Dianggap sebagai ancaman bagi seluruh klan dan kerajaan karena mempunyai ilmu sihir, Bianca Rosever dihadapkan pada eksekusi mematikan.
Dalam pelariannya, sang puteri yang dicap angkuh seantero negeri itu membawa tangis, amarah dan dendam, terutama...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
⚠️TYPOS⚠️ • • •
"Saat rembulan sedang begitu terang-terangnya, juga taburan bintang di langit lebih banyak dari biasanya, pada saat itu, parade langit sedang berlangsung."
Itulah yang sedang Morael ceritakan di summer camp sekolah kanak-kanak—menyamar sebagai panitia—mengatakan bahwa bintang-bintang jatuh yang kerap dijadikan ajang untuk merajut harap itu sengaja dilempar oleh para dewa.
"Kau bilang langit sedang terbuka lebar?"
Morael melempar senyum pada gadis cilik yang duduk di pangkuannya dengan nyaman. Segurat senyum yang, mungkin akan gadis itu ingat sampai dewasa dan menjadikannya tolak ukur untuk mencari pasangan hidup.
"Ya! Begitu pun telinga para dewa. Mereka mendengar setiap harap yang diucap tulus hati manusia."
"Apa mereka mengabulkannya?"
"Hmm, terkadang. Tidak semua." Morael meringis.
Anak-anak itu menatap Morael dengan sorot lembut, polos—tidak terarah—mereka yang murni dan tulus.
Mengingatkan Morael pada satu masa, saat itu parade langit ke sekian sedang berlangsung, lalu ada suara lembut mengalun memenuhi gendang telinga Morael, terdengar tulus dan polos, membisikkan satu kalimat yang seharusnya begitu romantis namun, meninggalkan begitu banyak luka dan kesedihan.
Wahai dewa yang memegang kendali cinta umat manusia, cintaku pada River lebih luas dibanding langit tempat bernaungmu, bahkan lebih besar dari cinta yang dia beri kepada Fionanya. Begitu katanya. Ketika seharusnya dia mengucapkan sebuah harapan, tidak. Dia hanya mencurahkan isi hati dan hal itu berlanjut setiap kali parade langit berlangsung. Setiap kali Morael melempar bintang jatuh untuknya.
Curahan hatinya tidak pernah berubah, wanita itu tidak pernah meminta apapun selain membandingkan besar dan luas cintanya kepada pria idamannya dengan langit, hingga satu waktu jeritan pilunya terdengar hingga ke langit.
Patah hati Bianca Rosever menembus dimensi dan memecah seisi singgasana sang Dewa Anteros, nama Morael yang sesungguhnya.
Sebagai dewa yang memegang kendali cinta umat manusia, Anteros tidak bisa abai melihat hati tulus seseorang tercabik karena cintanya tidak terbalas, namun ada harga yang harus dibayar umat manusia agar cinta yang didambanya bukan lagi sekedar angan.
Malam itu, Anteros akhirnya membuat keputusan dengan membuka dua portal menuju masa depan.
Pengkhianatan dan pembantaian yang dialami Rosever di luar kendali Anteros—dia hanyalah dewa cinta—hanya perlu memastikan luka hati Bianca sembuh, apapun caranya, termasuk melemparnya ke masa depan, agar dia—untuk sementara—aman, tidak sampai di situ, Anteros yang tidak memberi toleransi pada si pembuat patah hati, juga membuat keputusan bulat untuk memberi hukuman.