Halo, Kak!
Enggak kok, Kak. Tenang aja. Fian enggak nyipok aku seperti apa yang aku dan Kakak harapkan terjadi.
Sewaktu aku hampir terperosok ke tebing itu, Fian menarik tubuhku, mendekapku, mukanya mendekat ke mukaku, lalu dia buka mulutnya, Fian sebenarnya mau ....
... bilang, "Hati-hati, Dek. Kan, udah Abang bilang jangan terlalu pinggir."
Setelah itu badanku dibawanya kembali ke permukaan tanah yang solid. Dan kami pun berangkat hiking.
Hahaha.
Mengecewakan.
Tapi ya sudahlah. Untung ngewe semalam mantap banget, jadi aku enggak kecewa-kecewa amat.
Oke. Jadi, hiking dimulai dengan berdoa bersama di pos awal pendakian. Ada penjaga hutan yang mendata kami siapa saja, yang juga menjelaskan rute-rute mana saja yang bisa diambil, dan apa saja pantangannya. Misalnya, pantangan masuk ke area-area terlarang, berbahaya, atau rawan binatang buas. Kami juga dipinjamkan suar yang bisa dinyalakan saat kondisi bahaya, tetapi tidak boleh digunakan kalau tidak bahaya. Kalau digunakan padahal tidak bahaya, kena denda dua puluh juta.
Penjaga hutan itu menjelaskan seolah-olah kami mau menginap tiga hari di puncak gunung. Tapi dia bersikukuh tetap menjelaskannya meski kami akan turun lagi sore hari nanti.
"Kita kan enggak tahu apa yang terjadi ya Adek-Adek, ya," katanya, dengan aura kebapakan, dan senyuman ramah, tetapi mengandung misteri. "Bahaya mah enggak mandang durasi. Mau hiking dua jam, hiking dua hari, kalau bahaya ya bahaya. Jadi tolong dipatuhi peraturannya, ya. Bisa?"
"Siap, Pak. Bisa," jawab para tentara ini.
"Ada beberapa hewan liar yang lagi musim kawin sekarang tuh. Tolong, kalau melihat telurnya, atau anak-anak mereka, tolong jangan diganggu, ya."
"Siap, Pak!"
"Oke kalau gitu. Silakan naik, ikuti jalur yang ada di peta, dan selamat menikmati perjalanan."
Kami berdua belas mendaki jalan setapak yang agak menanjak, tapi secara teknis jalannya sudah dibukakan oleh pendaki sebelumnya, atau memang sengaja dibuat oleh lembaga konservasi hutan ini. Agak terjal dan bikin capek sebenarnya, harus melompati undakan-undakan yang tinggi, berpegangan pada batang pohon singkong yang tidak rata, atau melewati jalan yang sangat sempit yang kanan kirinya dipenuhi tanaman paku. Di beberapa titik, jalannya agak licin, karena tanahnya jadi berlumpur gara-gara embun pagi. Sepatuku enggak cocok banget dipake buat hiking. Beda kayak sepatu para tentara ini yang bentukannya boots, yang didesain untuk perang di gunung.
Pada awal pendakian, sebenarnya aku dan Fian ada urutan ketiga. Anggap saja setiap tentara akan selalu berpasangan dengan plus one-nya. Anggap saja aku menghitung pasangannya saja, ya. Yang paling depan cewek, kedua cewek, ketiga aku, keempat cewek, kelima cowok yang adik kandung itu, keenam juga cowok yang adik kandung itu. Tapi, satu jam setelah pendakian, urutanku jadi posisi bontot.
Karena aku kecapean
"HOH ...! HOH ...! HOH ...!" kataku satu waktu sembari berpegangan ke salah satu pohon sonokeling dengan napas terengah-engah.
"Mau minum, Dek?"
Aku mengangkat tangan. "Enggak ... hoh ... hoh .... Enggak apa-apa ...."
Tapi gara-gara aku berhenti, akhirnya aku disusul oleh yang berikutnya.
Lama-lama, aku berada di posisi terakhir. Di belakang Mas Erick dan adiknya, Ezel. (Di hutan pun aku ketemunya sama orang yang namanya bagus. Bayangkan tadi di pos pendakian waktu kami semua berkenalan, lalu dia menjabat tanganku dan bilang, "Aku Ezelio Nevandrian Arfan. Panggilnya Ezel aja. Kamu siapa?" Aku meringis kaku dan malu menyebutkan namaku siapa. Tadinya aku mau jawab, "Xavier," karena semalam aku baru ngewe dengan orang bernama Xavier. Tapi Fian langsung mengumumkan ke semua orang, "Jadi yang ikut saya ini namanya Rohmat ...." Dan sepuluh orang itu akhirnya tahu namaku Rohmat.)
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Dek!
Fiksi Umum(Cerita LGBT, ya. Tolong jangan bloon. Kalau ini bukan bacaanmu, please skip this.) Blurb: Rohmat hanyalah lelaki gay biasa yang bekerja sebagai seorang perawat di sebuah klinik swasta. Hidupnya benar-benar normal, enggak ada yang istimewa. Hingga s...