Episode 5. Shankara : dari Kejauhan

71 8 2
                                    

Jika luka masa lalu bisa diibaratkan seperti hujan, maka Shankara memilih menghindar sejauh mungkin, sengaja denial atas segalanya.

Setiap kali melihat bayi kecil itu, rasa sesak menyeruak begitu saja. Shankara tahu dirinya salah, tidak pantas ia menyalahkan bayi kecil itu, tapi penyesalan yang memenuhi hatinya tak mampu ia tahan.

Saat melihat bayi itu, dirinya seperti terlempar kembali di hari saat orang tuanya dinyatakan meninggal. Saat melihat bayi itu, rasa bersalahnya muncul. Shankara tidak membencinya, ia tidak sejahat itu membenci bayi yang masih suci. Oleh karena itu satu-satunya jalan agar bayi itu terhindar dari cipratan rasa bersalahnya, Shankara memutuskan menyewa seseorang untuk merawatnya.

Namanya Elio. Elio Dirgantara. Elio yang berarti matahari. Shankara yang memberi nama itu, karena Elio seumpama matahari di tengah kegelapan pekat dalam hidupnya. Elio hadir menyinari sisa-sisa hujan dalam hidup Shankara. Bunda benar, hadiah kali ini sangat istimewa. Benar-benar istimewa hingga Shankara tidak ingin merusak hadiah itu dengan noda apapun. Biarlah Elio menjadi matahari cerah tanpa kegelapan sedikitpun.
.
.
.

"Satu... Dua... Tiga... Hap! Iyo dapat capungnya yeyy!!!" Elio kecil bersorak gembira sembari mengangkat tangan kanannya yang memegang seekor capung.

"Ibu Pia liat! Iyo dapat capungnya." Teriak anak itu lagi lebih semangat, melambai heboh kepada pengasuhnya yang duduk di kursi taman.

Shankara tersenyum tipis, hatinya menghangat saat suara melengking itu lagi-lagi bersorak senang. Dari tempat persembunyiannya, Shankara berusaha menahan diri menggigit bibir gemas. Matanya tak henti-henti mengikuti gerakan lincah Elio yang sekarang berlari-lari mengejar capungnya yang lepas. Lucu sekali, pengen Shankara hap pipi gembul anak itu.

"Capung tungguin Iyo!" Serunya lagi. Elio fokus mengejar capung sambil mendongak ke atas.

Dan... Brukk

Tubuh kecil itu terguling jatuh karena tidak sengaja tersandung akar pohon yang timbul. Suara gedebuknya cukup keras sampai-sampai Shankara nyaris keluar dari persembunyiannya.

Tapi ada yang aneh, alih-alih menangis, Elio justru berusaha bangkit sendiri. Bibir kecilnya mengukir senyum lebar sambil melambai pada sang pengasuh yang kini berlari panik mendekat. Elio tidak menangis. Anak itu justru tertawa, seolah kejadian barusan hanya seperti angin lalu.

"Hihi Iyo jatoh ibu." Ucapnya masih dengan cengiran lebar.

Shankara tersenyum, dalam hati bersyukur jika Elio baik-baik saja. Shankara khawatir anak itu akan menangis keras karena posisi jatuhnya tadi benar-benar terjerembab ke tanah.

"HUAA IBU, GIGI IYO PUTUS!!!"

Sepertinya Shankara salah, Elio menangis keras saat gigi depannya dalam sekejap menjadi ompong.
.
.
.

"Ibu Pia!!!"

Dari balik tembok, Shankara tersenyum tipis mendengar suara khas anak-anak itu melengking nyaring.

"Ibu liat, Iyo dapat bintang banyak-banyak dari ibu guruuu. Katanya punya Iyo bagusss."

"Oh yaa? Boleh ibu lihat."

"Ini Iyo, ini ibu Pia, ini om-om yang selalu berdiri disitu." Elio menunjuk tembok tempat dimana Shankara bersembunyi. "Om itu selalu senyum sama Iyo, tapi kalau Iyo datangi omnya pergi. Jadi biar om baik tidak pergi lagi, Iyo gambar disini. Iyo kurung om baik."

Shankara mengepalkan tangannya kuat, berusaha mengenyahkan rasa bersalah yang kian lama makin sesak. Enam tahun berlalu, Shankara benar-benar meninggalkan Elio bersama pengasuhnya. Hari demi hari Shankara jalani dengan bekerja tanpa henti seolah melampiaskan sesak di dadanya pada pekerjaan. Namun, sejauh apapun Shankara menghindar, rasa rindu pada sang adik lebih besar. Maka setiap jam pulang sekolah Elio tiba, Shankara akan berdiri di balik tembok, memperhatikan adik kecilnya keluar dari gerbang hingga dijemput oleh pengasuhnya.

Shankara tidak memiliki keberanian menghampiri anak itu. Bahkan ketika Elio sengaja mendatanginya, maka secepat kilat ia menjauh.

"Maafkan kakak, Elio. Kakak terlalu malu buat ketemu sama kamu."
.
.
.

Satu tahun berlalu. Dua tahun. Tiga tahun. Hingga enam tahun terlewati tak terasa. Elio tumbuh menjadi anak yang baik. Usianya sudah 12 tahun, berada di bangku akhir sekolah dasar. Elio menyukai sepakbola, ia bahkan telah bergabung dengan klub bola terbaik di seluruh negeri.

Tidak ada satupun perkembangan Elio yang luput dari perhatian Shankara, meski hanya mengawasi dari kejauhan. Shankara tahu semuanya tentang Elio, tapi ironisnya Elio tidak tahu siapa serta apa hubungannya dengan Shankara. Bagi Elio, Shankara hanyalah om baik yang selalu tersenyum padanya saat pulang sekolah.

Dari kejauhan, Shankara mengamati dengan seksama betapa lincahnya Elio menggiring bola. Anak itu meliuk-liuk kesana kemari, gesit mengoper bola penuh kepercayaan diri. Tidak pernah terbayangkan dalam benak Shankara, anak laki-laki yang dulunya bayi lahir prematur karena kecelakaan mobil, kini tumbuh sehat dan kuat.

Masih segar dalam ingatan Shankara betapa rapuh dan kecilnya Elio dua belas tahun yang lalu, saat ia pertama kali menggendongnya. Masih jelas di telinganya, suara tangis membahana terdengar di segala penjuru ruangan. Bagi Shankara, kenangan itu seperti baru terjadi kemarin.

Latihan bola Elio berakhir tepat jam lima sore. Dapat Shankara lihat adik kecilnya itu berlari-lari santai menuju pinggir lapangan.

Namun, entah ada ikatan batin atau Elio memiliki insting tajam, ia berhasil bersitatap dengan Shankara yang duduk di kursi tribun paling ujung. Secepat mungkin Shankara membuang muka. Semakin besar, Shankara sadar, Elio pasti akan lebih bertanya-tanya jika ia terus muncul. Maka dari itu Shankara sengaja memperhatikan Elio diam-diam, berbeda saat anak itu masih TK, Shankara masih bisa mengarang cerita atau apalah itu dan Elio percaya saja. Sekarang semakin Shankara muncul tanpa alasan jelas, pasti akan membuat Elio tertarik untuk mencari tahu.

Tanpa pikir panjang, Shankara bergegas bangkit menuju pintu keluar. Akan sulit baginya mengelak kalau sampai Elio memergokinya secara langsung. Sampai di parkiran, mendadak wajah Shankara pias, langkahnya terhenti. Lihatlah siapa yang berdiri tepat di samping mobilnya, Elio melambai riang entah untuk siapa.

Pandangan mereka bertemu dan untuk pertama kalinya Shankara berdiri sempurna di hadapan Elio setelah dua belas tahun lamanya.

- to be continued -

HadiahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang