Bagian 5

1.3K 51 0
                                    

Senyum samar terlukis di bibir Erik, tatkala teringat kembali akan pertemuannya dengan Kayla dua hari yang lalu. Rasa bahagia yang membuncah melihat perubahan besar pada gadis itu, berusaha keras ia sembunyikan dari sang istri waktu itu. Erik tidak mau Asya tahu bahwa Kayla adalah perempuan di masa lalunya. Masa di mana ia belum terlalu mengenal syariat. Masa di mana ia hanya tahu shalat lima waktu dan puasa wajib saja. Sebab walau bagaimanapun, ia tetap harus menjaga perasaan sang istri.

"Jika saja bisa mengulang waktu ...." Tak sadar, Erik berandai-andai dalam hati. Ia memejam, berusaha mengusir sebuah rasa yang seperti tengah menyerang relung hati terdalamnya. Memunculkan kembali sisa-sisa cinta yang telah susah payah ia kubur.

Jika bukan kerasnya keinginan Asya agar ia mau menikah lagi, tentu pertemuan dengan Kayla tidak akan pernah terjadi. Kalaupun terjadi pertemuan, mungkin hanya dalam situasi berbeda. Hanya pertemuan biasa, bukan pertemuan untuk menyatukannya dengan gadis itu.

Erik beristigfar sambil mengusap wajah. Ia mencoba kembali fokus pada layar persegi di hadapan. Ada pekerjaan yang harus segera ia selesaikan. Baju-baju di toko warisan orang tuanya, memerlukan desain baru agar tidak membosankan para pengunjung yang kebanyakan datang dari luar daerah. Selain sebagai pemilik tiga toko baju kaus khas oleh-oleh Bukittinggi, Erik juga merangkap sebagai desainer gambar baju yang akan diproduksi. Meskipun ia sudah memiliki dua orang desainer yang telah lama bekerja sejak toko masih dipegang orang tuanya, tetapi Erik tidak mau menyia-nyiakan skill yang ia miliki.

Pria itu mendengkus saat gagal berkonsentrasi kembali. Ia menyandar ke punggung kursi, menatap ke luar ruangan melalui kaca jendela. Tinggal di kota yang sama, membuat ia dan Kayla tidak pernah bertemu sekali pun sejak berpisah. Namun, kini Allah telah mempertemukan mereka kembali dengan cara berbeda. Cara yang membuat Erik begitu galau.

"Bang!"

Suara lembut itu membuat Erik tersentak. Ia langsung menoleh ke arah pintu. Di sana, Asya telah berdiri sambil tersenyum bersama dua buah hati mereka.

"Sya," sahut Erik, sembari tersenyum menyambut kedatangan sang istri. Ia bangkit dan langsung meraih putra bungsunya yang tertidur, dari pangkuan Asya. Sementara putra sulungnya yang berusia tiga tahun langsung meloncat ke atas sofa di sudut ruangan dan langsung asyik dengan mobil-mobilan yang ia bawa.

Asya menutup pintu dan mengikuti langkah Erik untuk duduk di sofa.

"Kenapa nggak bilang mau ke sini? Kan, aku bisa jemput kamu." Erik menaruh bayi satu tahun itu di sofa dan memastikan kenyamanannya.

"Nggak apa-apa. Kebetulan tadi temanku Ghaida ke rumah dan karena searah, aku memintanya mengantarku ke sini." Asya menaikkan cadarnya.

"Jangan suka ngerepotin orang, cukup suamimu ini saja yang kamu repotin." Erik melirik Asya dengan jenaka, sehingga membuat Asya tergelak dan memukul lengan Erik.

"Sebentar lagi, Abang akan direpotkan oleh satu perempuan lagi."

Ucapan Asya membuat Erik terdiam, lalu menatap sang istri sebentar sebelum kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Seharusnya kamu tidak perlu melakukan ini, Sya. Aku sudah bilang, aku nggak masalah kalau memang kamu tidak mampu melayaniku secara biologis. Aku bisa berpuasa dan menggantinya dengan ibadah lain. Insyaa Allah aku ikhlas, Sya."

Asya tersenyum, lalu menggenggam jemari kanan Erik. "Tidak, Bang, tidak semudah itu! Aku tahu tidak ada lelaki yang sanggup berpuasa terlalu lama dari urusan ranjang. Apalagi jika statusnya sudah menikah. Pasti akan sulit sekali dan aku tidak mau Abang jatuh ke dalam perbuatan dosa. Aku juga tidak mau menjadi penyebab Abang berdosa."

"Tapi, aku tidak bisa membagi cintaku dengan perempuan lain, Sya!" Erik menoleh Asya, sehingga mata mereka bertatapan.

"Cinta bisa tumbuh saat sudah menikah. Dulu, kita juga begitu, kan?"

Erik terdiam. Kemudian, memandang putra sulungnya yang tidak terganggu sedikit pun dengan pembicaraan mereka. Sungguh, ia telah menjadi lelaki munafik saat itu.

"Bagaimana kalau aku tidak adil dalam membagi hatiku?"

Asya menelan ludah dengan susah payah. Ia tahu, hal itu akan dihadapinya. Namun, ketika tekadnya sudah bulat, Asya tak lagi mau berpikir terlalu panjang.

"Bang, hati itu pasti akan cenderung kepada salah satunya dan itu manusiawi. Abang boleh lebih mencintai aku atau adik maduku nanti. Asalkan, jangan terlalu kelihatan oleh salah satu dari kami. Jangan sampai salah satu dari kami merasa kalau Abang pilih kasih. Cukup Abang rasakan dalam hati saja kecenderungan cinta itu."

Rongga dada Erik terasa sesak. Bagaimana bisa Asya punya pikiran seluas itu?

"Bantu aku untuk berbakti padamu dan meraih surga Allah dengan jalan ini, Bang!" bisik Asya lirih. "Poligami dalam situasi seperti kita memang sudah dianjurkan."

Genggaman tangan Asya semakin erat Erik rasakan. Ia tahu, tidak ada wanita yang benar-benar ikhlas untuk dimadu. Namun, Asya adalah salah satu dari segelintir wanita yang berusaha taat dengan jalan yang tak mudah ini.

Erik membawa Asya ke dalam pelukan. Sebagai seorang laki-laki normal, memang bohong jika ia bilang mampu menahan hasrat biologisnya. Namun, hanya karena tak ingin menyakiti sang istri, Erik terpaksa mengatakan kalau ia sanggup. Walau pada akhirnya, Erik tetap harus mengikuti kemauan Asya untuk menikah kembali.

"Kenapa kamu memilih gadis seperti Kayla? Kenapa tidak mencari seorang janda misalnya?"

"Karena Kayla gadis yang cantik dan berakhlak baik. Selain itu, aku mau memberi yang terbaik untuk suamiku."

"Sya ...." Erik semakin erat memeluk sang istri. "Terima kasih, Sya," ucapnya, lalu mengecup puncak kepala Asya berkali-kali.

***

Kayla memindai seluruh ruangan bank syariah itu. Tak ada tersisa kursi kosong selain kursi paling belakang. Itu pun di dekat seorang laki-laki.

Karena nomor antreannya masih lama, Kayla terpaksa duduk juga di sana. Sebab, ia ingin mengurus ATM-nya yang tertelan saat menarik uang semalam. Kalau tidak, Kayla pasti akan memutuskan untuk pulang saja. Bersyukur Ustazah Miftah memberinya kelonggaran waktu untuk mengurus hal itu sampai selesai. Walaupun Kayla merasa tidak enak hati meninggalkan murid-muridnya di TK.

"Sendiri saja?"

Suara yang berasal dari lelaki di sampingnya, membuat Kayla yang sedang menunduk menatap layar ponsel, seketika mengangkat kepala. Lalu, ia menoleh untuk memastikan kalau pria itu berbicara dengannya.

Darah Kayla berdesir, ketika sesaat mata mereka bertemu pandang. Buru-buru gadis tersebut mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia juga berusaha mengatur irama jantung yang berantakan.

"Iya." Kayla menjawab singkat.

"Allah selalu mempertemukan kita dalam situasi yang tidak pernah kita bayangkan, ya?" Lelaki yang tak lain adalah Erik itu berkata dengan suara pelan. Ia memandang lurus ke depan.

Kayla tidak menanggapi dan kembali menunduk, pura-pura sibuk dengan ponselnya. Kayla tidak mau Erik tahu kalau ia sangat gugup.

"Aku minta maaf, Kay!"

Kayla menghela napas. "Maaf untuk apa?"

"Untuk semua yang telah terjadi."

"Itu masa lalu. Jadi, lupakan saja!"

Beberapa detik, keduanya saling membisu.

"Aku ingin kamu menerima lamaran Asya ... untuk menjadi istriku."

Gemuruh di dada Kayla semakin membuatnya sulit untuk bernapas. Secara tak langsung, Erik telah melamarnya di tempat itu.

"Kamu mau, kan?" Erik sedikit mendesak.

"Tidak semudah itu, Bang. Banyak hal yang harus aku pertimbangkan." Akhirnya, Kayla menjawab.

"Termasuk mempertimbangkan perasaanku?"

Kayla terkesiap mendapat pertanyaan seperti itu.

"Sudah sejauh ini Allah mengatur alur pertemuan kita, apakah akan kita sia-siakan begitu saja, Kay?"

Kali ini Kayla benar-benar tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa memaku diri di tempat duduknya. Bahkan saat nomor antrean Erik sudah dipanggil dan lelaki itu meninggalkan kursinya, Kayla masih bergeming.

***

Dikhitbah Masa Lalu (Dalam Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang