28

7 0 0
                                    

Lebih cepat! Dia akan membunuhku! Lebih cepat! Dia akan membunuhku! Lebih cepat! Dia akan membunuhku! Lebih cepat! Dia akan membunuhku!Lebih cepat! Dia akan membunuhku! Lebih cepat! Dia akan membunuhku!Lebih cepat! Dia akan membunuhku! Lebih cepat! Dia akan membunuhku!

Aditi berhasil keluar dari tangga spiral dari ruang bawah tanah. Rupanya, ruang bawah tanah itu terletak tepat di bawah ruang kerja Yang Mulia. Aditi menyapu sekitar sambil menyeka peluh yang membuatnya basah kuyup. Dia memunggungi meja kerja yang mulia untuk mendorongnya ke atas pintu bawah tanah. Setelah punggungnya sakit, Aditi mengerahkan kedua tangannya untuk menggesernya hingga berhasil menutup sempurna jalan keluar Yang Mulia dan Vancouver.

Tanpa beristirahat menarik napas, Aditi berlari keluar dari ruang kerja Yang Mulia. Dia berlari melewati lorong demi lorong, belokan demi belokan, yang setengah gelap karena sudah malam hari. Matanya berkaca-kaca, tapi langkahnya tak menyurut sedikitpun. Dia berusaha mengingat rute menuju kamar Aimara karena usaha kaburnya akan lebih mudah dilakukan dengan terjun dari sana daripada melewati bagian tengah istana.

Ketika sampai di belokan, Aditi memekik karena menabrak seseorang yang sama-sama sedang berlari. Aditi buru-buru berdiri tanpa menghiraukan kepalanya yang nyeri.

"Tuan Putri, ini saya!" Izy menyentuh dadanya sendiri.

Aditi menurunkan tangannya yang sudah hampir mewujudkan Kunci Ebbinghauss.

Mata Izy berkaca-kaca. "Tuan Putri, syukurlah Tuan Putri selamat!"

Izy langsung memeluk Aditi tanpa persetujuan lebih dulu. Aditi masih belum membalas pelukan itu. Dia bisa mendengar Izy menangis tersedu-sedu di pundaknya.

"Saya melihat Tuan Putri dibawa pulang dalam keadaan penuh darah. Mereka menyuruh saya membersihkan dan merias diri Tuan Putri lalu mereka membawa pergi Tuan Putri entah kemana. Saya tidak tahu apa yang mereka semua lakukan pada Tuan Putri. Saya sangat bersyukur melihat Tuan Putri masih hidup."

Aditi melepas pelukan sepihak Izy. Dia pun ingin menangis bahagia karena berhasil selamat dari perjanjian iblis, tapi sekarang bukan waktunya untuk itu.

"Izy, kaburlah bersamaku. Ayo kita keluar dari istana ini sekarang juga." Aditi menyentuh wajah Izy untuk menatapnya.

Izy memegang kedua tangan Aditi yang menyentuh wajahnya. Aditi bisa merasakan tangan Izy bergetar ketakutan. Meski begitu, Izy mengangguk mantap.

Aditi dan Izy berlari bersama menuju kamar Aimara. Suasana di lorong terasa terlalu hening. Aditi menatap sekitar waspada. Seingatnya, selalu ada pengawal yang berjaga di area lorong sebelum kamarnya, tapi sekarang tidak ada siapapun.

"Kemana semua pengawal?" tanya Aditi dengan napas memburu.

Izy berusaha menjawab walau suaranya tersengal-sengal, "Ada ... penyusup, Tuan Putri. Mereka semua berlari untuk menjaga pintu depan istana."

Aditi menggigit bibir. Jika semua pengawal memusat di area taman depan istana, maka pelariannya tidak akan mulus sama sekali.

Begitu mereka sampai di depan pintu kamar, Aditi membukanya dan mempersilakan Izy untuk masuk lebih dulu.

Aditi langsung berlari menuju balkon sambil menunjuk ke arah pintu kamarnya. "Izy, geser meja tulisku untuk menahan pintu kamarku."

Izy mengangguk dan segera melaksanakan perintah Aditi. Dia berlari ke sisi lain meja dan mendorongnya dengan seluruh tenaganya. Meja itu sukses teronggok menghalangi pintu kamar Aimara.

Aditi merangkak di balkon. Dia melongokkan kepalanya sembunyi-sembunyi, menatap ke bawah. Lebih dari dua puluh pengawal berjaga di pintu depan istana dan jalan menuju gerbang depan. Mulutnya ternganga saat melihat cakar raksasa menerjang barisan pengawal di sekitar taman.

Unauthorized LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang