Bagian 12

891 38 0
                                    

"Kayla ...."

Asya langsung memeluk gadis itu, ketika ia datang berkunjung bersama Erik disertai Ustazah Miftah dan juga suaminya, Ustaz Hidayat. Asya begitu bahagia mendengar kalau Kayla akhirnya menerima lamaran suaminya.

"Terima kasih, Kay," bisiknya, dengan air mata yang berderai. Entah, apakah itu benar-benar air mata bahagia ataukah air mata luka.

Kayla hanya mengangguk sambil membalas pelukan Asya. Ia sempat melirik Erik yang disibukkan oleh kedua putranya. Lelaki itu tampak sangat sabar saat satu tangannya menggendong bayi satu tahun dan tangan satu lagi menggenggam tangan putra sulungnya yang sedang aktif-aktifnya.

Tak lupa Asya berterima kasih pada kedua orang tua Kayla. Ia memeluk Rosita dengan erat.

"Kalau Kayla sudah menjadi istri dari suami saya, bolehkah saya menganggap Ibu sebagai ibu kandung saya?" tanya Asya, seraya merenggangkan pelukan. Semua yang mendengar di ruangan itu tercenung. Tak terkecuali sang suami.

"Saya sudah nggak punya seseorang yang bisa saya panggil ibu. Bahkan mertua saya pun juga sudah tidak ada. Saya ... kadang rindu dipeluk oleh seorang ibu," imbuhnya, sembari mengusap air mata di pipi.

Dada Rosita terasa sesak seketika mendengar kata-kata Asya. Sebagai perempuan, ia sangat tahu bagaimana perasaan wanita yang akan menjadi kakak madu dari putrinya tersebut.

Rosita tersenyum, melepas air mata yang sudah menggenang di pelupuknya. Lalu, ia mengangguk.

"Kenapa tidak, Nak?"

Rosita kembali memeluk Asya.

"Terima kasih, Bu, terima kasih," ucapnya lirih.

"Sama-sama."

Detik demi detik pun berlalu. Ruang tamu rumah Kayla mendadak hening, mereka seperti tenggelam dalam rasa haru.

"Eh, kenapa pada bengong? Ayo, ayo, diminum tehnya! Nanti keburu dingin." Rosita memecah keheningan. "Kuenya juga dimakan. Ini bikinan Kayla, lho! Ayo, itu putranya juga dikasih kue! Ayo, Ustaz, Ustazah, silakan dicicipi!"

Mereka menyeka sudut mata masing-masing. Ruangan itu pun kembali terasa hangat. Seperti tidak ada rasa canggung lagi di antara mereka. Apalagi Asya, ia memang mudah berbaur dengan siapa pun.

***

"Bagaimana kalau pernikahan Kayla dan Bang Shabri, dilaksanakan sebelum saya masuk ruang operasi?" saran Asya ketika mereka tengah membicarakan tanggal pernikahan.

"Itu terlalu cepat, Sya. Itu beberapa hari lagi, lho! Rasanya tidak mungkin, Sya." Ustazah Miftah menyela.

"Iya, Nak Asya. Pernikahan itu persiapannya harus matang. Apalagi kami punya keluarga besar dan banyak hal yang harus kami bicarakan dulu dengan mereka. Setidaknya, butuh satu bulan untuk semua itu. Belum lagi menyiapkan walimahnya." Rosita mengaminkan ucapan Ustazah Miftah.

Ustaz Hidayat dan Hamdi mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan istri mereka.

"Banyak proses yang harus dilewati. Mengurus surat-surat, proses screening yang sekarang juga memakan waktu. Tidak bisa dalam hitungan dua atau tiga hari saja," tutur Ustaz Hidayat.

Asya sedikit menunduk. "Iya, saya tahu, tetapi ... saya hanya takut. Jika mereka menikah setelah saya operasi, salah satunya akan berubah pikiran. Jadi, setidaknya ... biarkan mereka menikah secara agama saja dulu, tanpa perlu diketahui orang lain. Hanya keluarga inti saja."

"Maksud Nak Asya ... nikah siri?" Rosita memandang lekat pada Asya.

Asya mengangguk ragu. "Iya, Bu. Maaf, jika tidak berkenan. Maaf juga jika saya terkesan memaksa."

Dikhitbah Masa Lalu (Dalam Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang