Jam 06.00, aku baru bangun tidur dengan kaos yang basah penuh keringat. Semalam, aku tidur tanpa AC dan terbungkus selimut tebal. Alhamdulillah, suhu badanku sudah nggak panas lagi.
Aku merasa lebih segar sekarang, jadi saatnya bergegas melangkah ke kamar mandi.
Wudhu, wudhu!
Telat subuh!Jam 10.00, aku memandangi langit-langit kamar dengan tenang. Begini enaknya sakit, aku bisa berbaring di kasur sampai jam segini. Nggak perlu kerja, nggak perlu ngelakuin apapun.
Aku bahkan mengabaikan ponselku hari ini. Semalam, sebenarnya aku sempat membalas pesan dari teman-teman tim yang khawatir soal keadaanku. Bahkan sudah ada pesan dari Kak Vera-Dokter andalan seluruh staff dan talent Arserimusik, mungkin ada yang melapor langsung ke Kak Vera setelah kejadian aku muntah-muntah di dalam tenda. Kubalas mereka semua dengan keyakinan seratus persen, bahwa aku akan jauh lebih sehat setelah tidur.
Jam 11.00, aku terpaksa bangun dari kasur. Karena satu-satunya orang yang nggak mengirimiku pesan, datang langsung ke Kosan untuk memeriksa kondisiku.
Bang Sabda yang harusnya sedang mumet hari ini karena menjadwal ulang semua kegiatanku, sempat-sempatnya mengantar Sop Buntut buatan Mamanya.
Mama sambungkah? ya pokoknya itulah.
Kukira setelah melihatku membaik, dia akan pergi begitu saja. Ternyata, laki-laki ini malah mengide untuk membantu mencuci bajuku yang terkena muntahan kemarin, beserta jaket dan sweater-nya yang sempat kupakai.
Gimana caranya biar aku nggak baper, kalau kelakuanmu begini Jenderal!
***
Setelah sholat dzuhur masing-masing, Bang Sabda di Musholla Kosan lebih tepatnya, sementara aku sholat di kamar. Kini, kami duduk selonjoran di teras belakang. Makan Sop Buntut dengan view kolam renang.
Kapan ya aku bisa pakai fasilitas kosku yang satu ini. Udah mau dua tahun, nggak pernah sekalipun aku nyemplung kolam renang.
Giliran sekarang ada waktu agak nyantai, aku lagi sakit. Nasib.
Aku menyendokkan lagi beberapa daging ke piringku. Bukan hanya karena sop buntut ini enak sekali, tapi aku memang harus makan banyak kali ini.
Makan dan tidur adalah obat pemulihan paling cepat dan ampuh bagiku, ini sudah teruji berdasar pengalamanku setiap kali sakit.
Bang Sabda yang melihatku lahap makan, jadi mengurungkan niat tambah nasi. Ia memberikan semua sisa nasi untukku, berikut sop yang masih ada. "Andai semua orang sakit nggak semanja kamu."
Aku mengangguk mengiyakan. "Aku cuma butuh tidur sama makan," kataku di sela kunyahan.
"Aku seneng kamu nggak drama."
"Bang Sabda amnesia? kemaren malem apa coba namanya?"
"Aku kira kamu bakal minta aku temenin semaleman, ngerengek apa gitu. Ternyata nggak. Kamu selalu gini Ta setiap sakit? ngurus sendiri sampai sembuh?"
"Iya, mangkanya aku selalu berdoa biar nggak sakit."
"Kamu bukan firaun."
"Naudzubillah ya Bang."
"Besok boleh libur lagi kok Ta. Kamu boleh renang juga kalau ngerasa udah bener-bener oke."
Bang Sabda pasti merhatiin aku yang dari tadi mupeng lihat kolam.
Aku tapi kasihan melihat Bang Sabda kerepotan, dipikir-pikir pekerjaanku juga jadi menumpuk kalau aku menunda sehari lagi buat istirahat.
"Aku kerja aja Bang. Tapi yang ringan-ringan dulu. Ngerjain foto endorse di Kos gimana? biar Uwin yang kesini." Aku mengusulkan agar Uwin-tim yang membantuku mengurus segala bentuk kerjasama endorsement, datang ke Kosku besok.
"Beneran nggak papa?"
"Iya, aku udah sehat nih. Udah bisa makan tiga piring."
Bang Sabda tertawa, tawa lebar pertamanya yang baru kulihat dengan jelas.
Ya Allah, hamba memang suka laki-laki ini. Tolong buat dia sadar tanpa hamba mengatakannya secara langsung.
"Besok aku bawain makan lagi, mau makan apa Ta? nanti aku minta tolong Tante masakin."
"Eh, aku nggak mau request makanan. Aku mau tanya aja Bang, boleh nggak?"
"Mau tanya kenapa aku manggil Tante? bukan Mama?"
Aku mengangguk.
"Mamaku udah meninggal, Tante itu istri kedua Papaku. Aku belum bisa manggil Mama sampai sekarang, walaupun hubunganku sama Tante sebaik itu."
"Kenapa?" Aku menyesal karena kelepasan mengucap kata itu, harusnya aku diam saja. Nggak perlu mengorek hal pribadi yang bikin orang lain nggak nyaman.
"Mamaku nggak tergantikan." Bang Sabda tetap menjawabnya, meski raut wajahnya jadi berubah sendu.
Lancang Ta, lain kali nggak boleh gitu. Sekarang Bang Sabda jadi sedih kan inget Mamanya.
"Bang, i'm sorry for your lost."
"Nggak papa, udah lama juga kok."
Setelah topik itu, kami memilih melamun masing-masing.
Apa Bang Sabda belum menikah sampai sekarang karena ini ya. Gila, laki ini kuat banget diemnya.
Ada cewek secantik aku, duduk berduaan sama dia di tempat sepi tapi malah dianggurin. Nggak diajak ngobrol, nggak dimodusin, tapi juga nggak diseriusin.
Ngarep apa sih Ta. Ya, berarti emang aku bukan tipenya kali. Apa aku harus menyerah sama perasaanku ya Allah?
Setan teras belakang sepertinya mulai menggerayangi otakku. Aku jadi pengen menyatakan perasaanku. GILA!
Gimana ya?
Aku mulai memindahkan piring-piring, dan mangkok yang memisahkanku dengan Bang Sabda ke posisi belakangku. Perlahan kugeser badanku untuk lebih merapat ke Bang Sabda.
Dia nggak menyadari itu semua, pandangannya masih lurus ke arah air kolam yang begitu tenang. Aku meletakkan daguku di bahunya, sembari merangkulkan kedua tanganku ke pinggangnya.
"Sayang Abang," bisikku pelan.
Gila, aku deg-degan setengah mati. Malu banget, semoga Bang Sabda nggak marah. Semoga Bang Sabda balas perasaanku.
Kueratkan rangkulanku dengan kedua tangan. Oke, sampai sekarang Bang Sabda nggak mencoba melepaskan pelukanku. Apakah itu artinya dia juga suka aku?
Kok nggak dijawab-jawab sih.
"Sama-sama Dek."
Dek? Adek?
Jadi maksudnya dia cuma nganggep aku adeknya?
HOLY SHIT!!
TITAH GOBLOK!!
NGAPAIN BAPER SAMA ORANG YANG CUMA ANGGEP AKU ADEK.
Aku menahan perasaan ngilu di dadaku, ingin menangis tapi gengsi. Harus kutahan sebaik mungkin, demi harga diriku. Kulepas rangkulanku dengan sedih yang nggak bisa terjelaskan.
"Makasih ya Bang, udah jadi keluargaku selama di Jakarta. Aku jadi nggak ngerasa sendirian di hidup yang menyebalkan ini."
"My pleasure Ta."
Keparat, cepetan pulang deh Bang. Aku udah nggak sanggup pura-pura senyum lebar dan seriang ini.
Kesalahanku sejak pindah ke Jakarta terulang lagi. Aku terlalu emosional, aku berhasil tertipu lagi. Kali ini bukan materi dan duitku yang dicuri. Tapi hatiku. Apa aku harus ganti manajer lagi?
Dimana kutemukan manajer pengganti yang sekompeten dan seperhatian Bang Sabda. Aku nggak siap hidup tanpa Bang Sabda, walau perasaanku udah nyata-nyata nggak berbalas.
Kasih aku waktu ya Allah buat ikhlas.
Bang Sabda menumpuk piring-piring, mangkok dan gelas yang ada di belakangku lalu membawanya masuk ke dapur. Meninggalkanku yang masih duduk termangu sendirian. Air mata itu akhirnya menetes.
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, mencoba menahan semua isakanku.
Bil, akhirnya aku tahu batasanku dengan Bang Sabda sekarang.

KAMU SEDANG MEMBACA
SABDA TITAH (selesai)
ChickLitAku, Titah Cinta. Panggung demi panggung adalah duniaku, penuh tantangan yang harus kuhadapi tanpa ragu. Sebagai penyanyi aku terbiasa berdiri dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri di bawah sorot lampu. Aku juga terlatih menghadapi banyak tat...