Setelah kepergian Xavier, aku tidak pernah melihatnya lagi.
Upacara untuk menobatkan gelar putra mahkota telah diselenggarakan. Xavier pun tidak pernah kembali ke Akademi lagi.
Tak seorang pun memberitahuku mengapa dan guruku pun menolak untuk membicarakannya.
Satu bulan setelah Xavier meninggalkanku, aku berhasil lulus dalam ujian untuk bergabung dengan Pasukan Lightseeker. Ini adalah langkah pertamaku untuk menjadi seorang Ksatria Grandis. Kini aku telah mengikuti jalan yang diarahkan oleh guruku.
Waktu berlalu dan sang Raja meninggal dunia. Akan ada masa berkabung selama 200 tahun sebelum pewarisnya naik tahta.
Tahun demi tahun, semakin sedikit rakyat Philos yang peduli dengan siapa yang akan menjadi Raja.
Lalu, dalam 200 tahun itu, tak seorangpun yang membicarakan upacara penobatan gelar putra mahkota.
Aku tidak keluar dari jalan yang kupilih. Selangkah demi selangkah, aku telah menjadi Komandan dari sebuah pasukan elit.
Akan tetapi, kami tidak memiliki Raja. Otoritas para ksatria melemah karena pasukan yang berbeda tersebar di seluruh Philos. Masing-masing menyendiri dan kehilangan kontak satu sama lain.
Saat itu, aku hanya berjalan maju dan mengayunkan pedangku. Aku tidak tahu ke mana aku menuju.
Aku terus berpikir seandainya Xavier kembali suatu hari nanti...
Seandainya dia menjadi Raja Philos...
Aku ingin menjadi seseorang yang berada di sisinya.
Beberapa tahun kemudian
Di kedalaman hutan, aku sedang memimpin pasukanku dalam pertarungan melawan Wanderer selama beberapa hari.
Mereka semua kelelahan karena pertempuran sporadis yang tanpa henti.
Di malam hari, aku duduk sendirian di pembukaan hutan, merencanakan langkah kami selanjutnya.
Jeremiah : "Hutan Starfall adalah rumah bagi Protofield yang tidak stabil sejak dulu. Tak seorangpun yang berhasil keluar hidup-hidup dalam beberapa bulan terakhir ini. Aku ragu kita bisa mengalahkan monster itu."
Airiss : "Kau merusak suasana. Jika ksatria-ksatria terbaik dari Pasukan Lightseeker tidak bisa mengalahkannya, maka tak seorang pun yang bisa."
Jeremiah : "Upacara Gladius Xavier dilaksanakan di sini. Kau masih memikirkan itu. Kegigihanmu itu--Tidak, mungkinkah..."
Airiss : "Omong kosong!"
Setelah kami lulus, Jeremiah menjadi Lightseeker. Dia adala salah satu dari ksatria terbaik di bawah kepimpinanku.
Dan dalam 200 tahun terakhir ini, dia satu-satunya yang bisa kuajak bicara tentang Xavier.
Airiss : "Aku penasaran dengan apa yang terjadi pada Xavier, tapi aku tidak akan mengorbankan semua orang untuk rasa ingin tahuku."
Jeremiah menghela nafas.
Jeremiah : "Dengan kematian Yang Mulia Raja, gurumu berangkat mengikuti ekspedisi ke dalam lautan bintang. Para Lightseeker seharusnya melayani putra mahkota, tapi Xavier sialan itu..."
Jeremiah : "Sekarang kita semua terpencar oleh angin. Entah berapa banyak diantara mereka yang telah meninggalkan gelar ksatria. Seandainya tidak seperti itu, kita tidak akan berada di kekacauan ini."
Airiss : "Berhenti mengeluh. Kita harus beristirahat selagi bisa."
Jeremiah menepuk bahuku sebelum kembali bergabung dengan yang lainnya.
Pohon-pohon yang telah tumbuh ratusan tahun, kanopinya hingga menghalangi cahaya bulan. Saat api padam, tidak ada cahaya.
Semua orang segera tertidur. Burung-burung menghentikan nyanyiannya untuk sementara waktu.
Aku tidak tertidur, tidak ketika sesosok putih muncul di kedalaman hutan.
Meskipun gelap, ia diselimuti cahaya lembut. Tatapan kami bertemu sebelum ia berlalu.
Airiss : "Tidak mungkin..."
Airiss : (Xavier...?!)
Airiss : "Xavier!"
Aku mengejarnya. Gerakannya tidak terlalu cepat, tapi dia tidak membiarkanku mengimbanginya.
Jauh di dalam hatiku, aku tahu mungkin saja itu hanyalah ilusi, tapi...
Bagaimana jika itu benar-benar Xavier?
Airiss : "Xavier! Tunggu!"
Saat kelelahan, aku berkedip lalu sosok itu menghilang.
Hutan pun menghilang. Aku berada di tengah sebuah galaksi, yang membentang tiada akhir.
Airiss : "Itu hanya ilusi..."
Bisa kudengar jantungku berdegup kencang dan mulai terjatuh ke dalam gelombang debu bintang.
Airiss : "Sial!"
Semuanya menjadi terbalik. Seakan tanpa beban, aku terjatuh secepat cahaya. Turun, turun, turun hingga ke dalam nebula.
Airiss : "Tempat apa ini...?!"
Aku adalah sebuah batu yang turun ke danau. Miliaran bintang menghilang, kabur dari pandangnku. Hanya ada kegelapan.
Airiss : "Apa aku... masih di dalam Hutan...?"
Diselimuti kegelapan,
Ruang dan waktu larut dalam ketiadaan.
Entah aku membuka mataku atau tidak, tak penting lagi.
Garis antara hidup dan mati menjadi kabur.
Apa aku... telah mati?
Kematian begitu sunyi, tanpa beban.
Aku... adalah sehelai bulu yang melayang di lautan bintang.
Aku tidak perlu takut untuk mati.
Tetap saja, satu-satunya penyesalanku hanyalah...
Bahwa aku tidak bisa bertemu dengan Xavier untuk satu kali lagi.
?? : "Airiss? Kaukah itu?"
Airiss : (Suara itu... Terdengar tidak asing...)
?? : "Jawab aku! Kau di mana?!"
Airiss : (...Aku sangat lelah. Aku tidak punya tenaga untuk membuka mulutku.)
?? : "Airiss!"
Sebelum aku tenggelam ke dalam mimpiku, sebuah cahaya putih yang menyilaukan menyengat mataku.
Seberkas... cahaya.
Seperti menyaksikan terbentuknya semesta. Cahaya membelah kegelapan dan berputar-putar.
Membentuk cahaya abadi membentangkan dunia.
Kubuka mataku, tak yakin jika ini masih sebuah ilusi...
Xavier : "Airiss! Jangan tertidur... Kumohon, bangunlah!"
Di dunia yang begitu terang, aku melihat wajah Xavier lagi.
Xavier : "Kau tidak boleh tertidur... Ayo pulang. Bersama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shooting Stars
FanfictionLove and Deepspace Xavier's Myth - Shooting Stars Terjemahan Bahasa Indonesia MC : Airiss Cataluna Di Astria Knight Academy yang bergengsi, Airiss selalu terdorong untuk menjadi Grandis Knight di antara pasukan Lightseeker yang disegani, pelindung...