Sepanjang hidupnya, ini adalah tiga bulan paling panjang dan paling menyedihkan yang dia hadapi. Bara tak ubahnya orang gila yang harus mengurus semua hal sendirian. Mulai dari pekerjaan sampai mencari pasangan hidupnya yang pergi karena salah paham. Bara tidak berselingkuh, Bara hanya menolong. Ya meski dia salah sedikit, sih, gak bilang sama Niko kalau dirinya sudah berumah tangga.
Detektif swasta yang Bara sewa sama sekali tidak memberikan hasil yang baik. Malah Bara kehilangan banyak uang karena hal ini. Lalu dia ingat satu hal, dulu, Papanya pernah menyewa detektif swasta untuk menemukan karyawan yang melakukan penggelapan dana hingga milyaran rupiah.
Demi Rega, dengan berat hati Bara harus minta kontak detektif swasta itu pada sang Papa. Dan di sinilah dia berada sekarang. Di rumah yang belum sempat dia kunjungi sejak dia menikah dengan Rega.
"Papa mana, Bi?" tanya Bara.
"Seperti biasa di ruang kerja. Den Bara mau makan malam di sini? Mau makan apa biar sekalian bibi masak."
"Boleh, ayam goreng aja. Kalau mama di mana? Sepi sepi aja."
"Ibu baru sepuluh menit lalu berangkat, kan pesawatnya berangkat nanti sore Den."
Bara mengernyit, Pesawat? Tidak biasanya mama pergi tanpa papa.
"Mama mau ke mana? Surabaya lagi?" Mengingat sang mama memang asli keturunan Surabaya.
"Ehm ... Enggak, katanya mau ke luar negeri. Bibi gak tau ke mananya, misi ya, Den. Bibi masak dulu."
Dengan gestur membungkuk, perempuan berumur lima puluhan itu undur diri menuju dapur.
"Pa, Mama ke mana emang?" Sembur Bara begitu masuk ke ruangan kerja Adjinata Wijaya.
"Jalan-jalan, biarin ajalah. Menikmati masa tua." Adji menjawab tanpa menoleh, dia masih fokus membaca sesuatu di tab-nya.
"Tumben enggak posesif?" cibir Bara, dia langsung duduk di hadapan papanya, memutar tubuh ke kiri dan ke kanan. Meregangkan otot-ototnya yang kaku.
"Ada apa? Tumben ingat pulang, mana Rega, gak ikut?"
"Rega di apartemen, tadi aku langsung dari kantor ke sini ada perlu sama papa."
"Perlu apa?"
"Minta kontaknya detektif yang waktu mecahin kasus penggelapan dana."
"Ada masalah apa?" tanya Adji.
"Yaaa ada lah."
"Sebutkan dulu apa masalahnya sampai nyewa detektif gini. Kalau masuk akal papa gak hanya ngasih kontaknya, sekalian bayarin jasanya 100%."
Lelaki dengan rambut yang sudah dihiasi uban itu meletakkan tab-nya. Lalu menoleh ke anak bungsu yang keadaannya berantakan. Adji tahu Bara lagi bingung, Adji tahu semua. Dia hanya minta kejujuran Bara maka Adji bersedia membantu mempertemukan dia dengan Rega kembali.
"Masalah kerjaan, Pa."
"Ya apa masalahnya, kenapa terkesan seperti sedang menutupi sesuatu?"
Bara mendesah kesal, "ya udah kalau gak mau ngasih tahu. Masih banyak kok, detektif yang bisa dipake jasanya. Buang buang waktu aja aku ke sini."
Bara kesal, dia sebenarnya frustasi. Berharap dapat jawaban yang pasti, malah papanya ternyata tidak bisa diandalkan sama sekali. Wajah kesal itu dia bawa keluar, sayangnya belum meninggalkan ruangan Adjinata Wijaya keburu bicara lagi.
"Mau sampai kapan berlagak baik-baik saja?"
Bara kontan berbalik, menatap lelaki berperawakan sama dengannya yang kini menatap dengan raut marah.
"Apa maksud papa?"
"Saya hidup di dunia ini dua kali lebih banyak daripada kamu, Bara. Saya tahu dunia jauh lebih baik daripada kamu yang lahir atas kontribusi saya 30 tahun lalu. Apa yang kamu sembunyikan, serapat apa pun saya bisa tahu. Saya tahu kamu gay sebelum kamu mengakuinya kemarin. Saya tahu kamu pernah pacaran sama siapa saja. Saya tahu semuanya. Saya selalu berusaha pura-pura tidak tahu karena nunggu sejauh apa anak kesayangannya itu bisa jujur dan percaya sama orang tua macam saya."
Sudah tidak ada panggilan papa, hanya saya yang keluar dari mulut Adjinata. Bara tahu artinya sang papa sedang murka. Bara yang semula kesal dan hendak pergi kini menunduk. Meresapi kata demi kata yang baru saja diucapkan Adjinata.
"Silakan pergi kalau kamu benar-benar tidak mau cerita tentang apa yang terjadi. Tapi kamu akan menyesal karena apa yang akan kamu cari dengan detektif itu bisa kamu ketahui tanpa harus repot-repot sewa jasa orang lain. Tutup lagi pintunya kalau keluar."
Adjinata kembali mengalihkan atensinya pada tab. Berusaha tidak peduli sama anak lelakinya yang kini berjalan ke arahnya.
"Papa tahu semuanya berarti tahu masalah aku sama Rega?" tanya Bara hati-hati.
"Tahu setelah beberapa jam kamu mengkhianati lelaki polos itu. Sudah sana, toh kamu memang pantas ditinggalkan. Arogan, sombong, serakah. Sudah punya suami baik, dari keluarga baik-baik masih saja genit lirik-lirik mantan. Papa tuh ada banyak alasan kenapa gak pernah setuju kamu pacaran sama si Niko. Perlu papa catat satu-satu biar kamu bisa baca dan buka mata. Biar sadar kalau kamu salah udah buang Rega dan milih si Niko."
"Papa mata-matain aku?" bisik Bara gak percaya.
"Barata Chandra Wijaya! Dengarkan papa, kamu adalah anak laki-laki yang kehadirannya ditunggu seluruh keluarga. Papa sama mama rela bolak balik Bandung Singapura karena saat itu program bayi tabung di Indonesia tidak sebagus saat ini. Mamamu mengorbankan perutnya disuntik setiap hari selama delapan bulan demi menghadirkan kamu ke dunia. Dan itu tidak hanya menghabiskan uang, tapi hampir menghabiskan kesabaran kami. Lalu proses kehamilan yang tidak gampang, proses kelahiran yang penuh drama. Kamu pikir setelah semua perjuangan yang kami lalui, kami akan tega membiarkanmu menderita? Tidak, kami pilih pengasuh terbaik, kami pilih sekolah terbaik, bahkan ketika tahu kamu gay pun kami pilihkan pasangan terbaik. Coba renungkan, apa kamu sudah tahu betapa Rega itu baik dan penurut?"
Bara diam. Lalu mengangguk, mengiyakan. Rega memang penurut, dewasa, sabar.
"Rega sudah berusaha memahami dan memaafkan kamu saat mantan pacar kamu datang ke apartemen dan sesumbar mau balikan sama kamu. Apa susahnya sih kamu bilang sama Niko kalau Rega itu suamimu. Apa susahnya bilang kamu sudah nikah? Gak tega? Jadi gak tega sama Niko trus tega sama Rega, gitu?"
"Papa mata-matain aku sampe segitunya?" tanya Bara.
"Papa sudah stop mata-matain kamu sejak kamu menikah. Papa sudah percaya kamu sepenuhnya, percaya bahwa anak papa ini sudah punya tanggung jawab dan bisa bertanggung jawab buat dirinya sendiri."
"Lalu?" Rega mendekat lalu duduk di hadapan Adjinata.
"Rega yang datang sebelum dia pergi. Bahkan anak itu tahu adab, sebelum ninggalin kamu dia pamit dan bilang alasannya. Anak itu minta maaf karena sudah tidak bisa ada di sampingmu lagi. Sehormat itu dia sama orang tua. Sekarang kamu, kalau aja papa tidak bicara, kamu akan selalu bilang Rega baik-baik saja di apartemen. Biar apa? Biar kamu terlihat seperti suami superior?"
Bara habis dikuliti. Dia gemetaran, bukan marah pada papanya, tapi marah pada diri sendiri. Semua yang dikatakan pria tua di hadapannya ini benar adanya. Semua fakta tidak bisa dibantah sama sekali.
"Papa tahu sekarang Rega di mana?" tanya Bara dengan suara lemah.
"Mama kamu sedang nyusul dia ke sana. Kalau kamu mau tahu, kamu temui Niko dan katakan semuanya. Katakan kamu sudah menikah. Papa minta percakapan kamu dan Niko direkam. Berikan rekamannya dan kamu tukar dengan tiket bertemu dengan Rega yang kini tengah terbaring sakit sendirian di negeri orang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing Happiness (MPREG) [End]
RomanceRega Januar, harus mengubur cita-cita dan mengejar kebahagiaan dengan pria asing yang tiba-tiba menjadi suaminya. Mungkin ini karma karena selalu meledek Pasangan Kastara Bimasena dan Sagara Biru. Side Story Sagara Biru Disclaimer: Cerita ini 100% h...