Act 2 : Mangsa para hewan buas

70 17 0
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi. Siswa dan siswi bersiap untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Adapun mereka yang disibukkan dengan ekskul atau organisasi pergi melanjutkan kegiatannya. Blaze, yang sejak awal kelas 9 memilih berhenti dari ekskul sepak bola tidak lagi berlari ke lapangan dengan semangat. Kini anak itu sudah berada di luar gedung sekolah dan hendak berjalan pulang.

Syukurlah hari ini tidak ada tugas, jadi dia bisa bersantai dan berkeliaran hingga petang untuk bermain di luar. Musim panas sangat berharga, terlebih untuk anak api yang menyukai sinar matahari dan panas terik yang menyenangkan.

Jarak rumah Blaze dengan sekolahnya tidaklah begitu jauh, dia hanya perlu menempuh perjalanan selama 10–15 menit dengan berjalan kaki untuk bisa bolak-balik dari rumah ke sekolah. Itu adalah waktu yang pas untuk seorang anak SMP yang masih dalam masa pertumbuhan.

Rumah Blaze berada di komplek perumahan yang berada dekat dengan pantai. Di sana matahari terasa lebih panas daripada tempat yang lainnya. Meski begitu, udara nya tetap terjaga sehingga dirinya tidak pernah merasa begitu pengap.

...

Blaze berjalan santai seperti biasanya, setelah banyak berhenti karena sapaan orang-orang yang mengenalnya dia jadi terlalu banyak menyita waktunya meski begitu dia sangat senang bisa berinteraksi dengan banyak orang.

Di jalan pulang, dia berhenti ke sebuah warung kecil untuk membeli minuman dingin dan duduk disana sejenak. Di samping warung itu terdapat sebuah taman kecil dengan permainan anak-anak, Blaze ingat dia juga sering bermain disana sewaktu kecil. Matanya mengitari taman itu, tidak banyak yang berubah semuanya masih terlihat sama, ayunan merah dan biru yang semakin warnanya telah pudar, seluncuran merah yang cat-nya mengelupas dan jungkat-jungkit yang per-nya telah berkarat membawa nostalgia pada dirinya.

Seseorang datang dan duduk di atas ayunan yang warnanya sudah sulit dikenali, orang itu memakai seragam sekolah yang sama dengannya, mungkinkah itu teman sekelasnya?

Blaze datang menghampiri orang itu, dia sedikit familiar di mata Blaze meski dari jarak yang jauh Blaze bisa merasakan sesuatu tidak menyenangkan dari dirinya.

"Hey," panggil Blaze, orang itu menoleh wajahnya pucat dan sedikit berkeringat.

"Ais?" Ia terkejut, ternyata itu adalah Ais dia menanggalkan topi yang biasa dia pakai dan menampakan rambutnya yang sedikit berantakan.

Blaze mengambil tempat di ayunan lainnya dan kembali berbicara, "lagi ngapain? capek ya jalan, pasti kepanasan. Gua juga lagi diem dulu di warung, hari ini panas banget padahal udah mau jam 4 sore."

Ais tetap diam, dia tidak menjawab pertanyaan Blaze, hanya diam bahkan jemarinya pun tidak bergerak sama sekali.

Blaze yang merasa diabaikan merasa kesal, tapi dia menahan rasa kesalnya karena dia tau hubungan keduanya masih sangat canggung, mereka baru berteman beberapa jam yang lalu.

"Ais, lu oke?" Blaze menepuk pundak Ais pelan, dia melihat wajahnya dekat-dekat. Wajahnya yang pucat itu dipenuhi lebam, luka, dan sisa-sisa darah yang baru kering.

"Ais! Kenapa muka lu bonyok anjir? Bentar, gua beli plester dulu." Melihat Ais yang berantakan dengan segala luka dan lebam di wajahnya Blaze segera pergi ke warung untuk membeli beberapa plester dan air.

Blaze berdiri di hadapan Ais yang masih diam sambil menggenggam plester dan air dingin di tangannya. Blaze tidak begitu paham bagaimana cara mengobati orang, tapi dia ingin membantu.

"Ais, pake ini." Blaze mengulurkan plester kepadanya. Ais mendongak dan menerima plester itu dengan ragu.

"Makasih." Jawabnya.

Ais membuka plester yang diberikan Blaze, menempelkannya satu persatu di wajahnya dengan susah payah. Blaze masih setia berdiri dihadapannya, melihat Ais yang kesulitan mengobati lukanya Blaze dengan cekatan membantunya.

"Sini gua bantu." Mengambil tangan Ais dan membuatnya diam, Blaze mulai menempelkan satu persatu plester pada wajah Ais yang penuh luka.

Ais diam dan membiarkan Blaze membantunya, dia tahu dirinya tidak bisa melakukannya sendirian karena itu bantuan Blaze sangat berharga untuknya. Mungkin lebih dari itu, kehadiran Blaze cukup untuk membuatnya lebih baik.

"Udah." Blaze menarik tangannya dari wajah Ais, dia melihat masih banyak lebam biru keunguan yang membengkak di sekitar pipinya.

"Luka gores sama yang berdarah-darah udah ketutup, tapi itu lebamnya masih belum." Ucapnya.

"Kalo ga salah, luka biru lebam gitu bisa mendingan kalo pake air dingin atau dikompres gitu." Blaze melanjutkan, dia membuka tasnya yang ia letakkan di atas ayunan.

"Gua ga bawa kain buat kompresan, lu mau ke rumah gua dulu?"

Entah dari mana alasannya, Ais yang mendengar ajakan Blaze merasa begitu terkejut.

"Ga usah Blaze," tolaknya merasa tidak nyaman.

"Kamu udah bantuin aku, aku gabisa repotin kamu lagi. Aku belum ada uang buat gantiin uang plester ini, besok aku bakal ganti di sekolah." Lanjutnya.

Ais mencoba berdiri, tapi kakinya terasa begitu perih dan sakit. Blaze tau itu, itu terlihat jelas dari celananya yang begitu kotor sehingga kainnya pun tergores.

Blaze menahan Ais yang kesulitan berdiri, dia menuntunnya untuk duduk kembali di ayunan.

"Anjir, lu kaga usah sok gitu dah. Lihat kaki lu pincang, kepeleset dikit ge patah." Blaze menceramahi nya dengan asal, tapi reaksi Ais sangat berbeda dari yang dia harapkan. Ais terkejut dahsyat ketika mendengar kakinya akan patah.

"Hah, beneran bakal patah?" Ia bertanya dengan lesu.

"Boongan anjir, mana ada kepeleset patah. Lu bukan lidi." Jawabnya asal.

Ais akhirnya tenang kembali, tapi rasa perih di kakinya masih belum usai.

Blaze di sampingnya terus melihatnya yang berdesis kesakitan sambil mencoba memijat kakinya sendiri.

"Kata gua juga apa, ayo ke rumah gua dulu. Nanti abis diobatin baru pulang, ayo dah. Jangan banyak nolak."

Blaze sangat keras kepala, dia langsung mengambil tasnya juga tas milik Ais yang berada dibawahnya.

"Blaze, bentar — "

"Lu bisa jalan ga?"

Belum sempat dia selesai bicara, Blaze sudah memotongnya lebih dulu.

Ais yang tau dia tidak bisa menolak Blaze dengan apapun caranya memilih untuk mengikuti ucapannya. Saat pertanyaan dari Blaze sampai kepadanya, dia langsung mengangguk pelan.

"Aku masih bisa jalan."

Blaze menatap Ais dengan ragu, tapi dia tidak mau berlama-lama.

"Oke dah, gw tuntun lu aja. Nanti kalo susah jalan langsung bilang ya!"

Ais mengangguk, "o-oke."

Akhirnya, Ais menerima tawaran Blaze pergi ke rumahnya untuk diobati. Mereka berjalan tidak terlalu lama, beberapa menit setelah itu keduanya sampai ke rumah Blaze.

Ghost Boy (少年レイ) | Boboiboy Temperduo song-fictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang