Tiga hari yang lalu...
Diana Swaine tidak pernah menerima kedatangan tamu saat jam makan siang, ia tidak menerimanya lebih tepatnya. Tapi ketika ia tahu bahwa tamunya tetap ingin menemuinya dan membuat jam makan siangnya sedikit terlambat, Diana duduk menunggu di ruang kerjanya.
"Hai, Ma." Augie menyapa ibunya dan mengecup kedua pipinya.
Diana Swaine, wanita yang siang itu memakai gaun kerja berwarna putih tulang dengan aksen ikat pinggang berwarna rose gold yang membuat tampilannya semakin elegan menyipitkan matanya melihat kedatangan anak satu-satunya. Augie bukanlah orang yang akan melakukan sesuatu untuk tujuan yang tidak mendesak atau penting, sekalipun mengunjungi orang tuanya.
"Di mana Papa?" Tanya Augie menyadari tidak ada Elias Swaine di rumah berlantai tiga seluas sembilan ratus meter persegi milik orang tuanya. Rumah yang menurut Augie terlalu luas untuk mereka tinggali berdua.
"Melbourne." Jawab Diana singkat.
"Augie do you miss me?" Tanya Diana kemudian sedikit sarkastik, juga untuk memastikan bahwa prasangkanya benar.
"No, Mama." Augie tersenyum lebar, lalu meletakkan blazernya ke punggung sofa di ruangan itu, lalu duduk di hadapan Diana. "I'm not missing Papa as well. Don't get me wrong, and don't be jealous."
"Karena Mama terlihat tidak sabaran aku datang di jam makan siang, I'll be straight to the point. I'll take that managing partner position for Grandpa."
Diana semakin bingung dengan kata-kata Augie yang tiba-tiba. Ibunya tahu Augie sangat ambisius mengklaim posisi strategis di firma hukum keluarga mereka, tapi tidak seketika siang hari ini juga. Augie percaya diri dan tidak sungkan ketika ia meminta dan menyanggupi jabatan kakeknya sebagai managing partner sekaligus chief executive officer dan membiarkan kakeknya—Zachariah Swaine pensiun.
Swaine Law Firm awalnya didirikan oleh kakek buyut Augie—Thomas Swaine yang dibantu Abraham, adik laki-laki Thomas. Tentu saja keluarga Abraham memiliki posisi sebagai mitra dalam firma hukum yang didirikan Thomas dengan investasi dominan darinya. Hampir delapan puluh persen diawal pendiriannya, sejauh yang Augie tahu.
Augie menebak-nebak apakah sebenarnya kakek buyutnya mengajak keluarga Abraham dengan maksud membantu atau karena mereka memang layak dan mampu mendirikan firma bersama Thomas.
Yang membedakan keluarga Swaine dan Abraham adalah keluarga Swaine secara turun temurun hanya memiliki satu anak—Thomas, Zachariah, dan Elias. Sedangkan Abraham membentuk keluarga besar dan tidak sedikit dari mereka yang memegang jabatan dan bekerja untuk Swaine Law Firm.
Itu artinya Augie sendirian meneruskan nama Swaine yang dibesarkan keluarganya selama delapan puluh tahun dalam bentuk firma hukum paling kredibel dengan reputasi terbaik di negara ini.
Augie menjadi wanita paling ambisius menurut kesimpulan orang-orang setelah ia menyadari posisinya. Menjadi senior associate tidak lama setelah menyelesaikan pendidikannya cukup menunjukkan kepada orang-orang bahwa Augie punya ambisi mengincar sesuatu yang lebih.
"Augie Swaine, kita sudah membicarakan ini terlalu sering. Kamu sudah tahu jawaban Mama dan apa yang harus kamu lakukan kalau kamu sangat ingin menggantikan kakek kamu." Jawab Diana dengan serius pada akhirnya.
Ada satu hal yang sangat sulit Augie lakukan untuk mendapatkan keinginannya...
"Ma, posisiku tidak akan jadi lemah hanya karena aku belum menikah."
"Masalahnya kamu tidak ingin menikah sama sekali, Augie. Bukan belum. You'll carry Swaine name for the rest of your life and it will gone forever. Kamu mau nama firma hukum kita diganti dengan Abraham? No?"
Diana benar-benar tegas.
Augie tahu seharusnya ia tidak bisa mendebat alasan ibunya dengan alasan lain yang lebih masuk akal.
Meskipun ibu dan ayahnya tidak tertarik untuk mendapatkan jabatan strategis apapun dalam firma hukum dan lebih memilih bisnis sektor lain yang mereka dirikan, orang tuanya sangat menghargai usaha susah payah Thomas dan Zachariah selama puluhan tahun.
"Kalau kamu mau memegang kendali, setidaknya bangunlah keluarga, Augie. Kamu harus punya keturunan dan penerus untuk memastikan kekuasaan nama Swaine terus berdiri."
"..."
"Kakek kamu mungkin tidak akan memaksa kamu untuk menikah dan akan membiarkan kamu melakukan apapun. He loves you and he trust you with all the power you have. Tapi apa kamu sampai hati mengakhiri nama Swaine bersama kamu? Thomas dan Zachariah Swaine mungkin tidak akan mengatakannya tapi pasti mereka kecewa."
Augie menghela nafas dan mengedarkan pandangannya ke sekitar ruangan. Ia menyadari ruang kerja ibunya sangat indah dan tertata yang seharusnya membuatnya nyaman, tapi siang ini percakapannya dengan Diana membuatnya sedikit sesak.
"Ma, Mama tahu aku tidak bisa—"
"Kalau kamu tidak bisa mencintai, lakukan pernikahan untuk tujuan kamu. I love your dad so much but I wouldn't push you to have a marriage like ours. Wanita seperti kamu Augie, bisa hidup panjang umur hanya dengan ambisi."
Augie sama sekali tidak merencanakan pernikahan, dan sebetulnya ia tidak ingin. "Kalau begitu pria seperti apa yang harus aku nikahi Ma?"
"Pria yang sifatnya seperti kamu."
Augie mengerutkan hidung mendengar jawaban ibunya. "Maksud Mama?"
"Pria yang tidak menikah karena cinta dan untuk cinta. Tidak semua orang di dunia ini percaya kehidupan pernikahan seperti dongeng, Augie, you'll find that one. Dan Mama tahu kamu cukup pintar untuk menemukan sendiri pria seperti apa yang pantas hidup bersama kamu."
"..."
"Apapun yang terjadi, kamu tetap harus menikah kalau benar-benar ingin memimpin Swaine Law Firm. Miliki keluarga kamu sendiri. Kalau kamu masih memaksa untuk menggantikan kakek kamu dan tidak menikah sama sekali, lebih baik keluarga Abraham yang mengambil alih dari sekarang."
_________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight in His Hands
RomanceAugie Swaine harus mencari seorang suami demi mendapatkan apa yang ia inginkan dari keluarganya sendiri. Alexander Morton adalah pria yang sedang marah dan patah hati mengetahui ternyata tunangannya, yang sangat ia cintai, mencintai dan telah hamil...