Bagian 19

925 33 0
                                    

Masuk ke rumah, tetapi Kayla tidak menemukan Erik di salah satu ruangan. Hanya Rosita, sang ibu yang ia temukan sedang berada di dapur. Wanita itu tengah merapikan piring-piring yang baru selesai dicuci.

"Eh, Kay. Udah pulang?"

"Di depan ada mobil Bang Erik, orangnya mana, Bu?" tanya Rosita tanpa mengindahkan pertanyaan ibunya.

"Di kamar kamu." Rosita tersenyum. "Sana temui dia! Barusan dia udah makan di sini."

"Dia ke sini mau ngapain, Bu?"

Rosita mengernyit menatap putrinya. "Kamu ini aneh. Kok malah nanya dia ke sini ngapain? Ini rumah kamu, istrinya. Dia itu suami kamu. Ya wajarlah dia ke sini. Aneh-aneh saja kamu, Kay. Sudah sana temui dia!" Rosita mendorong tubuh Kayla untuk keluar dari dapur.

Kayla pun akhirnya melangkah cepat menuju kamar. Pelan, ia membuka pintu. Berjaga-jaga kalau sekiranya Erik sedang tidur di dalam.

Ternyata ia salah. Erik tidak tidur. Pria itu sedang mengutak-atik buku Kayla yang berada di rak kecil di sudut kamar. Mendengar pintu dibuka, lelaki itu pun menoleh. Senyumnya mengembang saat melihat wajah sang istri.

"Sudah pulang, Kay?" Erik meninggalkan rak dan berjalan mendekati Kayla yang sudah menutup pintu.

"Iya, Bang," jawabnya singkat. "Ini aku belikan roti keju kesukaan Abang." Kayla menyodorkan sebuah kantong plastik warna putih.

"Kamu masih ingat saja, Kay." Erik semringah menerima pemberian Kayla.

Kayla tersenyum tipis. Hatinya sedang tidak baik-baik saja. Kata-kata pedas yang ia dengar di sekolah tadi, membuat mood-nya seketika terjun bebas. Kayla melangkah menuju ranjang dan duduk di sana.

"Kamu kenapa? Kok kayaknya lemes banget? Ada masalah?" tanya Erik. Ia ikut duduk di sebelah Kayla.

Kayla menggeleng. "Nggak apa-apa. Abang, ngapain ke sini? Kenapa nggak jagain Kak Asya? Kakak tahu kalau Abang ke sini?"

"Kamu kenapa, sih? Takut banget kayaknya kalau aku ke sini tanpa sepengetahuan Asya."

Kayla diam. Ia mulai melepas jarum jilbabnya satu persatu.

"Kay, kamu itu istriku. Bukan selingkuhan. Kenapa kamu seperti khawatir sekali kalau Asya tahu aku menemuimu? Asal kamu tahu, aku ke sini itu atas permintaan Asya. Dia memintaku menjemputmu sekalian membawa ibumu. Sudah jelas?"

"Ooh, gitu."

Kayla berdiri diriingi tatapan Erik. Lelaki itu masih tak percaya kalau Kayla baik-baik saja.

"Aku tadi juga sekalian mampir ke toko untuk ngasih instruksi ke adik-adik karyawan di sana dan aku juga sempatkan mampir ke rumah buat ketemu anak-anak."

"Baguslah kalau gitu. Aku mandi dulu, ya, Bang?"

Tak menunggu jawaban Erik, Kayla berlalu begitu saja menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar.

Erik tercenung melihat sikap Kayla. Ada yang aneh di matanya. Erik pastikan kalau Kayla memang tidak sedang baik-baik saja. Erik sangat hafal siapa Kayla.

Sementara menunggu Kayla selesai mandi, Erik memutuskan menikmati roti yang dibeli Kayla untuknya tadi. Walaupun baru makan nasi, tetapi ia tidak bisa menolak jika dihadapkan dengan roti keju.

***

"Kita nggak akan berangkat sebelum kamu cerita apa yang terjadi saat di sekolah tadi," tegas Erik, saat Kayla telah rapi dan siap untuk berangkat.

"Nggak ada apa-apa, Bang. Aku baik-baik aja. Nggak ada yang terjadi." Kayla masih mencoba berkilah. "Ayo, kita jalan! Kasihan Kak Asya sendirian."

Erik menahan tangan Kayla yang hendak beranjak dari kamar. Perempuan itu tidak melawan. Ia berdiri dengan posisi membelakangi Erik.

Lelaki itu berpindah ke hadapan Kayla. Menatap wajah sang istri dengan saksama.

"Jangan bohong, Kay! Aku bukan sehari dua hari mengenalmu. Aku sudah mengenalmu bertahun-tahun. Jangan pendam jika ada masalah. Kalau ada yang menyakitimu, aku orang pertama yang pasang badan." Suara Erik terdengar pelan, tetapi tegas.

Mata Kayla mengembun. Ucapan-ucapan serupa fitnah atas dirinya kembali terngiang di telinga. Kayla pun akhirnya memilih menumpahkan tangis ke dada Erik. Ia bercerita sembari terisak.

Erik mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Kayla. Ia merasa bahagia, saat Kayla masih mau bercerita padanya seperti dulu. Setidaknya, dengan bercerita, perempuan itu akan merasa lebih baik.

"Tidak usah pedulikan kata-kata negatif mereka. Karena mereka tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Mereka hanya memperturutkan prasangka buruk mereka saja. Terlepas dari itu, resiko menikah dengan lelaki yang sudah beristri memang seperti itu, Kay. Mereka hanya tahu istri kedua itu penggoda suami orang. Padahal, tidak semuanya seperti itu."

Erik merenggangkan pelukan, lalu menatap mata Kayla yang sedikit merah. "Maafkan aku, ya? Kehadiranku dalam hidupmu, membuatmu harus melewati hari-hari yang sulit dan cukup berat. Tapi, kalau tidak begini ... aku pasti akan kehilanganmu untuk selamanya."

Kayla tersenyum getir sambil menyeka air mata. Beban di dadanya sedikit berkurang setelah bercerita pada Erik.

"Mulai sekarang, kamu harus belajar menutup telinga terhadap tudingan negatif orang-orang. Karena hidup berpoligami itu harus kuat mental dan hati. Allah memilih kita bertiga, karena Allah tahu kita mampu."

Kayla mengangguk. "Insyaa Allah, Bang."

"Lagian, kenapa teman-temanmu harus dikasih tahu sih pernikahan kita? Kenapa tidak nanti saja?"

"Ustazah Miftah yang memberi tahu mereka dan memang atas persetujuanku. Mereka teman-teman satu kajian. Kupikir, mereka paham. Tapi ternyata ... ah, sudahlah! Toh kita ini menikah, bukan berzina."

"Nah, gitu dong!" Erik mengusap pucuk kepala Kayla.

"Jadi ... sudah merasa lega sekarang?"

Kayla mengangguk. "Sudah."

"Alhamdulillaah. Tapi, kalau boleh Abang beri saran, kamu berhenti saja dari sekolah itu. Jika kamu bosan di rumah, kamu bisa membantuku mengurus toko. Bagaimana?" usul Erik.

"Bisakah kita bicarakan ini nanti? Kak Asya sudah menunggu kita. Ibu juga sepertinya sudah menunggu di depan." Kayla mengingatkan.

"Oke. Sesuai kemauan Nyai Ratu saja," kelakar Erik dan berhasil membuat pipi Kayla bersemu merah.

***

"Aku heran juga, kenapa selama ini kita nggak pernah ketemu, ya, Bang? Padahal, kita masih tinggal di kota yang sama. Kita juga sama-sama sering mondar-mandir ke rumah Ustazah Miftah," ungkap Mila. Mereka sedang menunggu Rosita yang katanya lupa mengunci pintu belakang, sehingga wanita itu meminta anak dan menantunya duluan masuk ke mobil.

"Iya juga, ya?" Erik tertawa heran. "Kok bisa?"

"Apa karena aku tidak terlalu peduli sama ikhwan yang berseliweran? Mungkin saja kita pernah bertemu, tetapi tidak sadar."

"Bisa jadi. Aku pun ... sejak menikah dengan Asya dan hijrah, tak pernah peduli juga dengan akhwat lain."

"Oh, ya?" Kayla memandang Erik.

"Iya. Kadang, sesuatu yang awalnya terpaksa dan tidak kita sukai, bisa jadi sebuah kebaikan untuk kita sendiri." Pandangan Erik lurus ke depan.

"Maksud, Abang?"

"Duh, maaf! Ibu lama, ya?"

Kedatangan Rosita membuat keduanya terkesiap dan mengakhiri pembicaraan. Erik hanya tersenyum pada Kayla, seperti memberi kode bahwa obrolan mereka akan dilanjutkan nanti.

"Nggak apa-apa, Bu." Erik menyahut dengan sopan.

Tak lama, mereka pun berangkat menuju rumah sakit.

***

Dikhitbah Masa Lalu (Dalam Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang