RANIN - BAB 8

5 4 3
                                    

Happy reading
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.


Suasana sore di puncak makin menyejukkan, Anin yang kini menggunakan bomber jaket mengeratkannya pada tubuh. Hari pertama period, bukanlah hari yang menyenangkan bagi perempuan itu. Biasanya jika hari pertamanya datang, ia akan meminta hari libur pada Ica untuk tidak mengantarnya kemanapun. Tapi, saat ini, ia malah terjebak berlibur di hari kerja bersama pria gila di sampingnya itu. Siapa lagi kalau bukan Tara?

Pria itu hanya tersenyum kala memasuki Cimory mall, katanya ingin membeli oleh-oleh untuk keluarganya.

"Sok banget bilang mau buat keluarga, padahal gue tau rencana yang ada di otak Lo sekarang apa" ucap Anin, membuat Tara malah menggelakkan tawanya.

"Nah, ga salah emang gue mau nikahin Lo. Lo tuh yang paling tau gue banget"

Sialan kan? Pria itu dengan entengnya berbicara seolah memang Anin itu adalah seekor kepiting, bukan manusia.

"Bajingan" seru Anin meninggalkan Tara yang makin tertawa dibelakangnya.

Tak lama dari itu, ponsel Anin bergetar. Melihat siapa yang menelpon, ia bergegas untuk mengangkatnya.

"Ya?"

"Enak banget sih yang lagi jalan-jalan sama doi, mana hari kerja lagi. Nggak bilang-bilang juga" suara lembut Ica mengalun, masuk dengan sopan ke telinga Anin dengan menggumamkan kata permisi.

"Temen Lo sinting, habis di tolak cewek kayanya tuh. Tapi sialnya, malah bawa-bawa gue" kata Anin seraya memilah beberapa bolu di hadapannya. Nampak sangat menggiurkan.

"Tapi, emang kalian malah makin cocok. Saling melengkapi gitu" gelak tawa Ica terdengar menyebalkan ditelinga Anin, membuat ia memutar bola matanya malas.

"Sialan Lo, btw mau di bawain apa? Mumpung gue lagi di Cimory" tanya Anin pada majikan sekaligus sahabatnya itu.

"Waahh, mau yoghurt blueberry sama strawberry please. Sama apatuh namanya ya, yang rol rol itu. Duuh, gue ngiler duluan lagi. Bisa sampe duluan nggak sih itu oleh-oleh?" Ketidakjelasan seorang Annisa Azalea mulai terlihat, Anin terkekeh dan malah membuat Ica gemas karna panggilan berubah menjadi video.

"Inikah? Momoroll, aiihh enak banget ini Ca" Anin gemar sekali menggoda Ica sebab wajah kepingin Ica itu sangat menggemaskan.

"Sumpah ya, nyebelin bangetttt " seru Ica membuat Anin malah tergelak geli.

"Lo mau beli apa aja? Udah dapet?" Di tengah perbincangan, Tara datang dengan sekeranjang belanjaannya dan membenarkan Surai Anin yang terlihat tak beraturan, menyimpannya dibelakang telinga.

Entah kenapa, semua perilaku Tara sangat tidak baik untuk jantungnya. Apalagi saat ini, ia malah membuat Anin seperti sedang berperang melawan hatinya sendiri. Refleks Tara yang sangat bagus malah menyusahkan Anin yang hatinya mudah luluh. Walau egonya tidak.

"Ehm, ada gue kali. Sengaja banget kayanya, iya tau bucin" suara Ica mengalihkan perhatian keduanya dari saling tatap yang terjadi beberapa detik tadi. Membuat Anin tersipu sedang Tara malah sengaja.

"Lho, hai ca. Sorry ya gue pinjem Anin dulu. Dia sok sibuk kalo gue ajak kemana-mana " kata Tara membuat Anin kembali menatapnya heran.

Ica terkikik, kemudian memberikan salam perpisahan pada kedua sejoli itu.

"Sengaja banget, biar Ica cemburu? Engga bakal Ra. Lo tuh, kenapa nekat banget sih? Gatakut sama harimau benggalanya?" Sewot Anin, memasukkan ponsel kedalam saku dan mengambil beberapa box momoroll dengan berbagai macam rasa. Juga beberapa box yoghurt pesanan Ica juga untuk dirinya.

"Niat ngerampok gue ya Lo?" Seru Tara, tanpa menanggapi ocehan Anin sebelumnya.

"Iya! Lagian gapapakan? Ngerampok calon suami?" Setelah bicara seperti itu, Anin pergi. Mencari beberapa camilan lain untuk ia beli, memang niatnya mau merampok Tara yang seenaknya mengambil jatah hari liburnya.

Sedang Tara yang mendengar perkataan Anin membeku, apakah ini sebuah lampu hijau terang dari Anin? Setelah sadar, ia tersenyum dan menyusul perempuan itu dengan hati yang riang.

*****

Jakarta tidak pernah tidur,  meski waktu sudah beranjak malam. Anin, merebahkan dirinya. Seharian menemani Ica kemanapun perempuan itu pergi membuat ia lelah, pekerjaannya memang tidak terlalu membuatnya kelelahan memang. Sebab, jarang sekali ia menemani Ica sampai larut seperti ini.

Biasanya perempuan itu akan bersama tunangannya jika waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Tetapi, tadi Ica bilang ingin di temani Anin saja.

Apa boleh buat? Ini memang sudah jadi tanggung jawabnya bukan?

Sedang enak menikmati waktu di kontrakannya, tiba-tiba pintunya terbuka dengan keras. Anin hafal sekali siapa yang melakukan itu.

Perlahan ia bangkit, keluar dari kamarnya dan mendapati sang Ayah tengah meminum segelas air sambil berdiri. Melirik Anin sekilas dan menaruh gelasnya, kemudian berbalik menatap Anin sepenuhnya.

"Duit" ucap sang ayah dengan tangan menengadah.

"Gada" ucap Anin dingin. Membuat sang bapak murka.

"Lu kerja tiap hari duitnya kemana!?" Kata pria paruh baya itu dengan keras.

"Anin butuh makan, siapa yang mau nanggung biaya hidup Anin kalo bukan Anin sendiri? Aninkan udah engga ada orangtua" jawabnya enteng, berlalu begitu saja melewati sang ayah yang makin geram.

Ditariknya rambut sang anak yang terkuncir kuda itu, kemudian menggenggamnya kuat. Anin meringis,  merasakan rambutnya seperti akan lepas dari kepalanya.

"Engga sopan lu! Gue ini bapak lu, berbakti sama orangtua! Bales Budi sama gue, udah gue biarin lu idup" kata bapaknya menusuk telinga. Anin dengan emosi yang sedang tak stabil sebab sedang datang bulan mulai memberontak.

Menyikut perut bapaknya dengan kencang hingga pria itu mengaduh.

"Anin engga mau bersyukur punya bapak kaya bapak! Anin engga pernah minta dihidupi sama bapak! Anin selalu sendirian semenjak kecil! Cuma nenek yang ngasih kasih sayang ke Anin! Anin berjuangs sendirian buat sekolah pak! Bapak yang katanya orangtua kemana!? Apa selama ini bapak menghidupi Anin dengan layak!? Dengan kasih sayang yang cukup?! Dan sekarang minta di hormatin!? Bangun pak bangun!! Jangan mimpi!!" Teriak Anin murka, bapaknya naik pitam.

Sebuah tamparan mendarat di pipinya, hingga merah membiru. Rambutnya di tarik lagi, kepalanya di benturkan ke dinding hingga bunyinya menggema. Anin merasakan kebas, tak merasakan apapun. Hanya diam, hingga air matanya menetes. Juga darah segar mulai mengalir dari hidungnya.

Ya! Beginilah sosok Anin, hancur dan tersakiti. Tapi, tak pernah ada yang tahu. Dirinya semenginginkan itu untuk bahagia. Bisakah ia?

Tak pernah ada yang tahu, hari esok akan seperti apa. Tapi, Anin berdoa, bahwa esok ia bisa bahagia. Dengan siapapun akhirnya, yang terpenting ia bahagia. Tak ada sakit, memar, atau bahkan darah lagi yang terlihat ditubuhnya.

Anin menangis, bapaknya sudah pergi keluar meninggalkan anaknya sendirian setelah menggeledah tas Anin. Sesak di dada Anin terasa sangat mengikat sekarang. Kepalanya terasa pusing sekali, telinganya mulai berdenging.

Sebelum kegelapan menjemput, Anin berdoa pada Tuhan semoga kematian belum menjemputnya kali ini. Walau rasanya, setiap hari ingin rasanya ia mati saja.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bersambung

RANIN #BagiandariRASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang