Bagian 14

947 38 4
                                    

"Apa yang harus kita lakukan, Bang? Ini sungguh perkara sulit," ungkap Rosita, setelah memastikan Kayla masuk ke kamarnya.

"Menerima kenyataan kalau Kayla akan menjadi istri kedua saja masih terasa sulit bagi kita. Sekarang, malah ditambah dengan permintaan yang ... seperti tak masuk akal dari istri pertamanya." Hamdi memijat pelipisnya.

"Kayla juga seperti tidak keberatan. Hanya aku yang merasa keberatan. Rasanya ... ini ... ah, entahlah!" Rosita mengembus napas dengan kasar. Ia menyandarkan punggung ke sandaran sofa. Terlihat sekali dari raut wajahnya kalau ia sedang gusar.

Rahma memandang kedua orang tuanya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi masih mencoba menahan diri untuk tidak melakukan itu. Sebab, ia sudah berjanji pada Kayla. Rahma tahu bagaimana perasaan takut kehilangan sang adik terhadap lelaki yang mengkhitbahnya, meskipun jalan yang akan ditempuh cukup berisiko. Tak ada jalan lain selain menerima semua seperti kemauan Kayla.

"Jika memang Kayla bersikeras, apa tidak sebaiknya kita penuhi saja keinginan mereka, Bu, Yah?"

Hamdi dan Rosita serempak memandang pitri sulungnya. Mereka cukup kaget, karena Rahma adalah yang sangat menentang pernikahan Kayla.

"Kita bikin surat perjanjian hitam di atas putih. Agar Kayla tidak disia-siakan nantinya," imbuh Rahma.

"Tapi, Rahma ... nikah siri itu ...."

"Iya, Bu, Rahma paham." Perempuan berparas mirip sang ayah itu memotong kekhawatiran Rosita. "Makanya kita bikin surat perjanjian. Kalau mereka setuju, kita lanjutkan. Kalau tidak ... apa pun caranya, Kayla harus berlapang hati melepaskan lelaki itu."

Usulan Rahma terdengar cukup masuk akal di telinga Hamdi dan Rosita. Namun, tetap saja mereka ragu dan khawatir.

"Rahma tahu, Ibu dan Ayah khawatir dengan Kayla. Namun, saat ini sepertinya kita tidak punya pilihan lain. Mari kita coba membiarkan Kayla menjalani pilihannya. Rahma cuma khawatir, jika pernikahan ini gagal, Kayla tidak mau menikah seumur hidup. Bukankah selama ini, itu yang kita takutkan? Sekarang, dia sudah menemukan seseorang yang mampu meluluhkan hatinya. Apa salahnya kita coba ikuti saja."

Penuturan Rahma membuatpikiran orang tuanya sedikit terbuka dalam memandang masalah yang sedang dihadapi. Keduanya mengangguk-angguk.

"Kamu benar, Rahma," timpal Hamdi. "Itu pula yang Ayah takutkan, sehingga ketika dihadapkan dengan masalah seperti ini, Ayah jadi dilema. Seperti makan buah simalakama."

"Satu lagi sebenarnya yang bikin Ibu khawatir. Menjadi istri kedua itu berat. Ibu takut Kayla tidak sanggup."

"Bu, kita doakan saja yang terbaik untuk Kayla. Jika dia berani menerima, artinya dia sudah siap menjalaninya." Rahma tersenyum. Ia sendiri tak habis pikir kenapa pada akhirnya malah mendukung keputusan Kayla. Apa karena tidak tega melihat air mata adiknya? Atau ... karena ia melihat cinta yang begitu dalam di mata Kayla?

***

Asya begitu bahagia mendengar kabar yang dikirimkan Kayla. Bahwa gadis itu bersedia untuk dinikahi secara siri. Asya juga mau menandatangani surat perjanjian yang diajukan orang tua Kayla. Baginya, yang terpenting Kayla dan Erik bisa menikah.

Lain halnya dengan Erik. Pria itu menanggapi dengan datar saja berita tersebut. Entah mengapa, ia malah merasa sang istri agak keterlaluan. Namun, Erik juga tak mau mematahkan hati Asya.

Pernikahan Kayla dan Erik pun berlangsung sehari sebelum Asya menjalani operasi. Suasana sakral sangat terasa di rumah Kayla. Acara yang digelar secara tertutup itu pun diusahakan tidak mengundang perhatian warga sekitar kompleks perumahan tempat mereka tinggal.

Dikhitbah Masa Lalu (Dalam Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang