"Bukankah ini hutan larangan? Kenapa ada perangkap jerat disini?" tanya Jampa dalam hati. Sebagai pemburu dia mengetahui berbagai jenis perangkap yang dipakai untuk menangkap rusa, termasuk jerat yang satu ini. Dengan cepat dia melepaskan jeratan itu. Terlihat ujung jeratan terikat pada sebuah pohon seukuran lengannya dengan batang yang lentur dan cukup kuat untuk menahan hentakan rusa saat berusaha melepaskan diri.
"Pemburu tidak berebut mangsa!" salah satu etika pemburu yang pernah didengarnya dari Kalden.Cahaya matahari tidak lagi menembus masuk ke dalam hutan, menandakan gelapnya malam akan segera datang. Berjalan saat malam di tengah hutan akan sangat membahayakan.
"Akan sia - sia jika rusa yang telah mati ini tidak kubawa pulang. Malam ini, kalau tidak dimakan harimau atau beruang, besok pagi daging ini pasti akan busuk juga" gumam Jampa.
"suatu saat kita pasti akan berjumpa" janji Jampa menoleh ke arah perangkap jerat sambil mengangkat rusa itu naik ke punggungnya.
Perut dan leher rusa itu masih mengeluarkan darah, membasahi tubuh Jampa. Memikul beban berat di pundaknya, membuat kakinya yang terluka semakin terasa sakit. Namun tidak ada waktu untuk beristirahat. Setelah berhasil keluar dari hutan itu, Jampa berjalan mendekati sungai dan menurunkan bebannya. Disana dia membersihkan tubuhnya dari noda darah kemudian minum untuk melepas dahaga. Sambil memandang ke langit Jampa mencoba mengingat jalan yang mereka gunakan 10 tahun yang lalu, karena mendaki tebing dengan beban berat dan kaki yang terluka disaat gelap akan terasa mustahil. Sembari terus mengingat dia mengangkat kembali rusa itu ke punggungnya kemudian berjalan ke arah hulu sungai."Pemburu terhormat memberi hormat" Jessica Marrie Baumgartner
"Ameer..." teriak Nima menembus kerumunan penduduk.
Saat ini penduduk desa sedang bersiap - siap untuk merayakan pesta panen di depan balai desa. Terlihat beberapa penduduk sedang membakar daging domba dan beberapa ekor kalkun. Penduduk yang lain sedang menyusun meja. Gadis - gadis sedang mengumpulkan minuman dan makanan yang sudah masak ke dalam balai. Anak - anak kecil berlari di sekitar api unggun.
"ada apa Nima? apa yang terjadi?" Amer berdiri dari kursinya, begitu juga dengan Viktor yang berada di sebelah kiri Amer.
"sampai sekarang Jampa belum pulang ke rumah Amer, tidak biasanya dia berburu sampai selarut ini, aku kuatir Amer" ucap Nima, wajahnya terlihat pucat dan mulai menangis. Beberapa penduduk desa mendekat ke arah mereka penasaran atas apa yang sedang terjadi.
"tenangkan dirimu Nima, dia akan baik - baik saja" jawab Amer meyakinkan.
"Viktor, bawa beberapa orang terbaikmu dan susul Jampa ke hutan!" perintah Amer, sambil menoleh ke arah Viktor.
"baik Amer.." jawab Viktor sambil mengangkat tangan memberi isyarat kepada hulubalang untuk mengikutinya.
"bagaimana kalau kejadian 5 tahun yang lalu kembali terulang kepadaku? aku tidak akan kuat menghadapinya Amer" ucap Nima, dengan tangis yang semakin kuat tanpa memedulikan ucapan Amer sebelumnya.
"Tenanglah Nima, kami akan menemukannya" janji Viktor, sambil menepuk bahu adiknya pelan kemudian berjalan menghampiri beberapa orang hulubalang yang berada tidak jauh di belakang Nima.
"3 orang ikut denganku!, yang lain tetap berjaga disini" sambil menunjuk 3 orang terbaiknya.
"Yuddha, jemput seekor yak ke kandang" suara Viktor melanjutkan arahannya.
"lihat Nima, Jampa akan baik - baik saja, aku sangat yakin" bujuk Amer berusaha menenangkan Nima.
"Jampa salah satu pemburu terbaik di suku kita" sembari menuntun Nima untuk duduk di sebuah kursi, Amer menuangkan air putih ke sebuah gelas yang terbuat dari tanah liat.Berbekal 2 buah obor, Viktor dan rombongannya berjalan melintasi jalan setapak di tengah ladang gandum yang dipanen tadi.
"cahaya bulan sangat terang malam ini" ucap Yuddha memecah ketegangan, berjalan didepan yak sambil memegang tali kekangnya.
Dengan ciri khas sebuah pedang besar di tangannya, Viktor yang berjalan paling depan menengadah ke langit, "ya, dewi Annapurna akan hadir di pesta panen kita malam ini" ujar Viktor semakin kuat meremas gagang pedangnya.
"Sreeeng..., sreeng...." suara pedang tercabut dari sarungnya. Saat ini mereka sudah berada di pinggir hutan.
"Abiral, jaga sisi kiri dan kau Batsa jaga sisi kanan. Yuddha lindungi yak" perintah Viktor sebelum memasuki Hutan. Dengan penuh kehati - hatian mereka melangkah masuk ke dalam hutan.
"kita tidak bisa berlama - lama disini, cepat temukan Jampa" perintah Viktor tegas.Menempuh jalan memutar ke arah hulu sungai, Jampa sampai di kaki bukit yang tidak terlalu curam. Tanah liat bercampur pasir di dasar bukit membantunya mendaki masuk ke dalam hutan. Terdengar lolongan serigala tidak jauh dari arah belakangnya.
"aroma bangkai ini pasti menarik perhatian mereka" ucap Jampa dalam hati. Tanpa memedulikan rasa sakit di kaki kirinya, dia melangkah lebih cepat. Cahaya bulan membantunya menemukan tanda - tanda yang dikenalinya di dalam hutan. Sebuah pohon ek seukuran badan orang dewasa mencuri perhatiannya.
"ya, disana... itu dia" ucap Jampa tersenyum berjalan menuju pohon itu dengan sesekali menoleh waspada ke belakang. Sebelum berburu masuk lebih jauh kedalam hutan, biasanya dia duduk di pohon itu sambil mengasah pisau dan tombaknya, terkadang dia meraut anak panahnya disana. Lolongan serigala terdengar semakin dekat,
"setidaknya ada 7 ekor" perkiraan jampa dalam hati.
Tiada hasil yang mengkhianati usaha, itulah ungkapan yang sesuai atas perjuangan yang dilakukan Jampa. Luka di kaki kirinya semakin parah. Sekarang dari pangkal paha hingga telapak kakinya terasa kebas. Berat badan dan beban yang dipikulnya, kini keseluruhan ditopang oleh kaki kanannya saja. Terus melangkah sambil menarik kaki kirinya yang sudah tidak bisa lagi ditekuk, dia melihat sekelibat cahaya di sela - sela dedaunan mendekat ke arahnya. Pelan - pelan, mulai terdengar suara yang memanggil namanya."Jampa.... Jampa...."
"paman Viktor, akhirnya kau datang.." gumam jampa tertawa.
Dengan nafas tersengal dan suara serak, dia menjawab panggilan itu "aku disini.." sambil terus berjalan mendekat.
Viktor yang mendengar suara Jampa langsung merebut obor dari tangan Batsa dan berlari ke arah Jampa. Abiral yang sigap langsung menyusul di belakang Viktor meninggalkan Yuddha dan Batsa.
Jampa yang sudah kelelahan akhirnya terduduk, bangkai rusa yang ada dipunggunya jatuh sedikit berguling di belakangnya. Viktor yang melihat itu, langsung mancabut kantong air yang digantung dipinggangnya kemudian mengarahkannya ke mulut Jampa.
"minumlah, kau pasti haus" ucap Viktor.
Jampa langsung meneguk air itu sampai habis. "haaaaah.." terdengar suara lega keluar dari mulutnya.
"Ayo cepat, kita tidak punya banyak waktu" ucap Viktor, sambil menyerahkan obornya kepada abiral kemudian mendirikan Jampa dengan tangan kirinya dan menggotongnya berjalan menuju yak.
Merespon arahan dari Viktor, Abiral kemudian berjalan menuju bangkai rusa. Dengan tinggi badan 220 cm dan bobot melebihi 100 kg, dia mempunyai kekuatan yang luar biasa. Hanya perlu sedikit membungkuk, dia bisa mengangkat bangkai rusa itu di bagian lehernya dengan satu tangan, seperti mengutip daun dari tanah.Berwarna hitam gelap kecoklatan dengan ciri khas bulu yang sangat lebat dan panjang menjuntai lebih rendah dari perutnya. Yak atau biasa juga disebut dengan sapi tartary ini bisa ditemukan hampir diseluruh wilayah Himalaya. Hewan bertubuh kekar dengan kerangka besar memiliki kaki yang kokoh. Tanduk yang bisa tumbuh hingga sepanjang 1 meter menyapu dari sisi kepalanya lalu melengkung ke belakang. Untuk yak jantan memiliki bobot hingga 600 kg, yak liar bisa mencapai hingga bobot 1.000 kg.
Viktor mengangkat badan Jampa diikuti oleh Yuddha yang membantu dengan mendorong kaki Jampa untuk naik ke punggung yak. Karena sudah sangat kelelahan, Jampa menyandarkan tubuhnya ke kepala dengan kedua tangannya melingkar memeluk leher yak tersebut. Setelahnya, Abiral juga meletakkan bangkai rusa dipunggung yak tepat dibelakang Jampa.
"Yuddha, Abiral kalian jalan di depan" kata Viktor sambil menepuk bagian belakang yak, kemudian mengambil obor dari tangan kiri Abiral.
Berjalan di belakang Abiral sambil menuntun yak, sesekali Yuddha mengarahkan obornya ke wajah Jampa. Karena kesilauan, terlihat dia menyipitkan mata.
"sebelum memasuki desa, bantu aku untuk turun Yuddha, aku tak mau penduduk desa melihatku dalam kondisi seperti ini" minta Jampa kemudian menutup matanya.
Di bagian belakang Viktor dan Batsa berjalan mundur, mengantisipasi serangan yang mungkin datang. Sesekali dia mengarahkan obor ke pohon bambu yang tumbuh di sepanjang lereng bukit yang mereka lalui sekarang. Suara lolongan serigala masih mengintai, saat ini terdengar makin medekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
JAMPA : Hunter From Himalayan Valley
HistorycznePetualangan pemuda tampan bernama Jampa. Anak dari seorang kepala desa bernama Kalden. Tinggal di desa dengan sistem kekerabatan yang unik. Kisah ini menyajikan petualangan yang mendebarkan dengan berbagai intrik yang menghiasinya. Misteri dari sebu...