Sementara

10 1 0
                                    

___

           Pra memperhatikan isi pesan balasan yang masuk ke ponselnya beberapa menit lalu. Dengan perasaan bersalah, Pra hanya membaca pesan tersebut tanpa membalasnya. Ia tahu Nala pasti kecewa karena janji mereka dibatalkan, tapi ajakan Bastian tidak bisa ia tolak.

"Ayo, Bro!"

Pra mengangguk dan segera menuju motornya di parkiran kampus. Eva mengikuti di belakang, sedangkan Bastian dan tiga orang teman lainnya menuju mobil milik Bastian.

"Lo nggak mau di mobil aja sama Bastian?" Pertanyaan Pra membuat langkah Eva terhenti.

"Gue nggak boleh ikut sama lo aja? Kepala gue suka pusing kalau naik mobil." Sahut Eva sambil memasang mimik wajah memelas.

"Ya udah, ayo!"

Dengan terpaksa, Pra mengijinkan Eva untuk ikut dengannya naik motor. Pra lebih dulu naik kemudian Eva menyusul di boncengannya. Pra memberi kode klakson kepada Bastian untuk melajukan mobilnya dan Pra akan membuntuti di belakang.

Sepanjang perjalanan, Pra sama sekali tidak mengatakan sesuatu. Eva yang merasa ada atmosfer kecanggungan diantara mereka, akhirnya berusaha memulai percakapan.

"Lo mau cari apa, Pra? Kok tumben mau ikut kita-kita ke Blok M?"

"Ada spare parts motor yang harus gue beli. Kata Bastian cuma ada di pameran motor sport di Blok M. Gue udah cari ke semua bengkel langganan, nggak ada. Lo sendiri ngapain ikut?"

Eva meneguk saliva, getir. Sebenernya tidak ada sesuatu yang ingin ia beli. Eva ikut hanya karena ia tahu Pra juga ikut. Sejak lama, Eva ingin sekali dekat dengan Pra, tapi laki-laki yang ia kenal saat OSPEK dua tahun lalu itu, selalu saja menjaga jarak. Awalnya Eva kira Pra memang bersikap dingin kepada semua perempuan, tapi saat melihat bagaimana perlakuan Pra kepada Nala, membuat Eva berasumsi jika selama ini Pra menolak untuk di dekati karena Pra menjaga perasaan Nala. Perempuan yang mungkin Pra sayangi.

Yang membuat Eva masih terus berusaha mendekati Pra adalah sikap dan respon laki-laki itu yang kadangkala berubah-ubah. Seolah menarik ulur perasaan Eva. Pagi tadi, Pra menerima cake yang Eva berikan dengan tangan terbuka. Tapi sikap Pra kali ini seolah menolak Eva untuk berada di dekatnya. Dengan sikap Pra yang tidak pernah konsisten itulah, Eva merasa jika ia masih punya kesempatan untuk masuk lebih dalam ke hidup laki-laki itu. Juga menjauh di waktu yang bersamaan.

"Pengen ikut aja. Bastian yang ngajak," sahut Eva setelah beberapa detik terdiam memikirkan jawaban atas pertanyaan Pra.

Pra tidak lagi menyahut, itu membuat Eva tidak lagi bersuara. Sampai mereka tiba di pelataran gedung parkir Blok M square. Mobil Bastian berhenti di parkiran khusus kendaraan roda empat, sedangkan Pra mencari spaces parkir motor yang masih kosong.

Eva turun dari motor Pra dan menunggu laki-laki itu untuk berjalan beriiringan masuk ke dalam gedung mall. Bastian, Chandra, Ken dan Sean sudah lebih dulu berjalan di depan.

"Ayo Bro! Ikut gue ke lantai dua. Di sana tempat jual beli spare parts motornya." Bastian merangkul pundak Pra menuju eskalator.

Eva yang merasa diabaikan, mempercepat langkah mengikuti dua orang tersebut, meninggalkan Chandra, Ken dan Sean yang asik melihat-lihat suasana lantai dasar yang ramai oleh berlangsungnya beberapa macam event.

"Bas, makan dulu yuk! Gue mau Ramen yang di sana tuh!" Saat tiba di lantai dua, Eva langsung menunjuk sebuah food court.

"Nanti aja. Gue sama Pra mau cari barang dulu." Sahut Bastian yang justru berjalan ke arah sebaliknya dari tempat yang Eva tunjuk.

"Tapi gue laper, Bas." Rengek Eva.

"Ya udah lo duluan aja, sana."

"Tega banget lo, Bas. Kita kan, ke sini bareng-bareng." Melas Eva sembari menarik pergelangan tangan Bastian.

"Aduh... Ribet banget sih, Va. Gue sama Pra mau cari barang. Kalau lo nggak bisa sabar nunggu, duluan aja."

"Ish, ya udah cepetan!"

Akhirnya Eva mengalah. Mengikuti Bastian dan Pra menuju tempat jual beli spare parts motor. Padahal ia kira, Pra akan membelanya dan menuruti keinginannya untuk makan lebih dulu. Tapi laki-laki itu diam saja saat Eva berdebat dengan Bastian. Eva menghela napas panjang, respon Pra masih tetap jauh dari ekspektasi-nya.

° ° °

          Berdiri sendirian di Halte adalah hal yang sedang Nala lakukan. Ia keluar kantor beberapa menit yang lalu, segera menuju Halte dan menunggu bus yang menuju rumahnya.

Nala jarang sekali pulang sendiri, karena biasanya Pra akan selalu menjemputnya. Kecuali jika Pra sedang ada tugas atau keperluan lain yang mendesak, Nala memilih untuk naik bus seperti hari ini.

Bus yang ia tunggu sejak lima belas menit lalu, akhirnya muncul. Nala segera melambaikan tangan dan sopir bus menghentikan laju kendaraanya. Kemudian sang kernet menyuruh Nala untuk segera naik. Nala mencari tempat duduk yang masih kosong dan ia menemukan tempat di bagian belakang bus. Keadaan bus sore itu tidak terlalu ramai, karena mungkin kebanyakan orang lebih memilih untuk naik ojek online supaya menghemat waktu dan cepat sampai.

Sepanjang perjalanan pulang, Nala bersenandung lagu kesukaannya dari band Float yang berjudul 'Sementara'. Pertama kali ia mendengar lagu itu saat Pra memutarnya di mobil ayah Pra ketika mereka berangkat sekolah. Nala memang sering diajak Pra untuk berangkat bersama diantar Setyo—ayahnya, itu karena rumah mereka hanya berjarak beberapa meter. Pra dan Nala tetanggaan sejak mereka masih SMP. Hal itu pula yang membuat keduanya berteman sangat dekat.

Saat masuk SMA, kedekatan Pra dan Nala disalah artikan oleh teman-teman mereka. Banyak yang mengira bahwa Pra dan Nala berpacaran. Nala bahkan pernah di labrak oleh salah satu senior yang ternyata menyimpan perasaan suka kepada Pra. Nala dibawa ke gudang sekolah di lorong belakang, disudutkan dan dicecar oleh tiga Senior perempuan yang terkenal popular di sekolah.

Jika saja saat itu Pra terlambat datang, mungkin Nala sudah babak belur di tangan senior tersebut. Setelahnya, Pra bahkan membentak dan memarahi senior itu dan mengancam akan melaporkan kepada kepala sekolah kejadian yang baru saja senior itu lakukan kepada Nala. Dengan barang bukti sebuah rekaman video yang Pra ambil diam-diam sebelum menghampiri mereka. 

Para senior itu jelas takut oleh ancaman Pra. Kemudian mereka pergi dan setelahnya mereka tidak berani lagi mengganggu Nala.

Sejak dulu, Nala selalu merasa jika Pra adalah bayangannya. Karena kemanapun Nala pergi, pasti Pra ada di sampingnya. Seolah sudah menjadi kebiasaan, mereka sering melakukan banyak hal berdua. Meskipun baik Nala maupun Pra punya teman kelompok lain, di luar itu mereka tetap berdua. Selain karena mereka tetangga, Pra dan Nala juga punya mimpi dan tujuan yang sama tentang masa depan.

Enam bulan sebelum kelulusan sekolah, Pra dan Nala sudah punya rencana untuk melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi dengan jurusan yang sama yaitu, Teknik Elektro. Sesuai mimpi mereka yang ingin menjadi seorang engineering handal.

Waktu demi waktu berlalu, persiapan yang mereka lakukan bersama akhirnya membuahkan hasil. Pra dan Nala lolos lewat jalur SMNPTN. Dengan bangga, keduanya memberitahukan kabar gembira tersebut kepada orang tua masing-masing.

Jika respon orang tua Pra sangatlah senang, berbanding terbalik saat Nala memberitahukan hasil ujian masuknya ke PTN kepada ayah dan ibunya.

Saat ayahnya menceritakan tentang kebangkrutannya, Nala merasa seperti ada sesuatu menghantam keras dadanya. Ada sesak yang tidak bisa ia jelaskan rasanya. Terpendam di sana dalam waktu yang lama.

Hal itu membuat Nala akhirnya mengurungkan niat untuk melanjutkan kuliah. Karena Nala mengundurkan diri setelah lolos SMNPTN, ia dilarang ikut UTBK sampai tiga tahun mendatang. Pada akhirnya, Nala memilih untuk mencari pekerjaan dan menunda kuliahnya.

Keasikan melamun, membuat Nala tidak sadar bahwa ia hampir saja melewatkan Halte tempatnya turun. Untung busnya belum jauh, Nala segera meminta sang sopir berhenti. Setelah membayar, Nala langsung berlari menuju rumahnya yang terlewat beberapa meter.

SERANA Where stories live. Discover now