Bagian 6

1.1K 49 0
                                    

Malam itu, di rumah sedang ada Rahma. Seperti biasa, suaminya bertugas ke luar kota lagi. Kayla pun menggunakan waktu tersebut untuk menyampaikan tentang sesuatu kepada orang tua dan kakaknya.

"Kayla sedang taaruf," akunya memulai percakapan.

Ayah, ibu dan kakaknya saling pandang. Wajah mereka semringah.

"Serius, Kay?" Rahma menatap tak percaya. "Kenapa nggak pernah cerita?"

"Ini kabar yang sudah lama Ibu tunggu." Rosita, sang ibu pun tak kalah gembira.

"Kapan mau kamu kenalkan dia pada kami?" tanya Hamdi, ayah Kayla yang seperti tidak sabar.

"Insyaa Allah, secepatnya, Yah."

Setelah menjawab demikian, Kayla menunduk. Ia menautkan kedua jemari di pangkuan.

"Kamu seperti tengah menyembunyikan sesuatu. Ada apa, Kay?" Rahma menangkap sesuatu yang aneh pada sikap Kayla.

Pandangan ayah dan ibunya pun tertuju pada Kayla.

Kayla menggigit bibir. Ia terlihat ragu untuk mengatakan yang sejujurnya.

"Katakan ada apa, Kay? Mungkin kami bisa membantu." Rahma mendesak.

"Aku ... Kayla ... Kayla taaruf dengan seseorang untuk ... untuk dijadikan istri kedua." Kayla menjawab terbata-bata saking gugupnya.

Pengakuan Kayla sontak membuat ketiga orang itu terkejut bukan main. Terlebih Rahma. Ia jadi teringat percakapannya dengan sang adik beberapa waktu yang lalu.

"Kamu sudah gila, Kayla!" cerca Rosita, ia meradang mendengar pengakuan putri keduanya itu. "Kamu itu seperti gadis yang tidak laku saja. Begitu banyak laki-laki bujangan yang meminang malah kamu tolak. Eeeh, saat dipinang untuk dijadikan istri kedua kamu malah menerimanya. Kamu waras nggak sih, Kay?"

Rosita benar-benar emosi, sampai-sampai Hamdi agak kesulitan menenangkan istrinya tersebut. Sementara Kayla bergeming, menunduk semakin dalam. Ia tak berani menatap orang tuanya. Namun, ia sudah siap dengan segala konsekuensi yang akan diterima saat menyampaikan hal itu.

Suasana pun kembali tenang. Sorot tajam dari tiga pasang mata itu seperti hendak menguliti Kayla.

"Jadi, ini maksud pertanyaanmu tempo hari, Kay?" tanya Rahma dingin. "Kakak nggak nyangka, kamu bisa sebodoh ini. Seperti apa sih lelaki itu hingga kamu mau menerima pinangannya untuk dijadikan istri kedua? Sekaya apa dia? Setampan apa dia?"

"Aku belum memutuskan untuk menerima dia, Kak. Kami baru hanya sebatas taaruf. Aku masih istikharah untuk menentukan jawaban."

"Sudah! Tidak perlu istikharah! Sudahi taarufmu!" bentak Hamdi. "Ayah tidak sudi jika kamu dijadikan istri kedua. Mau ditaruh di mana muka kami ini nanti, Kay? Jangan membuat keluarga kita malu dengan perbuatanmu."

"Tapi, bukankah Kayla tidak melakukan dosa, Yah? Kayla hanya—"

"Sudah berani kamu membantah Ayah?" potong Hamdi.

Kayla terdiam. Bentakan Hamdi cukup membuat nyalinya ciut. Karena ini baru pertama kalinya sang ayah semarah itu.

"Di keluarga kita tidak ada yang jadi pelakor, asal kamu tahu itu, Kayla!" Rosita masih terlihat geram.

"Kayla bukan mau jadi pelakor, Bu. Bahkan istri lelaki itu sendiri yang meminta Kayla untuk menikah dengan suaminya." Mendengar ucapan ibunya, Kayla tidak bisa tidak menampik. Ia hanya ingin meluruskan prasangka wanita tersebut.

"Kalau bukan pelakor, apa namanya? Takhbib? Perusak rumah tangga orang? Lagian, tidak masuk akal ada istri yang meminta suaminya menikah lagi." Rosita tidak mau kalah.

Kayla terpaksa menahan diri untuk tidak berargumen lagi. Ia takut jika pada akhirnya malah mendurhakai orang tuanya.

"Ibu tidak menyangka, hijrah malah membawamu ke jalan yang seperti ini."

Setelah berkata demikian, Rosita berlalu meninggalkan ruang keluarga tersebut. Ia takut jika emosinya semakin tidak terkontrol.

Tak lama, Hamdi pun menyusul. Sebelum beranjak, ia sempat mengancam, "Jangan anggap kami orang tuamu, jika kamu bersikeras dengan pilihanmu. Mengerti, Kayla?"

Rahma yang sejak tadi hanya bisa diam terpaku, kali ini menatap adiknya dengan perasaan iba. Apalagi bulir-bulir bening mulai berjatuhan di pipi Kayla. Namun, iba bukan berarti ia mendukung adiknya. Rahma tidak bisa membayangkan jika Kayla yang belum pernah berumah tangga, harus menerima nasib menjadi istri kedua. Banyak hal yang Rahma takutkan jika itu sampai terjadi.

Dengan kasar, Kayla menyeka pipinya yang basah. Ia pun bangkit, berniat hendak masuk ke kamar.

"Kakak tidak tahu apa yang ada di pikiranmu sehingga kamu memilih jalan ini, Kay."

Ucapan Rahma membelenggu langkahnya.

"Kamu pintar, kamu cantik, kamu salihah ... kamu bisa mendapatkan lelaki lajang mana saja yang kamu mau. Kakak nggak ngerti kenapa kamu malah tertarik pada suami orang."

Kayla menelan saliva. Tak ingin mendebat Rahma, ia pun beranjak meninggalkan Rahma sendiri di ruangan itu.

***

Kayla menumpahkan tangisnya di kamar. Kata-kata orang tua dan kakaknya, cukup membuat hati Kayla terluka. Mereka yang tidak tahu siapa Erik di masa lalu Kayla, tentu saja tidak memahami situasi yang sedang dihadapi gadis itu.

Kehadiran Erik kembali dalam hidupnya, adalah takdir yang sulit ia tolak. Kayla masih memiliki rasa pada pria itu. Namun, ia tidak tahu apa yang harus diperbuat selain merelakan diri menjadi wanita kedua dalam kehidupan Erik. Akan tetapi, Kayla juga tidak bisa berbuat apa-apa tanpa restu kedua orang tua.

Kayla menghentikan tangis, ketika denting nada pesan masuk, terdengar dari ponselnya. Diraihnya benda pipih itu. Ternyata tebakannya benar, pesan itu dari Asya yang mempertanyakan perihal jawabannya. Sebab, Asya tidak mau menunggu terlalu lama.

[Assalaamu'alaykum, Kayla. Mohon maaf, saya mengganggu malam-malam. Saya nyaris tidak bisa tidur menunggu jawaban kamu. Rasanya tidak sabar menunggu kabar baik darimu]

[Namun, jika memang seandainya kamu memutuskan tidak mau menerima Bang Shabri, maka saya akan mencari gadis lain. Walaupun sebenarnya harapan saya sangat besar sama kamu]

"Apa? Mencari gadis lain? Artinya akan ada perempuan lain lagi di kehidupan Erik?" 

Kayla sangat gelisah. Haruskah ia lepas kesempatan untuk bisa bersama Erik? Ataukah ia harus mendurhakai orang tuanya hanya demi bisa dihalalkan oleh lelaki itu?

***

"Kayla belum membalas pesanku, Bang," sungut Asya, pada Erik yang berbaring di sampingnya. "Padahal sudah dibaca."

"Mungkin dia ketiduran dan nggak sempat balas pesanmu. Kamu nggak lihat ini sudah pukul sebelas? Kayla itu tidak terbiasa tidur larut.”

Jawaban Erik membuat Asya terkesiap. Seketika, ia menoleh pada suaminya itu.

"Bagaimana Abang tahu kalau dia tidak terbiasa tidur larut?"

Erik terkejut. Ia tak sadar telah mengatakan sesuatu yang akan mengundang rasa curiga Asya.

"Eumm, ya, tahulah! Dia itu seorang guru. Setahuku, guru itu harus tidur tepat waktu dan nggak boleh begadang. Karena kalau sampai kurang tidur, itu akan membuatnya letih saat bangun pagi dan akan mengurangi semangatnya untuk beraktivitas. Apalagi guru TK itu, kan, butuh tenaga ekstra buat menghadapi anak-anak yang lagi aktif-aktifnya."

Erik mengutuk diri dalam hati karena mulai pintar membohongi Asya, dengan memanipulasi jawaban.

"Ooh, iya juga sih. Tapi, aku jadi beneran nggak sabar menunggu jawaban Kayla. Kalau dia menolak, bagaimana ya, Bang? Apa aku harus mencari kandidat lain untukmu?"

"Kita tunggu saja, Sya. Kamu yang sabar, ya? Jangan terburu-buru!" Erik berusaha menghibur dan menenangkan istrinya.

"Aku pun sangat berharap Kayla mau, Sya. Aku ingin menebus rasa bersalahku padanya. Karena aku telah berbohong saat memutuskan hubungan dengannya dulu." Erik membatin.

***

Dikhitbah Masa Lalu (Dalam Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang