Minta bayaran

5 1 0
                                    


Kemala langsung membelalak, seolah menyalahkan Prabu karena ini terlihat seperti jebakan, entah apa yang sedang direncanakan pria gila itu, dan Kemala hanya bisa nyengir menanggapi pertanyaan Damar.

Prabu tersenyum, "Tidak. Aku sedang lewat dan Mbak ayu ini menanyakan tentang acara yang berlangsung. Apa kamu mengenal Mbak ayu ini, Dam?"

Damar terkekeh dan menyenggol pundak Kemala, "Ini Dik Kemala, kami sedang dekat, doakan kami bisa segera menikah, ya? Ini," Damar menoleh ke Kemala, "Kang Prabu, dia mandor lapangan yang hebat di pabrik."

Prabu tersenyum sambil mengusap rambut yang sudah rapi agar semakin rapi lagi, "Aku kawatir akan mengganggu kalian. Aku lanjut jalan-jalan dulu dan Mbak ayu," Menoleh ke Kemala, "selamat bersenang-senang." Mengangguk dan pergi.

Kemala menghela napas, ternyata Prabu benar-benar pergi, sepertinya dia harus menghabiskan banyak uang saat ditagih nanti, membayangkan koin uangnya akan habis, Kemala kembali lesu.

"Dik Sekar, sudah makan?" Damar melangkah sambil mengajak Kemala maju.

"Lek Tejo tadi takut terlambat, jadi kami langsung berangkat, tetapi aku belum lapar, Mas Damar. Aku mau ...." Kemala menggantung kalimatnya sambil tersenyum ke Damar.

"Apa?" Damar sangat gemas sekali. Andai tak ada orang di sini, mungkin dia akan memeluk kuntum bunga yang selalu dirindukan itu, indah dan memesona.

Kemala menunjuk penjual makanan dengan matanya sambil terus tersenyum.

Damar menoleh, tahu ada makanan kesukaan Kemala, dia pun tertawa, "Ayo!" Sate kere yang terdiri dari urat, jeroan, dan gajih itu, cukup panjang antreannya. Meski begitu, Damar tetap mengajak Kemala ke sana, apa yang tidak bisa dilakukan asal kekasihnya itu bahagia.

"Hmmm ... selalu enak. Apa nanti Mas Damar juga menginap di sini?" tanya Kemala sambil menikmati sate kere.

Damar menggeleng, "Hanya tamu dari desa sebelah yang disiapkan kamar. Rumahku dekat dari pabrik, jadi aku tidak menginap."

Ludruk sudah dimulai, tetapi Kemala tetap tak berniat mendekat, di tempat ini saja sudah cukup seru, apa lagi dengan Damar. "Mas, apa kamu sudah membaca suratku?"

Damar menggeleng, "Tetapi aku sudah memikirkan bagaimana kita menikah nanti. Sabar, ya, Dik Kemala. Aku yakin, setelah mendapatkan uang dengan usahaku sendiri, aku akan datang menikahimu, sabarlah sebentar lagi."

Kemala tersenyum. Kembang api berebut meledakkan diri, langit gelap yang hanya bertabur bintang, seolah semakin indah dengan kembang api yang baru saja meluncur, Kemala merasa malam ini sangat sempurna. "Aku tahu ... tujuan kita memang sama, Mas Damar. Saat Mas Damar tidak memiliki jalan lagi karena pernikahanku yang semakin dekat, sempatkan membaca suratku, mungkin Mas Damar akan menemukan jawabannya di sana." Kemala melihat Tejo mendekat, sepertinya dia harus berpisah dengan Damar, "Aku tetap akan menerimamu."

Damar tersenyum, "Aku tidak akan mengecewakanmu, Dik."

Tejo tersenyum, "Aden Damar, Nduk ayu, seseorang yang mengundang nyai Sudira ada di depan, tidak enak kalau tidak bertemu dengannya dulu, hadiah yang sudah disiapkan juga harus diberikan, maaf kalau aku sampai harus mengganggu pertemuan ini."

Damar terkekeh, "Tidak apa-apa, Lek. Kami masih akan sering bertemu." Damar membiarkan Kemala pergi.

"Siapa orangnya, Lek?" Kemala mengikuti Tejo pergi sambil melihat betapa besar kotak yang dibawa Tejo.

"Di depan, Nduk ayu." Setelah berhadapan dengan seseorang yang dimaksud, Tejo memberikan kotak itu, "Ini ... Nduk Kemala, cucu nyai Sudira."

Kemala bersalaman, "Emak menitipkan salam maaf karena tidak bisa hadir, tetapi saya akan menginap semalam di sini menggantikan emak, kami harap Njenengan tidak keberatan."

Jangan Katakan MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang