Bagian 10

1.1K 41 2
                                    

Kayla gelisah mengingat niat Erik. Apakah ia memang bisa senekat itu? Rasanya, Kayla ingin kabur saja dari rumah. Ia sangat takut jika orang tuanya marah pada Erik dan berimbas juga pada dirinya.

"Apa karena aku, luka itu diciptakan Bang Erik di hati Kak Asya selama ini? Apakah karena Bang Erik juga sebenarnya tidak bisa melupakanku? Lalu, kalau memang dia tidak cinta, kenapa dia menikahi Kak Asya?"

Gadis itu dibuat gundah dengan ribuan pertanyaan yang tak mampu ia jawab sendiri. Bohong jika ia tidak ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya dengan pernikahan Erik dan Asya. Apalagi setelah mendengar keduanya berbicara. Namun, andaipun akhirnya takdir membawa Kayla menikah dengan Erik, bukankah itu artinya ia ikut menambah luka hati Asya?

Kayla mengusap wajah dan beristigfar. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Menunggu malam datang, membuatnya tidak bisa tenang. Bahkan ia hampir saja memecahkan beberapa perabotan makan saat mencucinya. Peralatan yang terbuat dari keramik tersebut nyaris lepas dari tangan saat ia mencucinya. Bunyi sendok-sendok yang jatuh ke lantai pun mengundang omelan dari sang ibu. Bagaimana tidak? Kayla tidak pernah seceroboh itu.

***

Deru suara mobil yang berhenti di halaman depan, membuat Kayla yang tengah membaca Al-Qur'an, langsung menyudahi dan spontan berlari mendekati jendela. Dari kamarnya yang terletak di bagian samping dengan posisi jendela menghadap ke halaman, ia bisa melihat dengan jelas siapa yang datang.

"Bang Erik?" desisnya. Ternyata, pria itu tidak main-main. Ada Ustaz Hidayat, suami Ustazah Miftah, bersamanya.

Jantung Kayla semakin berdegup kencang. Ia gemetar membayangkan apa yang akan terjadi. Tak ada yang mampu Kayla lakukan selain berdoa. Walau bagaimanapun, ia ingin semua baik-baik saja. Semoga ayah dan ibunya tidak tersulut emosi setelah mengetahui maksud dan tujuan kedatangan Erik.

Kayla memilih menunggu di kamar saja tanpa berani ke luar. Bahkan untuk menguping pun, ia tidak berani.

***

Rosita dan Hamdi agak terkejut menerima kedatangan dua pria itu. Namun, karena sudah mengenal Ustaz Hidayat, tentu tanpa berpikir panjang mereka langsung mempersilakan masuk. Ustaz Hidayat sering mengisi pengajian di masjid kompleks perumahan.

Setelah berbasa-basi sejenak dengan saling menanyakan kabar, Rosita pun menyuguhkan dua cangkir minuman hangat. Ustaz Hidayat mulai membuka celah untuk mengatakan tujuan mereka datang.

"Jadi, tujuan kami ke sini dengan niat baik. Rekan saya ini, namanya Muhammad Shabri. Nama aslinya Erik. Sejak dia hijrah, orang-orang lebih mengenalnya dengan nama Shabri. Dia ingin meminang putri Pak Hamdi dan Bu Rosita."

Ada gurat kebahagiaan yang terpancar dari wajah sepasang suami istri tersebut. Apalagi melihat sosok Erik yang rupawan serta sudah pasti soleh menurut mereka. Karena kalau Ustaz Hidayat yang merekomendasikan, pasti lelaki tersebut bukan orang sembarangan.

Rosita dan Hamdi menyambut bahagia niat dua pria tersebut. Namun, saat Ustaz Hidayat mengatakan sesuatu yang selama ini menjadi penghalang, Rosita dan Hamdi terdiam. Mereka saling pandang beberapa saat. Baru sadar jika Erik adalah lelaki yang dimaksud Kayla waktu itu.

"Saya sudah menyampaikan kenapa Shabri mencari istri kedua. Semua tak lain karena kemauan istrinya. Jadi, ini bukan semata-mata karena nafsu, tetapi memang sudah dianjurkan untuk menikah kembali. Meskipun, nanti istri pertama beliau setelah dioperasi bisa melayani secara normal kembali, tetapi ... tetap saja ada hal-hal yang membuat sang istri begitu kuat meminta suaminya menikah lagi. Dan ini murni bukan karena dorongan nafsu semata."

"Tapi, kenapa harus Kayla?" Rosita angkat bicara. Ia berusaha menahan gejolak hati, meskipun penjelasan Ustaz Hidayat sudah sangat jelas dan bisa diterima dengan akal sehat.

"Karena istri saya yang memilih Kayla, Bu. Bukan saya sendiri. Saya hanya ingin memenuhi permintaan istri saya." Kali ini Erik mencoba menjawab. "Saya tahu, ini berat buat keluarga Bapak dan Ibu. Siapa sih, yang sudi anaknya jadi istri kedua? Apalagi ... Kayla masih gadis. Namun, saya janji, insyaa Allah ... saya akan menjaga Kayla dan berusaha adil dengan keduanya."

Ustaz Hidayat mengangguk-angguk mendengar penuturan Erik sambil tersenyum samar. Erik juga memberi penjelasan-penjelasan yang sekiranya mampu melunakkan hati orang tua Kayla.

"Minggu depan, Asya, istri saya dijadwalkan untuk operasi. Jadi ... saya tidak memaksa Ibu atau Bapak menjawab sekarang. Saya bersedia menunggu," pungkas Erik. Ia tersenyum Rosita dan Hamdi bergantian.

Hamdi menghela napas. Ia dan istri tak lagi emosi seperti waktu itu.

"Baiklah, kalau begitu. Saya dan istri saya serta saudari-saudari Kayla perlu musyawarah dulu sebelum memutuskan. Sebab, ini bukan perkara mudah," tutur Hamdi bijaksana.

"Iya, Pak, saya mengerti." Erik menyahut.

"Musyawarah dan pikirkan baik-baik sebelum memutuskan. Jangan lupa libatkan Allah, jangan hanya melibatkan ego." Ustaz Hidayat tersenyum. "Kayla juga harus diberi ruang untuk ikut memilih dan memutuskan, karena walau bagaimanapun, dia yang akan menjalani."

"Baik, Ustaz. Kami mengerti."

***

Di kamarnya, Kayla masih gelisah. Ia tidak mendengar suara yang keras dari ruang tamu. Artinya, semua terkendali. Ayah dan ibunya tidak marah. Namun, Kayla tetap saja penasaran bagaimana tanggapan orang tuanya.

Suara nyala mesin mobil terdengar. Kayla kembali mengintip ke jendela dari balik gorden. Tampak mobil Erik perlahan merangkak meninggalkan halaman rumahnya.

Kayla sudah bersiap menunggu suara ayah atau ibunya memanggil. Namun, sudah setengah jam, tidak satu pun yang datang ke kamarnya. Kayla agak lega. Walau tahu besok atau lusa, ia pasti akan dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit dari orang tuanya.

***

Senin pagi, suasana di ruang makan saat sarapan tetap sama seperti biasa. Tidak ada pertanyaan seperti yang Kayla bayangkan. Bahkan hingga ia berangkat ke sekolah.

Hanya saja, saat pulang dari sekolah, Kayla terkejut mendapati Rahma dan Mahira adiknya sudah berada di rumah. Kedatangan mereka tidak berkabar sebelumnya, apalagi Mahira yang tinggal di luar kota dan tengah hamil itu.

Kayla memeluk Mahira untuk melepaskan rasa kangennya.

"Tumben pada ngumpul. Ada acara apa, nih? Kok, aku nggak tahu, Kak?" Kayla memandang Rahma.

"Kakak juga nggak tahu. Tadi malam, Ibu telepon suruh kita ngumpul di rumah. Tapi, Ibu dan Ayah masih di toko, sih."

"Iya, aku juga dikabari begitu aja. Cuma dibilang kalau Ibu kangen sama aku dan mau kita bertiga kumpul."

Meskipun sedikit bisa menebak, tetapi Kayla memilih diam.

"Suami kamu nggak ikut?" tanya Kayla pada Mahira.

"Tadi cuma nganterin, Kak. Nggak bisa ikut nginap karena banyak pekerjaan di kantor. Susah buat minta izin. Ini aja tadi minta izin ke atasannya repot banget demi bisa anterin aku."

"Kasihan banget bolak-balik dalam dua jam perjalanan." Kayla tertawa kecil.

"Nggak apa-apa, demi bini tersayang." Mahira mengibas rambut panjangnya.

"Iya deh, iya. Yang udah punya laki," ledek Kayla disambut tawa kakak dan adiknya.

"Tuh, Ra! Kayla merasa tersungging. Siapa suruh belum nikah. Ya, kan?" sindir Rahma.

Kayla memukul lengan Rahma dengan kesal yang dibuat-buat.

"Tenang saja. Dalam waktu dekat, aku akan menikah. Tunggu saja tanggal mainnya."

***












Dikhitbah Masa Lalu (Dalam Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang