29

6 0 0
                                    

Aditi membuka matanya begitu menyadari dia bisa bangun. Albert yang memberikan pangkuannya untuk Aditi tidur pun ikut terbangun.

Albert bersitatap dengan Aditi selama beberapa detik sebelum tersenyum. 

Aditi bangkit duduk karena terkejut tiba-tiba melihat senyuman orang tampan. 

"Aditi, jangan tiba-tiba bergerak begitu. Tenanglah. Kau di tempat yang aman." Albert mengangkat tangannya khawatir.

Aditi tak sengaja bertemu mata dengan Havara yang duduk agak jauh dari dia dan Albert. Air mukanya santai, tak licik seperti ketika mereka biasa bertemu sebelumnya. Havara menaik-turunkan dua alis sambil tersenyum aneh.

Aditi memegang dadanya kaget. Dia tak tahu Havara bisa bersikap begitu.

"Jangan khawatir, Aditi. Havara tidak berniat mencelakaimu." Albert menjelaskan situasi.

Aditi mengabaikan kedua orang itu. Dia mengamati sekitar dengan curiga. Tempat itu bukan hutan. Meski ada pohon dan semak belukar, tapi tak ada aura kehidupan sama sekali di dalamnya. Selain itu, mereka semua berwarna gelap. Cahaya yang memberinya pantulan di mata juga berwarna ungu. Aditi memayungi matanya karena merasa bisa sakit mata.

"Ada apa? Apa kau terluka?" resah Albert.

Aditi mendadak menarik napas seperti orang asma. "Gaon! Aku harus bertemu dengan Gaon sekarang!"

Albert mengernyit. "Siapa itu Gaon?"

Aditi menarik pundak Albert. "Dia itu Dewa yang melindungi dunia ini!"

Baik Albert maupun Havara menatap Aditi penuh tanda tanya. Aditi menggigit bibir dan menutup bibirnya dengan kepalan tangan. Dia sangat khawatir bagaimana kondisi Gaon. Aditi berpikiran negatif jika Yang Mulia sempat melihat percakapannya dengan Gaon.

"Antarkan aku ke bar itu, Havara! Kita harus cepat!" Aditi bangkit dari tempat tidurnya, mengabaikan pikiran negatifnya.

"Kau pikir aku bisa teleportasi?" Havara mengernyit heran pada Aditi.

Aditi menukikkan alis dan berkacak pinggang. "Omong kosong macam apa itu?! Aku tahu kau bisa melakukannya!"

Havara hendak mengelak, tapi dia merasa tersudut.

Ketika sedang bersitatap dengan Aditi, Havara merasa sedang dibedah dengan pisau tajam hidup-hidup. Havara melempar pandang ke Albert, berusaha meminta pertolongan.

Albert menatap ke arah lain sebagai balasan.

Havara membuang napas panjang.

"Kalau begitu, kuturuti dulu permintaan Tuan Putri ini." Havara mengangkat tangannya.

Aditi menggapai uluran tangan itu dengan cepat. Seketika mereka berdua lenyap dari tempat bernuansa ungu itu.

Aditi merasa hampir pingsan lagi karena tiba-tiba pandangannya menggelap.

"Jangan tidur lagi." Havara memegangi pundak Aditi yang tampak akan tersungkur.

Aditi memelototkan matanya untuk kembali fokus. Dia berusaha menyeimbangkan diri untuk bisa kembali berdiri tegak. Dia melihat ke arah Havara memandang. Mereka berdua kini sudah berada di balik pohon besar yang tumbuh di depan bar yang dimaksud Aditi.

Aditi bersiap melangkah seribu menuju bar, tapi Havara menarik tangannya.

Aditi berbalik kesal. "Ada apa?!"

Havara melepaskan tangannya. "Sudah selesai. Masuklah ke dalam sana."

Aditi mengelus pergelangan tangannya yang ditarik oleh Havara sebentar sebelum berlari ke dalam bar. Ketika dia masuk dan semua mata menyambutnya, Aditi baru teringat oleh hal penting. Seingatnya wujudnya masih menjadi Putri Aimara.

Unauthorized LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang