Aditi tidur di ruang kamar yang sama sekali tak sama dengan kamar lamanya. Walaupun begitu, ini tidak terasa lebih buruk. Kasurnya tetap empuk, selimutnya tetap hangat, dan luasnya tetap sama. Yang berbeda hanya perabotannya yang tak sebanyak kamar lamanya. Baginya itu tak masalah karena dia tak pernah menggunakan perabotan-perabotan itu atau bahkan mempedulikannya. Lalu, yang terpenting baginya, jendela balkon. Kali ini, dia membiarkannya terbuka seperti biasanya. Kesiur angin malam membuatnya merasa sedikit ngantuk selagi menatap langit-langit.

Aditi membiarkan rasa lelap menelannya jatuh ke alam mimpi.

Selama masih beberapa detik menutup mata, dia mendengar pintu kamarnya terbuka. Namun, dia memutuskan tetap menutup matanya.

"Dia sudah tidur rupanya." Suara pria itu begitu rendah hingga sulit untuk didengar.

"Yang Mulia?" Suara itu terdengar lebih jauh.

"Apa yang dia lakukan setelah insiden itu?"

Lawan bicaranya berpikir sejenak. "Putri menangis dan bersyukur karena kami mempercayai ceritanya. Dari hasil investigasi kami, nampaknya para pelayan Tuan Putri sulit mempercayai cerita Putri terkait penyamaran Havara."

"Hm, begitu rupanya. Panggil pelayan Aimara yang kau maksud besok pagi."

Aditi benar-benar terjatuh ke dalam alam mimpi, padahal dia ingin mendengar lebih jauh pembicaraan sosok yang dipanggil Yang Mulia oleh dua pengawal di depan kamarnya.

Malam yang tenang itu, Aditi menangis dalam tidurnya. Rasa rindu yang kuat menyerang hatinya hingga membuat air matanya menetes dari sudut matanya yang terpejam. Saat itu, yang dibayangkan Aditi sosok-sosok yang menerimanya sepenuh hati, tanpa melihat seburuk apa sifatnya ataupun berekspektasi tinggi terhadapnya. Dalam tempat yang gelap itu, hanya tampak dua orang. Mereka adalah orang tua Aditi di dunia asalnya. Namun, ketika dia berubah menjadi Aimara, ruangan hitam itu berubah menjadi kosong. Hanya ada Aditi, yang bersembunyi di dalam tubuh Aimara, dalam gegap gempita itu.

Suara ketukan di pintu kamarnya terdengar berulang kali. Nampaknya ini bukan rangkaian ketukan pertama lagi.

Aditi membuka kelopak matanya yang berat. Dia berniat menyibak poni yang mengganggu, tapi dia malah menyadari kalau kulit dahinya terasa panas.

"Hah, masalah apa lagi ini?" desis Aditi kesal. Suaranya tak sepenuhnya keluar. Tenggorokannya terasa sekering gurun sahara.

"Putri? Putri baik-baik saja? Apa boleh saya masuk? Maaf, tolong keluarkan suara jika memang Tuan Putri keberatan saya masuk, agar saya tenang." Suara perempuan yang asing itu merayap ke pendengaran Aditi. "Cacian juga tidak apa, kok. Saya semakin khawatir kalau Tuan Putri tidak merespon begini."

Aditi berusaha menggerakkan kakinya turun dari kasurnya karena suaranya tak bisa mencapai pintu kamar. Namun, begitu mencoba berdiri, dia malah tersungkur.

"Sialan, ada apa 'sih denganku? Aku 'kan tidak habis marathon, kenapa sendiku sakit semua?" keluh Aditi dengan suara yang nyaris tidak keluar.

"Biar saya buka," kalimat itu diikuti oleh gerakan daun pintu kamar yang terbuka. 

"Maaf atas kelancangan saya, Putri...."

"—astaga!"

Aditi mendecih dengan wajahnya menyadari orang lain melihat kondisinya yang menyedihkan bersimpuh di lantai.

Dua pengawal berlari mendekati Aditi dan membantunya kembali ke kasur.

Aditi berusaha tersenyum seperti yang Aimara tunjukkan, tapi rasanya sulit sekali. Energinya terasa langsung habis hanya untuk dipakai berpura-pura.

Unauthorized LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang