19

7 0 0
                                    

"Hormat saya pada Yang Mulia." Aimara tersenyum dengan mata datarnya.

Segera setelah membungkuk sambil mengembangkan kedua tangan, Aimara melangkah ke hadapan Yang Mulia yang sedang bersandar di depan meja kerjanya, menilainya seolah juri tata krama.

Aimara sedikit mendongak untuk bisa menatap mata Yang Mulia.

Posisi Yang Mulia yang membelakangi jendela kaca besar membuat wajahnya terlihat gelap. Walau begitu, Aditi bisa melihat guratan percaya diri di mata Yang Mulia yang seolah menantikan hari ini akan datang cepat atau lambat. Petir dan kilat menyambar bersamaan.

"Aimara memenuhi panggilan ayah."

Yang Mulia tersenyum puas. "Kedatanganmu kemari menandakan kau telah siap mendeklarasikan diri sebagai penerusku."

Aimara tersenyum menanggapi ucapan Yang Mulia. "Benar, Ayah."

Yang Mulia melipat tangan dan tertawa dengan suara napasnya. "Karena kau sudah menunjukkan ambisimu, aku akan menunjukkanmu sesuatu."

Aimara hendak bertanya apa yang ingin ditunjukkan Yang Mulia, tapi dia terbelalak lebih dulu karena melihat Yang Mulia mendadak lenyap di depan mata kepalanya sendiri.

"Ayah?" Aimara berbalik cepat, tapi nihil, tak ada siapapun di ruangan itu. "Sesuatu apa yang ayah maksud?"

"Sesuatu yang akan membuatmu sadar bahwa hanya aku yang bisa melindungimu sekarang," gaung Yang Mulia. 

Aimara merasakan angin dingin yang menyelimuti kakinya.

Ketika Aimara menunduk, terlihat seonggok tangan hitam dengan kuku tajam melaju dari arah lantai menyentuh wajahnya, lurus menuju matanya. Seluruh otot Aimara tak berkutik ketika kegelapan total menelannya bulat-bulat. Lidahnya belum sempat untuk berteriak.

Ruangan kerja Yang Mulia berubah menjadi sebuah ruangan gelap gulita tanpa batas. Aimara tersentak ke belakang hanya untuk mengambil napas. Pemandangan mengerikan sebelum kegelapan menelannya masih belum tercerna dengan baik oleh seluruh saraf tubuhnya. Dia menyentuh dadanya dan mulai bisa kembali berpikir. Dia bisa merasakan seluruh inderanya masih bekerja dengan baik terkecuali penglihatannya. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak ada secercah cahaya pun yang masuk ke penglihatannya.

Cahaya muncul tanpa peringatan bagaikan kubah yang diangkat cepat. Aimara terhengkang jatuh di atas tanah penuh daun kering yang berserakan sambil refleks melindungi kepalanya.

Mata Aimara mendongak sempurna ketika melihat dua pasang kaki yang menyejajari pandangannya. Dia memekik mengenali orang yang sedang berdiri di depannya adalah Havara dan Albert.

Mereka berdua terlihat sedang membahas sesuatu yang serius. Saking seriusnya hingga tak menghiraukan keberadaan Aimara sama sekali, seolah dia hanya daun kering lain diantara ribuan daun di atas tanah.

Havara menatap mata Albert dengan dingin. Pandangannya terlihat tajam menusuk. Meski terlihat fokus, tapi isi kepalanya sedang menerawang jauh ke masa lalu. Aimara terkejut dia tersedot ke dalamnya.

Sebuah daratan yang dipenuhi api, tak tahu dari mana asalnya. Seolah dari awal sudah berkobar api, padahal Havara yakin tak begitu. Sebuah tempat yang terasa seperti neraka semenjak dia lahir, tapi dia tetap menganggapnya sebagai rumah. Havara yakin dirinya tak memiliki apapun di tempat itu, tapi di saat yang bersamaan hanya tempat itu yang dia miliki.

Hanya tempat itu, dan seorang teman.

Di malam yang naas itu, semua yang biasa dilihatnya menyatu dengan tanah. Havara yang masih anak-anak hanya bisa termangu dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Noda abu dan darah menghiasi wajahnya yang polos. Tubuh kecilnya bersembunyi, atau lebih tepatnya tertimbun reruntuhan rumahnya. Dia baru menyadarinya sekarang bahwa itu adalah momen yang harus dia syukuri seumur hidupnya meski dia mendapatkan luka besar di punggungnya. Karena dia adalah satu-satunya yang selamat diantara ratusan ribu penyihir dari seluruh daratan negerinya.

Unauthorized LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang