10

233 30 2
                                    

Chapter 10

Setelah berbelanja dan makan mereka menuju gedung untuk pertunjukan, karena masih jam 1 siang mereka menonton beberapa kontestan lain. Keiko mendengarkan dengan saksama, Olivia juga demikian.

Jam 2 siang keiko, Olivia, dan Lelya masuk ke bagian belakang panggung. Keiko bersiap-siap mengganti gaunnya dan menata rambutnya. Olivia membantu menata rambut Keiko dan asistennya sedikit mendandani dengan memakaikan lipstik, merapikan alisnya, dan memakaikan sedikit maskara.

Dibalut dengan gaun berwarna putih setinggi lutut tanpa lengan dan memakai sepatu tak terlalu tinggi, Keiko nampak sangat bercahaya di atas panggung. Setelah memberi hormat pada penonton, gadis berusia 16 tahun itu mulai memainkan tuts pianonya membawakan Chopin 1.

Olivia kembali ke barisan bangku penonton, gadis itu tanpa sadar menggenggam telapak tangan Derren karena tegang menonton performa Keiko. Derren tidak  melewatkan kesempatan itu, ia membalas genggaman tangan Olivia dan mereka saling menggenggam erat.

Tuan Edward Pollini, salah satu juri dan master piano sangat terkesima melihat permainan Yamada Keiko. Gadis itu tampak sangat bersemangat, melankolis, dan dari musik yang dibawakannya terdengar seperti memiliki ambisi yang sangat besar.

Semangat itu persis seperti dirinya ketika muda, meskipun kadang emosinya masih terlalu tampak naik turun di musik yang dimainkan. Namun, pria tua itu benar-benar merasa tertarik pada permainan musik Keiko dan berpikir harus mendapatkan gadis kecil itu untuk diambil menjadi muridnya. Edward merasa Keiko adalah bibit pemusik andal yang harus terus diasah.

Bahkan Edward-lah orang yang pertama bertepuk tangan membuyarkan para hadirin dan disusul gemuruh tepuk tangan seluruh orang yang berada di gedung itu.

Olivia menyeka air matanya dan kembali menuju belakang panggung menjemput Keiko, setelah gadis itu mengganti pakaiannya, mereka kembali duduk di barisan penonton.

Kompetisi berlangsung hingga jam 6 sore dan mereka menunggu di depan luar ruang perlombaan untuk melihat hasilnya. Derren pergi berdesak-desakan untuk melihat pengumuman. Sementara Keiko berdiri bersama Olivia dan asistennya.

“Nona Yamada Keiko,” panggil Tuan Edward.

“Halo, master Edward Pollini!” sapa Keiko. Ia tak menduga juri dan master piano yang ia kagumi mengingat namanya.

“Aku tertarik dengan permainanmu. Kau sangat berbakat,” puji pria tua itu.

“Terima kasih, Master!”

“Jika kau memerlukan guru musik, aku bisa merekomendasikan guru sekolah musik terbaik di seluruh dunia,” kata pria tua itu seraya mengulurkan kartu namanya.

Keiko dengan senang hati menerimanya.

“Terima kasih, Master! Saya sangat senang mendengarnya. Saya pasti akan mencari Anda kelak,” kata Keiko sopan.

“Kei-chan, kau masuk 10 besar,” kata Derren yang datang sambil terengah-engah. Ia sangat bersemangat.

Edward melihat wajah Derren dengan saksama dan sedikit terkejut melihat wajah pria muda di depannya seperti familiar di matanya.

“Master, ini Derren, kakak saya,” kata Keiko memperkenalkan kakaknya kepada Master Edward.

“Halo, saya Derren, kakaknya Keiko.” Derren menjabat tangan pria tua di depannya. Derren tahu pria itu adalah Edward Pollini, juri dan seorang master piano.

“Apa kalian tinggal di London?” tanya tuan Edward.

“Saya kebetulan mahasiswa di Oxford University, sedangkan Keiko tinggal di Tokyo.”

Tuan Edward hanya mengangguk-angguk tanda mengerti dan setelah berbincang-bincang sedikit mereka akhirnya berpisah dengan tuan Edward  dan kembali menuju tempat tinggal mereka.

Besoknya setelah kompetisi berakhir, Keiko harus puas dengan peringkat nomer 3. Gadis remaja itu tentu saja kecewa. Namun, di atas panggung ia tetap tersenyum dengan manis saat menerima pialanya.

Ketika hendak meninggalkan gedung itu, Keiko mencari tuan Edward. Ia ingin mengatakan bahwa ia ingin belajar dari master piano itu. Namun, Keiko kembali kecewa karena tak menemukan pria tua itu.

Sepanjang perjalanan pulang gadis itu cemberut hingga Olivia dan asistennya tak berani mengajaknya berbicara.

“Permainanmu sangat bagus, Kei Chan,” kata Derren memecah keheningan.

“Tapi, aku tidak memenangkan juara 1.” Keiko tampak begitu kecewa hingga ingin menangis.

“Kau masih sangat muda dan kau bisa belajar lagi tahun depan. Kau bisa mengikuti kompetisi lagi,” kata Derren mencoba menghibur.

“Tapi, aku ragu tidak bisa mendapatkan juara 1 tahun depan.” Keiko mulai mengeluh disusul keluhan keluhan lainnya.

Sementara Derren mulai kehilangan kesabaran. Ia seperti Andrew yang tidak memiliki banyak stok membujuk orang lain meskipun itu adiknya. “Aku akan merekam videomu yang sedang mengeluh dan mengirimkan ke Daddy agar kau tidak diizinkan mengikuti kompetisi....”

Olivia mencubit paha Derren yang sedang menyetir untuk  menghentikan ucapan Derren karena kesal dengan kata-kata yang diucapkan Derren pada adiknya.

“Kei, belajarlah lebih giat! Bukankah master Edward juga menawarkanmu untuk membantumu menjadi pianis hebat?” Olivia membuka suaranya.

“Kakak, kenapa kau tahan tinggal bersama kakakku?” tanya Keiko langsung.

Ia memang belum  dewasa, tapi bukan berarti tidak mengerti suasana tegang di dalam mobil itu dan sandiwara keduanya selama Keiko tinggal bersama mereka.

"Kakakmu hanya kelelahan.” Olivia menutupi kelakuan Derren yang sangat menyebalkan sementara Derren melirik Olivia dengan ekor matanya dan bibirnya menyunggingkan senyum.

Paginya Derren menghubungi master Edward untuk menyampaikan niat Keiko bertemu beliau. Pria itu meminta Derren membawa adiknya ke fakultas ilmu seni di Oxford University tempat beliau mengajar.

“Keiko, apa kau ingin belajar di sini?” tanya master Edwar kepada Keiko.

“Tentu saja, Master, tapi saya baru kelas 1 sekolah menengah atas.”

“Oh, baiklah. Kau harus menyelesaikan sekolahmu di Jepang terlebih dahulu lalu datanglah ke sini. Kau akan menjadi murid spesialku.”

“Benarkah? Saya tidak sabar menunggu saatnya tiba. Terima kasih, Master!”

“Bahkan kau bisa datang kapan saja saat kau memiliki hari libur. Aku akan membimbingmu hingga kau menjadi pianis nomer satu di dunia.”

“Master, saya sangat senang dan tersanjung. Saya pasti akan berusaha untuk menjadi pemain piano seperti Master,” kata Keiko bersemangat.

“Kapan kau akan kembali ke Tokyo?”

“Lusa saya akan kembali.”

“Besok datanglah kembali ke sini! Aku akan memberikan padamu beberapa bukuku,” kata pria tua itu.

“Master, terima kasih!”

Mereka bertiga berbincang-bincang dengan hangat hingga menjelang sore dan akhirnya kedua kakak beradik itu berpamitan undur diri.

Sepulangnya Keiko ke Tokyo, Olivia kembali tinggal di asrama bersama Miranda. Ia juga tidak pernah berbicara lagi pada Derren. Hidup Olivia kini benar-benar terasa damai.

Namun, tidak untuk Derren. Ia merasa hidupnya kurang dan ingin setiap malam meja makan di tempat tinggalnya ada Olivia yang makan malam bersamanya. Entah dorongan dari mana datangnya, keinginannya untuk memiliki Olivia begitu menggebu-gebu datang bagai badai yang menerpanya.

Namun, sadar akan posisi mereka, Derren berusaha membunuh perasaannya. Ia tidak bisa membiarkan perasaanya tumbuh subur karena suatu saat pasti akan menjadi malapetaka dalam keluarganya. Itulah sebabnya ia tidak melarang Olivia untuk kembali ke asrama.

Storm of Love 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang