16

6 0 0
                                    

Aditi tidur dengan posisi miring membelakangi Albert dan api unggun. Di luar gua terlihat gelap gulita seperti tempat itu adalah ujung dunia. Suara katak yang patah-patah mengisi kekosongan malam hari di hutan.

"Aku terlalu banyak menangis." Aditi mengeratkan jubahnya untuk meredakan kedinginan yang merasuki tubuhnya hingga ke tulang. "Dasar lemah."

Albert mendelik. "Jangan berkata begitu."

Tangannya sedang sibuk menuangkan air mendidih ke serbuk obat untuk Aditi. Sedikit banyak, Albert tahu apa yang harus dilakukan setelah Aditi atau Aimara—dia tak punya ide sama sekali kenapa ada dua nama untuk satu orang—menangis hebat, yaitu menyiapkan obat demam.

"Saat kakiku sudah tidak sakit, aku malah demam. Penderitaanku ini tidak ada akhirnya," keluh Aditi.

Albert membuang napas berat mendengar rengekan Aditi. Dia melepaskan jas mantelnya dan menyampirkannya di tubuh Aditi.

"Sialan. Ini hangat sekali."

Albert hendak menegur Aditi karena mulut kotornya, tapi dia mengurungkan niat saat melihat Aditi tampak lebih tenang dan tidak menggigil lagi.

Albert melanjutkan proses pengadukan obat herbalnya dengan fokus. Sesekali dia melirik ke belakang untuk melihat bahwa jas mantelnya masih bergerak naik turun. Tangan Albert berputar lebih pelan untuk memeriksa apakah masih ada yang tertinggal oleh campuran air.

Terdengar suara gesekan di dinding gua. Gerakan tangan Albert terhenti. Matanya cekatan menyelidiki sumber suara. Suara itu bukan sekedar hewan buas atau gerakan ranting. Albert menatap jauh ke dalam kegelapan.

"Dia datang," ujar Aditi.

Albert menoleh ke belakang terkejut.

"Ada yang memakan sisa roti isi dagingku. Aku bahkan belum menyeruput teh-ku," ngigau Aditi dengan mata terpejam erat.

Albert mengelus dada, menahan tawanya mendengar celotehan Aditi. Dia bisa menebak isi mimpi Aditi. Saking lelahnya, perempuan itu sampai memimpikan momen mereka berdua hampir tertangkap oleh Yang Mulia di bar penginapan tiga hari lalu.

Albert menuangkan obat yang diseduhnya ke daun besar yang dia bentuk menyerupai mangkok berbentuk kotak.

"Aditi, bangunlah sebentar dan minum obat."

Aditi mengeluarkan suara erangan. "Aku mau teh yang waktu itu."

"Cepat bangun atau aku akan meminumnya untukmu," ancam Albert.

"Apa pula itu maksudnya?" geram Aditi dengan bibir tak bergerak dengan benar.

"Aditi," Albert menyibak jas mantel dan jubah Aditi, "cepatlah sembuh supaya kau bisa memenuhi tujuan hidupmu!"

Aditi bangkit kesusahan dengan siku tangannya. Dia tertawa setengah sadar dan mata terpejam. Albert menuntunnya untuk merasakan seduhan obat yang mencapai mulutnya. Aditi mengerjap untuk memastikan posisinya. Sambil kepahitan, Aditi terus meneguk obat seduhan Albert hingga tak bersisa. Wajahnya yang menahan mual membuat Albert berdehem menahan tawa.

"Bagus. Sekarang kau boleh tidur lagi."

Albert membantu Aditi kembali berbaring dan melindungi kepalanya dari dinding gua. Dia mengembalikan jubah dan jas mantelnya untuk menyelimuti Aditi.

Aditi tertawa, tawa yang diciptakan secara tidak sadar karena tak ada apapun yang seharusnya bisa ditertawai.

"Aku suka karakternya. Mereka tokoh yang sangat nyata hingga tidak bisa kuatur perilakunya sama sekali. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran tokoh-tokoh ini."

Unauthorized LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang