Menguntai Waktu

9 2 1
                                    

___

           "Nala udah transfer uangnya, Yah. Maaf, Nala nggak bisa datang ke ulang tahunnya Kenzi. Nala ada janji sama Pra." Ucap Nala kepada seseorang yang sedang ia hubungi lewat telepon.

"Kamu ini gimana sih, kak? Adiknya ulang tahun malah nggak datang. Lagian kamu kok masih main sama anak itu? Ayah udah pernah bilang kan, jangan sering-sering main sama dia." Sahut sang ayah dari balik telepon.

Nala mengembuskan napas singkat, seperti mendengus sebal. Ia tidak peduli jika ayahnya mendengar dengusannya dan menganggap ia tidak sopan. Nala benar-benar muak dengan larangan ayahnya yang tidak pernah masuk logikanya.

"Kenapa sekarang Ayah jadi suka ngatur-ngatur Nala, sih? Bukannya selama beberapa tahun ini, Ayah udah nggak peduli sama Nala? Ayah masih hubungin Nala cuma supaya Nala bantuin bayar hutang-hutang Ayah, kan?"

Nala sudah melewati batas kesabarannya. Ia sama sekali tidak peduli lagi tentang sopan santun kepada ayahnya. Toh, selama beberapa tahun ini peran ayah yang harusnya ia dapat dari Hendra tidak pernah Nala rasakan lagi. Sosok ayah yang dari kecil Nala banggakan, ia anggap sudah hilang. Mati bersama impiannya yang mustahil bisa ia gapai kembali.

"Kamu, ya! Sejak kapan kamu jadi nggak sopan gitu bicara sama Ayah?!"

"Sejak orang yang ber-title seorang 'Ayah' pergi dari rumah dan memilih hidup dengan keluarga barunya."

Tidak ada suara dari balik telepon. Nala yakin panggilannya belum terputus, sebab ia masih dapat mendengar suara napas ayahnya yang mungkin tercekat mendengar penuturannya. Seperti tertampar sebuah fakta yang membuat Hendra sulit untuk membalas ucapan anaknya.

"Udah ya, Yah. Nala sibuk, masih di kantor."

Nala menutup panggilan sepihak tanpa menunggu ayahnya menjawab. Tiba-tiba tangannya yang menggenggam ponsel basah oleh tetesan air yang turun dari mata dan mengalir di pipinya.

Cepat-cepat Nala menyeka air matanya dengan lengan kemeja panjang yang ia gunakan. Keadaan kantor yang masih sepi, membuat Nala bebas mengutarakan isi hatinya sewaktu berbicara dengan Hendra via telepon tadi. Ia sengaja tidak keluar kantor di jam makan siang hari ini, sebab ia butuh waktu senggang untuk menelpon ayahnya.

Ponsel yang ia simpan di atas meja, berdenting ketika satu pesan masuk via WhatsApp. Nala mengambil ponselnya dan segera membuka pop-up pesan yang muncul di layar. Nama 'Praha' pada nomor kontak si pengirim pesan, membuat perasaan Nala sedikit membaik setelah merasa sedih oleh ucapan ayahnya.

👤 Praha
Pulang kerja gue jemput! Gue mau ngajak ke suatu tempat

Hanya itu. Pra tidak menjelaskan tempat mana yang laki-laki itu maksud. Nala sendiri terlalu malas untuk bertanya lebih lanjut, jadi ia hanya menjawab dengan satu kata;

👤 Me
Oke

Pesan jawaban yang Nala kirimkan, tidak direspon oleh Pra. Tanda centang duanya masih berwarna abu-abu. Mungkin Pra masih di kelas. Pikir Nala.

Jam menunjukan pukul 13.00.  Teman-teman sekantor Nala yang pergi mencari makan siang, satu persatu mulai kembali masuk. Orang terakhir yang masuk ke dalam kantor adalah Angga. Laki-laki itu sedang berbicara lewat telepon dengan seseorang. Nala berasumsi jika orang itu punya posisi penting di kantor, sebab ia mendengar Angga bicara dengan bahasa formal. Laki-laki itu berlalu menuju ruangannya, Nala memperhatikan sampai Angga menghilang di balik pintu.

• • •

          Senyum Nala mengembang sempurna saat netranya menangkap sosok yang duduk di atas motor—di seberang jalan. Pemandangan yang beberapa hari ini tidak nampak di matanya. Jujur, Nala sangat merindukan kehadiran Pra. Tapi ia juga teringat dengan keinginannya yang meminta laki-laki itu untuk tidak menemuinya terlalu sering.

SERANA Where stories live. Discover now