagian daging diolah menjadi beberapa mangkok besar sop, sebagian lagi mereka bakar. Sepotong kaki dan 3 mangkok besar sop diantarkan ke meja Amer. Hangatnya api unggun menghilangkan hawa dingin yang turun dari atas pegunungan. Penduduk desa sangat menikmati malam yang berkah ini. Beberapa orang lelaki paruh baya yang sudah mabuk mengangkat kepala rusa hasil buruan Jampa di tanduknya. Mereka membawa kepala rusa itu mengitari api unggun, mengajaknya ikut menari sebagai penghormatan terkahir untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAMPA : Hunter From Himalayan Valley
Historical FictionPetualangan pemuda tampan bernama Jampa. Anak dari seorang kepala desa bernama Kalden. Tinggal di desa dengan sistem kekerabatan yang unik. Kisah ini menyajikan petualangan yang mendebarkan dengan berbagai intrik yang menghiasinya. Misteri dari sebu...