Aldan memetik sebuah bunga mawar yang dulunya sangat di sukai oleh Casaen. Kemudian menatap ke arah Arin yang saat ini menggendong seorang bayi laki-laki. Aldan mendekatinya, dan mengusap lembut ke arah si mungil itu.
"Jadi apakah yang mulia akan segera memberikan nama untuk anak ini?" Arin sengaja untuk bertanya seperti itu.
Karena setelah dilahirkan putra pertamanya, Aldan belum memberikan nama untuknya sama sekali. Arin tetap menjalin hubungan suami istri dengannya, dia juga bersedia melahirkan seorang pewaris untuk Aldan.
Meskipun begitu, bukan berarti dia telah melupakan Casaen dengan mudah. Arin masih belum bisa memberikan cintanya pada Aldan, terkadang dia juga jarang berbincang dengannya. Jika bukan karena kepentingan, Arin tidak akan menemui Aldan terlebih dulu.
Aldan juga tidak memaksa Arin untuk mencintainya. Karena Arin mencintai kakaknya, seseorang yang kini telah meninggalkan mereka semua.
"Aku belum memikirkan nama untuknya, apa kau tidak ingin memberikan nama untuknya saja," ucap Aldan yang tersenyum setelahnya. "Akan lebih bagus kalau kau yang memberikan nama untuknya."
"Jika yang mulia mengizinkan, aku ingin memberikan nama untuknya. Boleh aku menamainya Casaen."
Aldan tidak terkejut saat Arin mengatakan hal tersebut, dia mengerti perasaan Arin. Dia telah kehilangan seseorang yang di cintainya dengan tulus. Sebelum mendapatkan jawaban, Casaen mati untuk menyelamatkan Aldan.
Selama ini Aldan juga belum memberikan hal-hal yang baik untuk Casaen, dan sibuk untuk membencinya. Maka dengan mudah pula, dia mengizinkan Arin untuk memberikan nama itu pada putranya.
"Tidak apa-apa, berarti kita masih bisa mengingat kakakku. Casaen akan tumbuh dengan baik seperti dia," kata Aldan yang mengambil alih putranya dari gendongan Arin.
Sebenarnya Arin merasa bersalah, dia benar-benar tidak bisa mencintai Aldan dengan seharusnya. Bahkan beberapa kali Arin meminta Aldan, untuk mencari seorang selir. Guna memuaskan keinginannya.
Karena bagaimanapun, Arin masih sulit untuk memerankan perannya sebagai seorang istri. Dia hanya bisa memberikan Aldan seorang penerus, tidak dengan cinta.
"Arin jangan menyuruhku untuk mencari seorang selir. Karena aku cukup dengan satu wanita saja," ucap Aldan yang ternyata mengetahui, apa yang saat ini dipikirkan oleh Arin.
"Maaf karena belum bisa mencintai yang mulia."
Aldan tersenyum, dia merangkul pundak Arin. Dan berjalan beriringan dengannya. Bagi orang-orang yang melihatnya, mereka sedang menyaksikan hubungan putra mahkota dan putri mahkota sangat harmonis.
Mereka juga sering berkeliling di taman kerajaan, sambil membawa putra pertama mereka.
Padahal mereka tidak tahu, bahwa keduanya berada dalam pemikiran masing-masing. Walaupun sudah satu tahun berlalu, yang namanya kehilangan tidak akan bisa dilepaskan.
Apalagi yang menghilang ada seseorang yang berharga, hingga akhir pun penyesalan tidak ada habisnya.
"Kalau bukan karena kakakku, pasti aku sudah mati," ucap Aldan ketika Saryan dan Dankel mendekat ke arahnya. "Kalian beruntung ya, karena menghabiskan banyak waktu dengan kakakku."
Keduanya hanya diam saja, ketika mereka berusaha untuk melepaskan Casaen untuk ketenangan sosok itu. Aldan lah yang masih mengingatnya dengan baik.
Bahkan Aldan terlihat jelas masih belum bisa melepaskan Casaen. Karena ada banyak penyesalan dalam hidupnya, yang belum bisa di damaikan. Meskipun begitu, Dankel maupun Saryan tidak pernah menyalahkannya.
Bukan karena Aldan seorang pangeran, tapi karena Aldan juga tidak sepenuhnya bersalah.
"Ya Casaen memang orang yang hebat, aku beruntung berteman dengannya dari kecil. Bahkan aku tahu banyak hal tentangnya," kata Dankel yang menatap pangeran kecil, yang dikemudikan hari akan menjadi putra mahkota itu.
"Lalu siapa nama pangeran kecil ini?" Saryan yang penasaran akhirnya bertanya seperti itu.
"Namanya Casaen."
Sontak keduanya terkejut, walaupun setelahnya mereka juga tertawa. Pada akhirnya nama itu tetap tidak bisa terlupakan. Harapan seorang ibu yang ingin menjadikan putranya sebagai raja, untuk kesenangannya sendiri.
Kini membuatnya harus kehilangan putranya untuk selama-lamanya. Namun, mereka yang menganggapnya berharga. Mengingatnya dengan baik, sampai-sampai Casaen tetap diperlakukan seperti masih hidup.
"Aku jadi tidak ingin memanggilnya pangeran, jika namanya Casaen," kata Dankel sambil tertawa lepas.
Melepaskan memang tidak mudah, terbiasa atas kehilangan pun sama saja. Tapi mereka yang memang sudah ditinggalkan, perlahan-lahan berusaha untuk baik-baik saja.
Tetap tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa, dan menyembunyikan luka jika masih berharap pada hadirnya yang telah tiada. Di akhir kisah yang telah Casaen sempurna, dia berkorban untuk adik kesayangannya.
Dia menunjukkan sosok seorang kakak yang luar biasa. Hingga akhir dia pun telah menjadi yang paling terbaik. Aldan harap, di kehidupan selanjutnya Casaen akan menjadi kakaknya lagi.
Harapan dari ibunya, tidak terwujudkan. Karena dari awal pun, harapan itu merupakan kesalahan. Casaen berhasil, membuat harapan ibunya tak terwujudkan. Dengan begitu, dia memberikan kedamaian dalam hidup adiknya yang berharga. Sesuai dengan janjinya sendiri pada sang adik.
TBC 🥀
Setelah banyak perjuangan, dan menguras segala pemikiran. Serta memaksa otak untuk tetap berpikir, akhirnya aku telah berada di tahap akhir. Cerita ini mampu terselesaikan dengan sempurna, dan aku melepaskan segala kesulitan yang aku hadapi sebelumnya. Casaen aku mengabadikan namamu, meskipun kau telah tiada. Kau akan tetap ada dalam tulisanku yang berharga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Harapan Ibu [✓]
Fiksi RemajaCasaen terlahir dari seorang selir, dia tidak di anggap sebagai anak dari raja. Tidak peduli jika dia merupakan anak kandungnya sendiri, jika dia bukan putra mahkota maka dia tidak akan mendapatkan kehormatan. Dia merupakan anak haram, anak dari wan...