38

1 0 0
                                    

Tubuh Yang Mulia musnah tak bersisa. Tak ada bekas apapun dari dirinya. Hanya pedang besar Yang Mulia yang tertancap di tanah yang menjadi saksi bahwa dia pernah ada di peperangan itu malam ini. Butiran cahaya emas melepaskan diri dari pedang Albert, menguap ke langit malam yang mulai berawan. Aditi meremas dadanya yang terasa sesak. Pastinya, itu bukan perasaannya sendiri.

Aditi menoleh, tadinya dia berniat menyelidiki kondisi peperangan, tapi setelah melihat jasad Derek yang tertusuk tombak, dia tiba-tiba teringat Vancouver yang tadinya mengejarnya. Aditi mengamati Havara yang sedang berlari ke arahnya. Sudah pasti Havara yang melindungiku dari Vancouver.

Aditi mencari ke sekitar dengan cermat. Matanya menjelajahi wajah yang tampak dalam peperangan. Baik yang sedang terbujur kaku, berlutut, atau berdiri dengan senjata. Dahinya mengernyit kecewa tak menemukan batang hidung Vancouver.

"Apa yang kau cari?" tegur Havara ikut mengawasi sekitar.

"Vancouver, orang gesit itu, dia tangan kanan ayah Aimara."

Napas Havara tercekat mendengar kalimat Aditi.

Aditi menoleh, memikirkan apa ada yang salah dengan perkataannya. Setelah Aditi pikir kembali, wajar jika Havara terkejut karena Aditi yang menggunakan raga Aimara menyebut ayahnya sendiri bagaikan ayah orang lain.

Setelah sedikit waktu, Havara mengembalikan raut wajahnya yang semula karena mengingat orang yang sedang berada raga Aimara sekarang bukan Aimara sendiri.

"Sepertinya orang licik itu melarikan diri dari peperangan begitu menyaksikan tuannya kalah." Aditi menyentuh dadanya yang berdebar ganjil. "Aneh. Sikap itu tak seperti dirinya."

"Biarkan saja pengecut itu." Havara menggeleng, mengisyaratkan pada Aditi untuk melupakan kekhawatirannya. Matanya berhenti ketika menangkap sesuatu di balik bahu Aditi.

Aditi ikut berbalik karena penasaran.

Albert, dengan napas terengah-engah dan aura emas yang masih memancar keluar dari zirahnya, berdiri di belakang Aditi dengan penyangga berupa pedang. "Apakah kita langsung menyerbu istana wilayah Tengah sekarang?"

"Tidak perlu. Istana wilayah Tengah sudah dikuasai," jawab Raja Wilayah Barat Laut.

Raja Wilayah Barat Laut melangkah mendekat dan menjelaskan secara garis besar apa yang dia dan pasukannya beserta Havara lakukan sebelum tiba di hutan ini.

Setelah menjelaskan strateginya, Raja Wilayah Barat Laut melempar senyuman penghargaan ke arah Albert dan langsung memberi selamat, "Selamat, Penguasa Wilayah Tengah yang baru."

Albert berusaha mengolah semua informasi yang terlontar dari Raja Wilayah Barat Laut secara matang. Matanya memperhatikan pakaian pria yang baru saja mendekatinya dan bicara panjang lebar itu tampak berbeda dari pasukan di sekitarnya. Albert melirik Havara untuk meminta petunjuk.

Havara tersenyum dan manggut dalam-dalam.

Albert mengangguk paham. Pose istirahat di atas pedangnya dia akhiri. "Terima kasih banyak atas bantuan Yang Mulia Penguasa Wilayah Barat Laut."

Raja Wilayah Barat Laut mengangkat tangannya. "Tolong jangan panggil aku 'penguasa' sama seperti orang itu."

Albert tersenyum menyesal melihat Raja Wilayah Barat Laut terlihat sangat membenci semua hal yang berkaitan dengan Penguasa Wilayah Tengah, bahkan jika itu hanya julukan yang familiar. "Baik, maaf, Yang Mulia."

Ketika Albert mulai bertanya tentang istana, Aditi langsung terpikirkan oleh satu orang. Seseorang yang menyelamatkan nyawanya dan Aditi harap juga masih hidup saat ini.

"Kalau begitu, kita sudah bisa kembali ke istana?" tanya Aditi terdengar seperti memikul sebuah harapan.

Albert menoleh. "Kenapa kau buru-buru ingin kembali?"

Unauthorized LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang