"Aku tidak tahu, Dik! Aku ... masih memikirkannya." Damar melepas tangan Kemala darinya dan duduk di gubuk. Kepalanya saja mau pecah, Kemala malah banyak tanya, dia ini masih harus berpikir keras, kenapa Kemala tidak mau mengerti?
Kemala tersenyum, "Kalau begitu, pikirkan jalan ke luarnya, Mas." Tanpa pamit, Kemala berlari pulang, seolah percuma tetap tinggal, untuk apa? Hanya menikmati suasana canggung seperti itu akan lebih memuakkan menurut Kemala.
Sedangkan Damar yang melihat Kemala berlari, hanya mengawasi dari tempat duduknya, dia ingin mengejar, tetapi akan mengatakan apa? Menentang ayahnya tanpa penghasilan? Bahkan hanya di hari kedua dia akan mati mengenaskan, karena itulah Damar membiarkan Kemala pergi.
'Brug!' Kemala yang lelah berlari, jatuh tersungkur, kakinya lelah dan berdarah di beberapa jari, jarit yang dikenakan ada yang robek, sepertinya tersangkut ranting tadi, ditambah dengan air mata yang mengering, entah bagaimana penampakannya saat ini. Bisa jadi menyedihkan, tetapi bukankah itu tak ada arti dibanding hatinya yang hancur?
"Ada apa?" Dua perempuan yang menggendong rinjing, membantu duduk, "Kamu tidak apa-apa? Kakimu berdarah." Pertanyaan yang tak dijawab, salah satunya pergi, mencari bantuan, sedangkan yang lain tetap menemani, "Minumlah dulu."
Kemala hanya menatap gelas itu sekilas dan membuang pandangannya lagi.
"Mas Prabu, ada wanita terjatuh, entah dari mana, kakinya berdarah, dan dia diam saja saat kutanya."
Prabu yang bertanggung jawab di perkebunan ini, langsung berjalan cepat ke tempat yang ditunjuk, melihat ada dua wanita di sana, dia lebih mempercepat lagi langkahnya, "Ada apa?" Tahu itu Kemala, Prabu pun menyuruh dua pekerja tadi kembali panen kopi. Botol berisi air yang masih penuh, Prabu langsung mengambil kaki Kemala dan mencucinya, setelah cukup bersih kanan dan kiri, dia mengulurkan tangannya ke Kemala.
Kemala tetap diam, tak menggubris uluran tangan itu, bahkan perih yang tadi terasa saat kakinya dicuci, seolah mudah sirna karena hatinya yang menganga.
Prabu menghela napas dan duduk di samping Kemala, membiarkan wanita itu tetap diam, dan akan menunggu sekuat apa Kemala dengan segala keangkuhan. Sangat lama dan mungkin sebentar lagi seruling pertanda pulang akan ditiup dan Kemala tetap saja diam, membuat Prabu menyerah karena tak tahan, "Apa kamu akan di sini sampai besok pagi? Bagaimana jika emak kawatir? Apa kakimu sakit? Aku akan menggendongmu."
Kemala tetap tak menjawab, seolah dia malas, toh! Semua orang tak akan mengerti keadaan yang dirasakan.
Prabu menghela napas, dia kembali ke pabrik untuk mengambil sepeda, bertepatan dengan seruling ditiup, Prabu mengayuh sepedanya secepat mungkin. Namun, apa yang dipikirkan ternyata salah, dikira Kemala akan kabur, ternyata wanita itu tetap berada di tempat yang sama dan dengan posisi yang sama pula.
Prabu mengangkat Kemala, mendudukkannya di sepeda, dan mengajak wanita itu pulang. Tak ada yang dibicarakan, hanya berhenti saat melewati sungai, melepas pakaian yang dikenakan, dan digunakan untuk membersihkan wajah Kemala. "Apa nyawamu tertinggal di suatu tempat? Bayangkan, kalau tidak bertemu denganku, tetapi bertemu harimau, bagaimana? Kamu digigit dan dicakar. Lagi pula ... ke mana Kemala yang membenciku dan jijik kusentuh kalau nyatanya aku yang membersihkan lukamu?"
Barulah Kemala menahan tangan Prabu, menjauhkan tangan itu, dan membersihkan dirinya sendiri. "Ssssttttt!" Meringis karena kakinya lebih perih dari pada yang tadi.
"Di mana sandalmu? Kamu berlari dengan kaki seperti itu." Prabu melepas sepatu dan mendekatkannya ke Kemala.
"Mungkin tertinggal di jalan."
![](https://img.wattpad.com/cover/374691569-288-k146754.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Jangan Katakan Mantan
RomanceAku bertemu lagi dengannya, dengan dia yang pernah kucinta, tetapi ada seseorang yang harus kujaga hatinya tengah berdiri di sampingku. "Bukankah kamu berjanji untuk tetap menemaniku? Menyembuhkan lukaku dan menghilangkan rasa trauma yang kualami?" ...