Bab 1

881 62 0
                                    

Hii, haloo

Sebelumnya ini ide cerita ini sudah ada di aplikasi sebelah, namun saya pribadi memilih untuk mengunggah ulang pada aplikasi ini.

Semoga suka dan berilah masukan juga dukungan dengan fitur yang telah tersedia. Terima kasih.

👶🏻🍼

"Mama, kapan adik bayi akan keluar? Abang Jun sudah tidak sabar." Ujar lelaki bergingsul manis —Ren Juna Arthayasa— sembari mengelus perut buncit sang Mama.

Perempuan yang dipanggil Mama itu tersenyum manis. Jolicia Arthayasa, dipanggil Cia. Kepalanya ia tundukkan guna mengecup kepala sang anak. "Sebentar lagi. Abang sudah tidak sabar?"

Anak laki-laki itu mengangguk semangat. "Tentu!"

"Mama!!!" Suara teriakan terdengar dari pintu utama. Sudah bisa ditebak jika teriakan itu bersumber dari dua anak lainnya yang baru pulang dari kediaman sang Oma.

"Jangan dekat-dekat dengan adikku!" Anak laki-laki berkacamata —Jenoah Candela— sedikit mendorong Juna. Tentu mendapat perlakuan itu, Juna pun membalas. Alhasil dua anak adam itu saling dorong mendorong.

Kesempatan itu dimanfaatkan oleh si anak lelaki berkulit tan. Ia dengan pelan duduk disamping sang Mama dan mendekatkan bibirnya ke perut sang Mama. "Adek, nanti kalau sudah lahir main sama Aa Ican ya. Abang sama Mas tidak usah kita ajak."

Juna dan Noah masih terus sibuk dorong mendorong, hingga tak sadar tangan Juna yang hendak mendorong Noah melesat dan mengenai perut sang Mama. Wanita yang sedang mengandung itu jelas meringis pelan.

Tiga putranya dengan sigap mengerumuninya.

"Mama. Mama are you okay? Sorry, Ma." Juna menundukkan kepalanya.

Noah pun sama. "Noah is sorry, Mama."

"Kalian ini, aku aduin ke Papa ya kalau terus berantem biar dikirim ke rumah Oma sama Eyang." Kesal anak laki-laki berkulit tan, Haican Arthayasa.


Jolicia tersenyum pelan. Tiga putranya sungguh manis. "Aa sudah. Mama okay." Ujarnya mengelus dada sang putra yang sepertinya masih bergemuruh. Biasanya hal ini akan manjur untuk meredakan emosi si anak ketiga.

"Mama terima maaf Abang sama Mas. Tapi tidak untuk hari lain. Mama sudah bilang, jangan keseringan berantem. Mama tidak suka."

Dua anak itu pun mengangguk. "Iya, Mama."

"Sini, adek nendang. Sepertinya adek marah ke Mama karena marahin abang-abangnya."

Jelas ketiganya dengan cepat langsung menempelkan pipinya ke perut sang Mama, mencoba untuk merasakan tentangan sang adik. Ketiganya tersenyum lebar saat merasakan ada tendangan yang mengenai pipi mereka.

"Kalian senang?"

Ketiganya tentu mengangguk semangat. "Tentu, Mama."

Tak jauh dari sana, tampak lelaki dewasa memasuki rumah dan segera bergabung dengan sang istri dan juga anaknya.

"Papa, adik menendang!" Seru Haican.

Hugo Candela tersenyum. Ia turut ikut meletakkan tangannya di perut sang istri. "Papa tidak merasakannya."

"Adik gak sayang Papa berarti." Ujar Juna yang tentu mendapat protes.

"Enak saja! Adik sayang Papa."

Jolicia segera menengahi perdebatan itu. Jika tidak, akan sangat berkepanjangan untuk mendengarkan ocehan dua lelaki berwatak sama —keras kepala—

"Adik sayang kalian semua. segeralah mandi, kita akan pergi ke rumah Eyang."

Pernyataan itu membuat suasana mendadak suram. Mendengar kata 'Eyang' adalah hal terhoror sepanjang masa. Eyang merupakan orang tua dari Jolicia, yang juga menjadi penentang hubungan Jolicia dan Hugo, sang suami.

Hugo menegakkan badannya. Ia menatap Jolicia dengan penuh cinta. "Aku masih harus kembali ke kantor. Pergi dengan anak-anak dulu, ya sayang."

"Mas, aku tahu kamu tidak mau berhubungan dengan keluargaku. Tapi meski begitu, mereka tetap orang tua aku, Mas. Sudah dua tahun kita tidak pernah berkunjung melihat mereka." Tutur Jolicia dengan penuh kelembutan.

Juna sebagai sulung mengerti situasi kondisi yang terjadi di keluarganya. Singkatnya, Eyang tidak setuju Mama menikah dengan Papa. Mereka berkeinginan jika anak perempuan satu-satunya itu menikah dengan sepupunya, agar tak memutus lingkar keturunan dan kekeluargaan yang sudah ada.

Sebagai perempuan satu-satunya dan bungsu, tentu Mama bersikeras untuk menikah dengan Papa. Mau tidak mau, Eyang menyetujui hal tersebut dengan catatan anak sulung dan bungsu harus membawa nama 'Arthayasa". Papa terima untuk memberikan si sulung dengan nama Arthayasa, namun tidak dengan si bungsu yang masih dalam kandungan. Hal ini yang membuat keretakan didalam keluarga mereka.

Kehamilan Jolicia ini sudah menjadi kesepakatan bagi kedua pasangan itu untuk jadi kehamilan yang terakhir. Hugo tak ingin memberi sakit pada istrinya yang harus mengandung dan membawa janin selama 9 bulan. Ia tidak tega. Sudah cukup jika dua anak mereka membawa marga 'Arthayasa' dan dia lagi akan membawa marga 'Candela'

Hugo dan Jolicia memang sudah dua tahun tidak berkunjung, hanya yang berkunjung putra-putra mereka saja.

"Sayang, aku sedang tidak ingin berdebat dengan Ayah Ibu disana."

Jolicia tersenyum. Ia mengelus perutnya. "Ibu bilang sama aku, Ayah setuju untuk menyematkan nama Candela untuk si adik."

"Benarkah?" Hugo membelalak tak percaya. Pasalnya, mertuanya itu sangat keras kepala dan tegas. Apa yang dibilang A harus A, tidak boleh berganti tanpa pertimbangan panjang.

Jolicia mengangguk. "Iya. Berterima kasih ke putra-putra kita, Mas. Mereka yang membujuk Eyang mereka beberapa Minggu lalu."

Juna, Noah, dan Haican tersenyum malu. Mereka pikir sang Mama tidak tahu rencana bujukan itu. Tanpa pikir panjang, Hugo memeluk tiga anaknya itu. Sungguh anugerah terindah memiliki anak.seperhatian dan sepengertian ini.

Jolicia berdiri dan melepaskan pelukan Papa dan anak itu. "Sudah. Kita harus segera kesana. Bersiaplah dengan pakaian santai, tidak usah formal. Mama tidak suka anak Mama harus cemberut saat menggunakan dasi, kemeja, dan jas yang tidak disukai. Paham kids?"

"Yes, Mama!"

To be Continued
Sampai jumpa lagi dan jangan lupa bersyukur.

Peluk jauh
Methamorphose 🦋

IRREPLACEABLE | 나잼Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang