Bagian 18

960 35 0
                                    

Sudah hampir pukul tiga sore, tetapi Erik belum memberi kabar apa pun pada Kayla. Perempuan itu mulai resah. Apalagi pesan yang ia kirimkan sejak tadi masih centang satu. Bahkan saat dihubungi, ponsel Erik tidak aktif.

Bolak-balik Kayla mengecek ponsel yang ia taruh di meja. Berharap ada pesan masuk dari sang suami. Namun, tetap saja keadaannya sama. Buku fiqih rumah tangga yang dibacanya pun jadi tidak menarik lagi.

Kayla resah menunggu kabar tentang operasi Asya. Ia sempat mendoakan kakak madunya tersebut setelah sahalat Zuhur tadi. Berharap wanita itu diberi kesembuhan seperti sedia kala dan kembali menjadi istri seutuhnya bagi Erik.

"Apa aku susul saja ke rumah sakit, ya?" gumam Kayla.

Baru saja ia berpikir begitu, ponselnya berdering. Gegas disambarnya benda itu saat melihat nama sang suami terpampang di layarnya.

"Halo, Bang! Gimana keadaaan Kak Asya? Semua lancar, kan? Kak Asya baik-baik saja, kan?" Kayla langsung memberondong Erik dengan pertanyaan antusiasnya.

"Assalaamu'alaykum, Kay!" Suara Erik terdengar tenang, seperti tidak memedulikan pertanyaan istrinya.

Kayla terdiam. Ia baru menyadari kesalahannya setelah mendengar ucapan salam itu.

"Wa-wa'alaykumussalaam  ... Bang," jawabnya gugup. Tiba-tiba ia merasa malu.

"Nah, lain kali jangan asal nyerocos kalau terima telepon. Ucap salam dulu, baru bertanya." Erik menasihati.

"Iya, Bang. Maaf. Aku hanya terlalu khawatir."

Erik tertawa kecil.

"Abang malah ketawa. Bagaimana keadaan Kak Asya? Operasinya lancar?"

"Alhamdulillaah, semua lancar, Kay. Tadi jadwal operasinya sedikit mundur. Ini Asya baru saja masuk ruang rawat inap."

"Alhamdulillaah, semoga Kak Asya lekas sehat pasca operasi, ya, Bang?"

"Aamiin. Kamu bantu doa juga, ya, Kay?" harap Erik.

"Pasti, Bang. Pasti itu."

"Kamu mau ke sini? Kalau mau, Abang jemput setelah shalat Asar."

"Mungkin sebaiknya besok saja aku ke sana, Bang. Biar Kak Asya istirahat dulu. Abang juga bisa fokus jaga Kakak. Oh, ya, besok ... rencananya aku akan mengajar kembali. Aku merasa bosan di rumah terus. Cutinya aku sudahi saja. Boleh, kan, Bang?"

Erik tidak menanggapi. Beberapa detik mereka saling terdiam. Kayla pun jadi merasa bersalah.

"Tapi kalau Abang nggak kasih izin, nggak apa-apa. Aku nggak usah masuk dulu."

"Kenapa kamu nggak berhenti saja mengajar?"

"Mengajar TK itu duniaku saat ini, Bang. Nanti, kalau kita sudah punya anak, baru aku berhenti." Kayla mencoba memberi jawaban yang sekiranya bisa diterima Erik.

"Janji?" tanya Erik menegaskan.

"Insyaa Allah, aku janji, Bang."

"Oke, kalau begitu. Aku pegang janjimu. Besok pagi aku jemput dan antar kamu."

"Bang, tidak usah. Abang fokus ke Kak Asya saja. Aku bisa pergi sama motor kok. Kak Asya masih sangat butuh perhatian Abang. Jangan bagi dulu denganku. Aku nggak apa-apa, Bang. Sungguh!"

"Tapi, Kay—"

"Bang, tolong jaga kondisi mental dan psikis Kak Asya dulu agar masa penyembuhannya bisa lebih cepat. Jangan buat dia cemburu dulu dengan perhatian Abang sama aku agar dia tidak punya beban pikiran."

Erik terdiam beberapa saat sembari mencerna kata-kata Kayla.

"Baiklah, kalau itu mau kamu. Abang akan turuti."

"Abang sudah makan? Mau aku kirimkan makanan?"

"Belum. Tidak usah, Kay. Ini ada makanan dari rumah sakit khusus untuk yang jagain."

"Ooh, syukurlah kalau begitu."

Mereka pun mengakhiri percakapan saat dirasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan.

Kayla mengembus napas lega mengingat operasi Asya telah selesai. Ia hanya perlu menyiapkan diri untuk belajar mengurus segala keperluan Erik dan anak-anaknya nanti di masa pemulihan Asya.

Semua memang terasa rumit dan berat, tetapi pilihan yang sudah diambil, harus dijalani sebagaimana mestinya. Kayla tidak pernah membayangkan akan berada di posisi sekarang, menjadi istri kedua dari lelaki yang dulu pernah menjadi kekasihnya. Harusnya, ia yang menjadi perempuan pertama yang mendampingi Erik. Akan tetapi, takdir berkata lain. Kayla harus berlapang dada saat dipertemukan lagi dengan kekasihnya meskipun hanya sebagai wanita kedua.

***

Sebelum datang ke TK, Kayla sudah mengabari Ustazah Miftah terlebih dahulu. Tentu saja disambut dengan sukacita oleh wanita tersebut. Namun, sayangnya tidak dengan teman-teman sesama guru. Sikap mereka aneh. Cara mereka memandang Kayla pun tidak seperti biasanya. Mereka cuek, tak sehangat biasanya. Saat Kayla bertanya pun, mereka hanya menjawab seperlunya. Tidak ada ucapan selamat atas pernikahannya. Padahal, selain keluarga inti, teman-teman rekan sesama guru dan satu kajian dengan Kayla, adalah orang-orang yang tahu tentang pernikahan Kayla dan Erik. Karena mereka cukup spesial bagi Kayla.

Kayla cukup heran, tetapi ia mencoba memahami bahwa sikap mereka pasti karena ia menikah dengan lelaki beristri. Kayla tahu tidak semua orang bisa menerima pernikahan seperti dirinya.

"Untung suamiku nggak kenal dia. Kalau kenal, pasti udah digaet sama dia. Mentang-mentang cantik," cecar salah satu rekannya dan itu terdengar dengan jelas di telinga Kayla saat ia hendak masuk ke ruang guru. Ia pun urung masuk dan memilih mendengarkan ghibahan mereka dari luar.

"Ooh, pantesan aja. Waktu kita habis kajian dari rumah Ustazah Miftah, dia segitunya ngeliatin lelaki yang jadi suaminya sekarang. Ternyata selama ini, dia nggak mau nikah karena mau nyari suami orang. Mapan pula, ganteng juga. Hebat Kak Kayla itu." Ini kata rekannya Dini, usianya beberapa tahun lebih muda dari Kayla.

Kayla menyandarkan tubuh ke dinding, ia memejam. Dadanya sesak. Ucapan-ucapan mereka telah melukai hatinya. Kenapa lidah mereka setajam itu padahal mereka bukan orang-orang awam? Mereka perempuan-perempuan alim dan paham agama. Kenapa ucapan mereka melebihi ucapan orang yang tidak tahu agama sama sekali?

"Tuduhan mereka ... apa mereka tidak sadar kalau apa yang mereka katakan tentangku sama seperti memfitnahku? Padahal mereka tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Mereka hanya menilai dari satu sisi saja. Apa salahnya mereka bertanya? Haruskah aku menjelaskan semuanya pada mereka?"

"Ah, tidak! Tidak ada yang perlu dijelaskan."

Kayla mengusap air mata yang telah membasahi pipinya. Lantas, ia mengurungkan niat untuk masuk ke ruangan tersebut dan memilih pergi.

Awalnya, Kayla berniat hendak pamit pulang duluan pada rekan-rekannya, tetapi sepertinya sudah tidak perlu lagi. Lebih baik, ia langsung pulang saja tanpa harus memberi tahu mereka. Rencananya, setelah pulang dan ganti pakaian, Kayla akan menyusul Erik ke rumah sakit.

Sebelum pulang, tak lupa ia mampir ke sebuah tempat untuk membelikan makanan kesukaan sang suami. Sebab tadi malam, ketika Kayla hendak tidur, Erik mengirimkannya sejumlah uang dan Kayla ingin menyenangkan sang suami dengan uang pemberiannya tersebut.

Awalnya, Kayla merasa sungkan menerima transferan yang jumlahnya jauh lebih besar ketimbang gajinya sebagai guru TK itu. Namun, walau bagaimanapun, uang itu adalah  nafkah dari Erik dan harus ia terima. Kayla nyaris lupa kalau sudah menjadi seorang istri.

***

Saat telah sampai di rumah, Kayla terkejut melihat mobil Erik terparkir di halaman. Lelaki itu tidak mengabari Kayla sebelumnya kalau mau datang ke rumah.

"Bang Erik bandel banget, sih? Bukannya jagain istrinya di rumah sakit, malah ke sini," gumam Kayla kesal sembari turun dari motor.

***



Dikhitbah Masa Lalu (Dalam Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang