Halo, Kak.
Mulai dari sini Kakak sudah boleh iri. Aku aja iri sama diriku sendiri, kok bisa-bisanya aku ngalamin ini?
Menyentuh tubuh tentara tuh sebuah kemustahilan yang absolut. Apalagi di bagian-bagian yang sensitif.
Emangnya aku enggak pernah ngewe sama seorang tentara? Pernah, Kak. Sekali. Waktu threesome sama Deva (tapi itu cerita di lain hari). (Dan itu juga momen di mana aku akhirnya 'putus' dari Deva.) Cuma si tentara itu enggak sepenuhnya 'tentara'. Ada satu hal dari 'tentara' tersebut yang membuatnya jadi enggak tentara. Aku penginnya tentara yang masih tentara, yang pake celana loreng-loreng, sepatu bot, masih aktif, dan masih pegang senjata.
Jadi secara teknis, aku belum pernah ngewe dengan tentara yang kufantasikan.
Meski mereka berserakan di kota ini sejak pendidikan taruna dibuka di lanud sini, bukan berarti aku bisa ngewe sebebas-bebasnya dengan mereka. Yang ada malah jumlah pengguna aplikasi homo agak berkurang sedikit demi sedikit karena takut ditangkap tentara.
Masalahnya, sejak aku threesome bareng si 'tentara' (dan Deva), aku makin terobsesi sama jenis manusia ini. Aku merasa tentara adalah makhluk superior yang menawan, sulit didapatkan, paling jantan sejagad raya, dan tak ada yang mengalahkan keseksiannya. Makanya aku sempat nge-hang pas dikasih tugas ngecekin kontolnya calon tentara. Sampai detik ini, aku masih enggak bisa ngebayangin gimana proses medical check up barengan lelaki-lelaki prima yang jantan ini.
Biasanya aku ngecek kontol aki-aki. Atau lelaki yang body-nya enggak fit sama sekali.
Tapi mungkin aku mestinya ngecek kontol aki-aki aja, sih. Mungkin aku bakal mimisan ketika pasienku semuanya calon tentara. Soalnya, satu tentara gagah mamerin ketek depan mukaku aja badanku langsung membeku kayak komputer Windows keluaran lama yang kebanyakan buka apps.
"Udah lama Abang enggak cukur bulu ketek." Fian masih saja menoleh ke keteknya sendiri, meraba-raba bulunya dengan jari. Seakan-akan itu adalah bahan bulu yang lembut di toko kain yang perlu kita raba dan rasakan bulu-bulunya. "Gara-gara sibuk ngurusin anak-anak baru, jadi lupa rawat diri."
Fian ganti mengangkat lengan satunya lagi, memamerkan keteknya yang satunya lagi, ketek yang sama-sama berbulu. Yang juga dia susurkan jemarinya hingga bulu-bulu itu bergoyang seperti rumput.
Aku menelan ludah.
Aku masih belum bisa merespons permintaan Fian yang pengin bulu-bulunya ku-waxing. Aku masih berdiri diam karena terpesona oleh dua ketek tentara itu. Ketek yang penampangnya lebar karena bahu dan lats-nya mengembang kekar penuh otot.
"Halo, Dek?" Fian melambaikan tangannya di depan wajahku. "Dek?"
Aku menggoyang kepalaku supaya kembali ke dunia nyata. "I ... iya."
"Mau enggak?" Fian menyodorkan kotak berisi sugar wax itu.
Aku enggak menjawab. Karena aku masih gugup. Masih bego.
"Bayar berapa?"
"Eng ... enggak usah bayar," jawabku, mengumpulkan kekuatan untuk berbicara.
Fian mengerutkan alisnya. Dia menghampiriku sembari mengamati wajahku. Dia juga menoleh ke belakang, ke arah yang kulihat. Seakan-akan ada hantu di sana. "Apa yang Adek lihat?"
Ketekmu, Baaang .... Aku lihat ketekmu barusaaannn .... (emot nangis) (emot nangis).
Fian menegakkan kepalanya. Hampir yakin aku melihat sesuatu di belakangnya barusan. "Ada yang ngintip?" Dengan sigap, seperti semua agen rahasia keren di film-film laga, Fian melompat ke jendela dan mengintip keluar. Dia menyapukan pandangan tetapi enggak menemukan apa-apa. Enggak ada musuh, enggak ada hantu, enggak ada orang yang mengintai. "Aman kok, Dek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Dek!
Художественная проза(Cerita LGBT, ya. Tolong jangan bloon. Kalau ini bukan bacaanmu, please skip this.) Blurb: Rohmat hanyalah lelaki gay biasa yang bekerja sebagai seorang perawat di sebuah klinik swasta. Hidupnya benar-benar normal, enggak ada yang istimewa. Hingga s...