12

167 22 2
                                    

Chapter 12

Hari itu sepulang sekolah,  Jonathan menunggu Tiffany di depan ruang club seni lukis.

Ketika Tiffany keluar seperti biasa tidak menganggap keberadaan Jonathan dan melangkah seolah-olah tidak melihat siapa pun yang sedang berdiri menyandarkan tubuhnya di dinding.

Jonathan menangkap pergelangan tangan Tiffany.

“Joe, jangan kurang ajar!” kata Tiffany dingin.

“Kau selalu mengabaikanku.”

“Kau mengikutiku sepanjang waktu, apa maumu?”

“Aku ingin kau menjadi pacarku,” kata Jonathan langsung.

Tiffany tertawa hambar. “Bodoh,” katanya sambil melepaskan pergelangan tangannya yang di genggam oleh Jonathan kemudian melangkah meninggalkan Jonathan yang terpaku.

"Apa yang terjadi barusan? Ditolak?" batinnya.

Ini pertama kalinya ia meminta seorang gadis untuk menjadi pacarnya dan ditolak mentah-mentah oleh Tiffany padahal gadis-gadis di sekolah itu 90% ingin berpacaran dengan Jonathan.

"Benar-benar menginjak-injak harga diriku," batin Jonathan geram. "Awas kau Tiffany!"

Besok paginya. “Kaori-chan,” panggil Jonathan.

“Joe,” kata Kaori dengan gaya centil. “Selamat pagi!” sapanya.

“Pagi, Kaori-chan!” Jonathan merangkul pundak Kaori dan dengan sengaja berjalan melewati Tiffany yang setiap pagi selalu memegang bola basketnya di lapangan.

Tiffany bahkan tidak melirik dan tidak terprovokasi. Ia justru semakin jijik dengan tingkah Jonathan yang semakin sok paling tampan dan merasa semua gadis bisa dipermainkan olehnya.

Bahkan ketika sekolahan mengadakan festival budaya, mereka didaulat menjadi sepasang MC tetap saja tak bisa mencairkan kebekuan diantara mereka, meskipun di atas panggung mereka dengan profesional bekerja sama.

Empat bulan berlalu dan Jonathan telah berganti-ganti teman kencan sebanyak puluhan kali. Jonathan dan Tiffany tidak pernah saling bicara lagi sejak penolakan Tiffany.

Hari itu adalah hari yang paling dinanti sekaligus hari yang paling mengharukan, upacara kelulusan. Di sisi lain mereka senang, karena akan meninggalkan bangku sekolah menengah. Namun, di sisi lain berpisah dengan teman-teman mereka adalah sesuatu yang terasa  sangat berat.

“Kak Tiffany,” panggil Keiko. Keiko tidak satu sekolah dengan kakaknya, Jonathan. Ia lebih memilh home schooling, karena kesibukannya di dunia modeling dan musik. Kebetulan ia dan Kenzo dibawa oleh kedua orang tua mereka untuk menjemput Jonathan di hari kelulusannya.

“Selamat, Kak Tiffany!” lanjut Keiko seraya memeluk Tiffany.

“Keiko-chan, terima kasih! Oh astaga lihat dirimu, kau tinggi sekali dan juga bertambah cantik,” puji Tiffany.

“Kau juga cantik,” kata Keiko tulus. “Kakak, apa kau akan pergi juga ke London?” tanya Keiko ada nada sedih dari pertanyaannya

“Kenapa kau tampak sedih?” tanya Tiffany sambil tertawa ringan.

“Aku juga ingin segera belajar di London. Aku telah menemukan guru piano di sana, tapi Mommy-ku ingin aku menyelesaikan sekolahku dulu,” jawab Keiko murung.

“Kei-chan, Mommy-mu benar kau harus menyelesaikan pendidikan formalmu terlebih dahulu” kata Tiffany.

“Aku akan menyelesaikan dengan baik. Sebenarnya aku tidak sabar lagi. Apalagi Kak Joe juga akan pindah ke London,” keluh Keiko. “Semua tinggal di London, menyebalkan sekali. Aku hanya tinggal berdua dengan Kenzo,” lanjutnya.

Tiffany tertawa ringan lagi.

“Masih ada Ayumi, Shizuku, dan Vicky.”

“Vicky sangat sibuk dengan dunianya. Ayumi dan Shizuku, mereka seumuran Kenzo. Mereka terlalu kekanakan bergaul denganku.”

“Ya Vicky ingin menjadi seorang chef seperti kakek kami,” kata Tiffany.

“Vicky sangat berbakat. Kak Tiffany, ke mana kau akan melanjutkan kuliahmu?”

Tiffany tersenyum.

“Rahasia,” jawabnya

“Ayolah beri tahu aku! Aku janji. Aku akan merahasiakannya juga," rengek Keiko.

“Sebenarnya aku ingin melanjutkan kuliahku di bidang seni rupa, tapi Mamaku tidak mengizinkannya,” kata Tiffany santai.

“Kau tidak marah?”

“Marah untuk apa, Kei?” Tiffany tertawa.

“Karena Mamamu tidak mengizinkannya.”

“Mamaku benar. Aku bisa menjadikan melukis sebagai hobiku, tapi aku mungkin tidak bisa hidup dengan lukisan, jadi aku akan memilih melanjutkan kuliahku di bidang bisnis untuk melanjutkan bisnis Papa dan Mama dan untuk melukis aku masih bisa melakukan kapan saja,” kata Tiffany bijak.

Keiko mengangguk-angguk mengerti.

”Jadi kau akan kuliah di sini atau di Shanghai?”

“Papa ingin aku ke Guangzhou pendidikan di sana juga sangat baik.”

“Jadi kau ingin ke sana?”

“Entahlah,” kata Tiffany matanya menerawang.

Kedua gadis itu sesaat terdiam dalam lamunan masing masing, keheningan menyeruak beberapa saat.

“Kak Tiffany, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Keiko membuka suaranya.

“Tanyakanlah! Aku akan menjawabnya, jika aku bisa.”

“Kenapa kau membenci kakakku, Joe?”

“Kenapa kau berpikiran demikikan, Kei-chan?” Tiffany mengerutkan keningnya.

“Beberapa hari yang lalu, Kak Joe membuka-buka album kenangan masa kecil kami. Ada banyak foto-foto kita di sana dan Kak Joe berkata ia sebenarnya menyukaimu, tapi kau membencinya.”

“Hahahaaha.” Tiffany justru tertawa ringan. “Aku tidak membencinya hanya saja sekarang kita sama-sama telah dewasa mungkin sifat kami bertolak belakang dan tidak cocok satu sama lain tidak seperti dulu ketika kami masih anak-anak” jawab Tiffany.

Keiko mengangguk-angguk, meskipun ia tidak paham. Usianya baru 15 tahun Keiko tidak mengerti urusan orang dewasa.

"Kenapa begitu susah payah kakaknya meminta tolong untuk menyelidiki ke mana Tiffany akan melanjutkan kuliah? Kan hanya bertanya? Kenapa tidak bertanya sendiri? Atau meminta bantuan orang tua? Apa urusan orang dewasa selalu serumit itu?" batin Keiko bingung.

Storm of Love 21+Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang