Aku bertemu lagi dengannya, dengan dia yang pernah kucinta, tetapi ada seseorang yang harus kujaga hatinya tengah berdiri di sampingku.
"Bukankah kamu berjanji untuk tetap menemaniku? Menyembuhkan lukaku dan menghilangkan rasa trauma yang kualami?"
"Itu dulu, saat hati ini milikmu."
"Aku tidak menginginkan hatimu. Umurku tinggal sebentar, anggap aku apa pun, asal jangan katakan mantan, aku benci kata-kata itu."
***
"Setelah menikah nanti, kamu mau punya anak berapa, Dik?"
Kemala, wanita yang saat ini ada di pelukan Damar, pipinya seketika memerah, "Kenapa Mas Damar bertanya seperti itu?" Angin sawah yang harusnya menyejukkan, jadi gerah, cuaca mudah berubah setiap kali berduaan dengan Damar begini.
Terkekeh sambil menyelipkan rambut Kemala di telinga, "Bagaimana kalau empat?" Damar menatap Kemala yang malah melihat ke pematang sawah.
"Kenapa tidak dua saja, Mas? Laki-laki dan perempuan. Bukankah itu cukup?" Sial! Kemala menjawab juga pertanyaan konyol itu.
"Dua? Berarti kamu mau anak kita dua? Anakku dan kamu?" goda Damar.
Kemala langsung menarik diri menjauh, "Mas?!" Meninju pelan dada Damar.
"Hahaha." Damar menarik lagi Kemala ke pelukan. Lama. Membiarkan air menyejukkan lagi suasana di sekitarnya. "Mungkin selama sebulan nanti, kita jarang ketemu, Dik. Aku dan bapak mau ke kota, mengurus kuda yang mau kubeli, setelah pulang dan tidak sibuk, aku akan mengirimimu surat, dan kita akan bertemu lagi di sini."
Kemala mengangguk, "Aku harus pulang, Mas. Hampir setengah hari, aku takut emak mencariku, gak apa-apa, kan?"
Damar mengangguk, mengurai pelukannya, dan mendekatkan wajah untuk mengecup pipi itu. "Setelah kuda itu kubeli, aku akan ke rumah dan meminangmu, tunggu aku, ya, Dik?"
Kemala mengangguk, sekali lagi memeluk Damar, dan pulang meski tak ingin rasanya berpisah lagi dengan kekasih hati.
Di tempat lain ... "Besar saja, itu bulan yang baik, semoga setelahnya rezeki kita melimpah, Nyai."
"Kula nuwun." Kemala masuk, melihat ada tamu di rumah, bersalaman lebih dulu sebelum kemudian berniat ke dapur.
Sudira, nenek Kemala, menepuk kursi kosong di sebelahnya, "Itu Pak Paimun dan Ibu Rusemi, saudara kita, mereka datang untuk membawakanmu hadiah. Sudah ditaruh kamar."
Kemala tersenyum, "Matur nuwun, Bu, Pak."
Rusemi tersenyum lebih lebar, "Memang benar yang dikatakan orang-orang, Nduk Kemala ini cantik sekali,"
Kemala tersipu mendengarnya. Meski begitu, dia mengangguk untuk menghargai ucapan Rusemi.
"dan kebaya kuning yang kubawa, pasti cocok untukmu." imbuh Rusemi.
"Matur nuwun, Bu." Kemala menoleh ke neneknya, "Aku boleh masuk, Mak?" Tak sabar, hadiah apa kiranya yang dibawakan oleh saudaranya ini, betapa baik sekali.
Sudira mengangguk. Setelah Kemala masuk, "Kenapa tidak ikut?"
Paimun terkekeh, "Sibuk. Mandor tidak boleh libur seenaknya, kan? Dia juga tidak pernah mau terlihat diam di rumah. Semalam saat tahu kalau tak apa semisal tidak ikut, dia malah bilang mau ke pabrik saja." Terkekeh kembali. Menoleh ke istrinya, mengisyaratkan agar minum sekali lagi, dan kemudian pamit, "Setelah nduk Kemala memberikan jawaban, kami mengundang Njenengan untuk datang ke rumah, biarkan mereka saling kenal."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Katakan Mantan
RomanceAku bertemu lagi dengannya, dengan dia yang pernah kucinta, tetapi ada seseorang yang harus kujaga hatinya tengah berdiri di sampingku. "Bukankah kamu berjanji untuk tetap menemaniku? Menyembuhkan lukaku dan menghilangkan rasa trauma yang kualami?" ...