10

6 0 0
                                    

Aditi memikirkan kembali apa yang telah dia lakukan. Langkahnya tak menyurut meski pikirannya sedang melayang. Aditi menatap tangannya sendiri. Tangan yang dengan entengnya menebas delapan orang pria dalam sekali sabetan sabit. Sejak Aditi masuk ke raga Aimara, tak pernah sekalipun dia mempertanyakan apa kekuatan istimewa yang dibawanya sebagai pencipta dari dunia ini selain dari sisi kemahatahuannya. Namun, sekarang Aditi merasa perlu untuk mencari tahu apa kelebihannya dibanding pemilik raga yang asli. Karena dia butuh segala hal untuk bisa bertahan dan menyelesaikan cerita ini dengan baik.

Aditi berhenti berjalan. Kepalanya berputar ke sana ke mari. Dari tadi Aditi sadar jika dirinya hanya berjalan tanpa arah yang pasti. Dirinya yang lain hendak menampik dengan berkata bahwa dia punya tujuan, tapi dirinya juga menyanggah kalau dari tadi dia tak tahu ke mana sebenarnya dirinya harus pergi.

Suara ledakan merusak ketenangan di dalam hutan. Aditi refleks menutupi telinganya. Bulu kuduknya berdiri. Dia berbalik, berusaha melihat sumber dari bunyi yang menyerupai bom. Hanya batang pohon yang bisa terlihat sejauh apapun matanya melihat. Aditi sudah bersiap mengambil langkah seribu untuk berlari menjauhi sumber suara. Itu sebelum angin kencang menerpa dirinya dari arah suara ledakan.

Ketika angin itu menyentuh kulitnya, Aditi bergidik. Aroma darah yang dibawa angin membuat Aditi menelan ludah kesusahan. Dirinya ingat betul alasan dibalik perasaan takut yang kental mengalir dalam darah raga Aimara saat ini.

"Havara!?"

Aditi berlari melawan arah yang dia tuju. Seiring dia mendekati sumber suara, angin yang datang dari arahnya semakin kencang. Aditi harus melindungi wajahnya dari daun-daun yang beterbangan tak beraturan menuju arahnya. Serta bau darah yang tak Aimara sukai.

Angin semakin kencang hingga menerbangkan tudung kepala Aditi.

Sambil melindungi penglihatannya, Aditi berusaha mengamati apa yang sedang terjadi.

Orang yang selama ini sedang dia cari bertarung dengan orang yang membuntutinya selama beberapa hari terakhir.

Albert dan Havara saling melancarkan serangan dengan intensi membunuh. Aura kebiruan menguar dari tubuh Albert seiring dia mengayunkan pedang besar dua tangannya. Sedangkan Havara menggunakan cakar raksasa yang menguarkan aura hitam. Kekuatan serangan mereka begitu destruktif hingga membuat angin puting beliung di tengah hutan.

Gerakan cakar yang lebih luwes membuat Albert semakin terpukul mundur. Havara berteriak sembari terus mengayunkan tangannya untuk memberi cakar hitamnya tenaga.

Dari teriakannya, Aditi bisa menilai jika Havara benar-benar murka.

"Kenapa kau membunuh orang-orangku?!" berang Havara.

Albert tidak mengatakan apapun, tapi serangan balasannya yang semakin kuat ingin menunjukkan bahwa tuduhan itu tidak salah.

Aditi melebarkan mata memahami apa yang dia saksikan. Albert sedang berusaha melindunginya. Tapi kenapa? Aditi tak punya ide sama sekali mengenai jalan pikiran ksatria itu.

Albert terpukul mundur lagi. Kesabarannya telah habis. Dia mengangkat pedangnya setinggi-tingginya. Aura emas menguar mengelilingi pedangnya.

Bersamaan dengan itu, Havara mengepalkan kedua tangannya. Tubuhnya dikelilingi asap hitam pekat yang mengancam. Tangan cakar yang dia hasilkan membesar dan jumlahnya bertambah.

Aditi berlari sekuat tenaga ke tengah pertarungan itu, melawan arus angin yang bisa saja menerbangkan tubuhnya. Akalnya tak sempat berpikir. Dia hanya ingin menghentikan pertarungan yang melibatkan dua sumber kekuatan tak masuk akal itu. Langkahnya masuk ke dalam jarak pertempuran dan suaranya menjerit mengalahkan angin.

Unauthorized LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang