Bagian 7

1K 43 2
                                    

Kayla terlihat lesu. Di sekolah pun ia tak seceria biasanya. Kejadian semalam membuatnya seperti kehilangan semangat. Ketika ia sudah mau memikirkan pernikahan, justru malah ditentang oleh keluarga.

Memang tak mudah mendapat restu untuk pernikahan sebagai istri kedua. Sebab hal itu masih menimbulkan pro dan kontra walaupun poligami itu halal. Namun, image pelakor yang disematkan publik pada istri kedua, sudah mendarah daging.

Bukan hal mudah juga bagi Kayla memutuskan untuk menerima Erik. Istikharah yang ia jalani, sudah memberinya titik terang tentang apa yang harus ia lakukan. Kalau lelaki itu bukan Erik, belum tentu juga Kayla mau. Sebab, sedikit banyaknya ia sudah mengenal pria itu lebih dulu. Tentu tak perlu lagi baginya untuk saling mengenal setelah menikah nanti. Apalagi bedanya hanya halal dan tidaknya hubungan mereka. Begitu pikiran Kayla.

Kayla mengembus napas. Makan siang yang sedang ia nikmati tak senikmat biasanya. Kehadiran Erik nyaris mengobati hati yang pernah patah. Namun, restu yang tidak berhasil diraih membuatnya kembali merasakan sakit.

"Mungkin, kita memang tidak ditakdirkan berjodoh, Bang."  Kayla membatin. Ia tengah mencoba menerima ketentuan yang telah dituliskan Allah untuknya. Karena tak mau terlalu larut dalam hal yang membuat segala sesuatunya akan berantakan. Sementara ia masih puny banyak kewajiban lain.

"Lagian, tidak menikah seumur hidup pun tidak masalah, kan?" Gadis cantik itu mencoba tersenyum, demi menguatkan dirinya sendiri.

[Kak Asya, maaf kalau saya harus memberi jawaban yang mungkin akan mengecewakan Kakak. Namun, saya tidak bisa menentang kedua orang tua. Mereka tidak ridha jika saya harus menjadi istri kedua. Sekali lagi saya minta maaf, karena saya tidak mau mendurhakai mereka]

Hati Kayla begitu perih saat pesan bernada lugas itu ia kirimkan. Walaupun ada rasa tak rela melepas Erik untuk yang kedua kali, tetapi ia lebih tak rela lagi jika orang tuanya sampai murka jika ia masih bersikeras memaksakan keinginannya. Kayla benar-benar harus mengikhlaskan Erik, bahkan jika pria itu harus menghadirkan satu perempuan lagi dalam hidupnya dan itu bukanlah dirinya.

Embusan napas berat Kayla menandakan, kalau ia sedang mencoba berdamai dengan diri sendiri setelah melewati jalan yang cukup terjal. Ia yakin, berbakti kepada kedua orang tua lebih utama untuknya saat ini.

Kayla tidak berniat melihat apakah pesan yang ia kirim sudah dibaca Asya atau belum. Ia sedang berusaha pasrah dengan mengabaikan dan tidak memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

***

Rahma yang tengah duduk di teras, melihat Kayla masuk ke halaman rumah dengan mengendarai motor. Gadis itu baru saja pulang dari TK siang itu. Ia berusaha menampakkan wajah semringah menyambut sang adik.

"Baru pulang, Kay?" sapa Rahma, tanpa menutup majalah yang dibacanya.

Kayla tersenyum sambil membuka masker dan helm.

"Iya, Kak. Anak-anak mana? Kok sepi aja?" Kayla celingukan mencari dua keponakannya.

"Mereka baru aja tidur. Pada kecapean habis main air. Kalau enggak, mana bisa Kakak santai begini."

Kayla tertawa kecil. Ia lalu meraih minuman dingin milik Rahma di meja. "Aku minta ya, Kak?"

"Iya, habiskan saja, Kay!"

Rahma menatap wajah Kayla dengan saksama. Gurat kecewa tidak bisa disembunyikan oleh gadis itu. Ia tahu apa yang tengah dirasakan adiknya, tetapi tidak juga bisa mendukung keinginan Kayla kali ini.

"Kamu udah makan?"

"Tadi sudah di sekolah."

"Makan lagi, gih! Kakak bikin oseng tempe favorit kamu."

"Nanti saja, Kak. Masih kenyang," tolak Kayla. Lalu, ia pamit masuk ke rumah guna membersihkan diri. Kayla butuh suasana kamarnya yang tenang walau hanya sekadar untuk membaringkan diri.

"Kamu pasti bisa mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik dan pantas mendampingimu, Kay."

Ucapan Rahma sebelum Kayla berlalu, membuat gadis itu menghentikan langkah beberapa saat. Kemudian, tanpa menanggapi, ia pun kembali melanjutkan langkahnya.

***

Erik melamun di ruangannya. Penolakan Kayla membuat lelaki itu gundah. Padahal, ia sangat berharap agar Kayla mau menerimanya. Namun, ternyata restu telah menjadi penghalang mereka untuk bersatu.

Erik paham kenapa sulit bagi orang tua Kayla memberi restu, karena untuk menjadi istri kedua sungguh bukan hal yang mudah diterima semua orang. Apalagi jika putri mereka masih gadis. Lain hal jika yang melamar adalah seorang duda. Tentu tidak akan sesulit itu mendapatkan restu.

Asya pun tak kalah kecewa dengan keputusan Kayla. Akan tetapi, ia tentu tidak bisa memaksakan kehendaknya. Asya terlanjur memiliki harapan besar pada gadis cantik itu. 

"Mungkin, Kayla belum berjodoh dengan Abang," ucap Asya tadi malam. Sesaat setelah menerima pesan dari Kayla.

"Nanti, aku akan mencarikan gadis yang sekiranya cocok sama Abang. Abang sabar dulu, ya? Tahu sendiri kalau aku sangat selektif untuk memilih maduku." Asya mencoba menghibur sang suami.

Erik menggeleng. "Tidak usah, Sya. Sudahlah! Tidak usah mencari perempuan lain lagi."

Asya bisa melihat kekecewaan di mata Erik, sehebat apa pun ia berusaha menyembunyikan.

"Enggak bisa, Bang. Abang harus—"

"Asya! Aku bilang sudah, ya, sudah!"

Erik sedikit membentak hingga Asya terkejut. Hal itu mengundang tanya tanya besar di hati Asya. Apakah Erik sekecewa itu atas penolakan Kayla? Ataukah ... Erik sudah jatuh cinta pada gadis yang nyaris sempurna itu di mata Asya?

"Maaf, aku tidak bermaksud," sesal Erik, sembari merangkul Asya ke pelukan. Sementara Asya hanya terdiam, tenggelam dalam sebuah prasangka.

"Abang ... jatuh cinta dengan Kayla?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja.

Erik terkesiap mendengar tuduhan sang istri. Namun, ia memilih tidak menjawab dan membiarkan pertanyaan itu mengambang.

"Aku sudah mencintainya sejak lama, Sya. Bahkan jauh sebelum kamu hadir di kehidupanku." Batin Erik terasa perih. Untuk yang kedua kalinya, ia harus rela melepas Kayla.

***

Kayla mulai menjalani hari-harinya seperti biasa. Ustazah Miftah pun telah mengetahui penolakannya terhadap Erik dan tak pernah lagi membahas masalah tersebut. Karena jika sudah menyangkut restu orang tua, Ustazah Miftah pun tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa berdoa yang terbaik untuk salah satu muridnya tersebut.

Suatu sore, ketika ada pengajian khusus untuk para guru TK di rumah Ustazah Miftah, tak sengaja Kayla bertemu dengan Erik. Pria itu sedang ada keperluan dengan Ustaz Hidayat, suami Ustazah Miftah. Posisi Kayla saat itu hendak pulang karena kajian telah usai.

Mobil Erik terparkir tepat di samping motornya. Kedua pasang mata itu saling beradu pandang ketika Erik baru turun dari kendaraan beroda empat tersebut. Desiran aneh, tetapi sangat menyakitkan, membuat Kayla langsung membuang pandangan. Ia bersikap seolah tidak peduli dan pura-pura tidak mengenal lelaki itu. Kayla sengaja mengalihkan perhatian dengan pura-pura mengobrol dengan rekan-rekannya.

Setelah Erik berlalu, Kayla menoleh, memandang punggung pria itu. Ia beristighfar dalam hati saat merasa jantungnya seperti diremas. Sakit.

"Kak Kayla! Segitunya mandangin suami orang. Ghadhul bashar!" cecar Dini, salah satu temannya. Gadis itu lalu terkekeh.

Kayla tergugup. Wajahnya terasa panas karena ketahuan memandang sesuatu yang bukan haknya.

"Ah, kamu bisa aja. Kakak cuma ngerasa dia mirip sama teman Kakak waktu kuliah." Kayla berkilah.

"Ooh, kirain!" Dini kembali tertawa.

"Ah, sudahlah! Ayo, pulang! Udah sore banget, nih!" ajak Kayla menyudahi.

***


Dikhitbah Masa Lalu (Dalam Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang