Hari-hari berlalu, dan musim gugur pun perlahan berganti menjadi musim dingin. Dengan setiap hari yang berlalu, kondisi Yeonjun semakin memburuk. Halusinasi yang dialami nya semakin kuat, sering kali membuatnya sulit membedakan antara yang nyata dan yang tidak.
Pada suatu malam yang dingin, Yeonjun duduk di ruang tamu apartemennya, menatap kearah dinding putih kosong. Namun bagi Yeonjun, dinding itu tidak hanya polos putih dan kosong. Ia bisa melihat Beomgyu duduk disana, tersenyum padanya dengan tatapan yang ia rindukan selama ini. Tatapan penuh kasih sayang.
"Junnie, kenapa kamu terus bersedih?" tanya Beomgyu dengan suara lembut. "Aku disini, kita masih bersama. Jangan dengarkan mereka."
"Tapi mereka bilang hyung sudah meninggal," bisik Yeonjun, tangannya bergetar saat mencoba menyentuh bayangan Beomgyu yang tidak nyata. "Aku merasa seperti aku sedang kehilangan akal sehat."
"Kamu tidak gila, Jun. Mereka yang tidak mengerti. Aku masih ada disini, bersamamu. Kita tidak akan pernah terpisah."
Yeonjun terisak, merasakan kehangatan yang dulu hanya bisa ia dapatkan dari kehadiran kakaknya. "Aku tidak ingin kehilanganmu, hyung. Aku tidak tau harus bagaimana tanpamu."
Kata-kata itu menyakitkan, tetapi juga memberikan kenyamanan. Dalam dunia Yeonjun, Beomgyu adalah satu-satunya kenyataan yang ia miliki, bahkan jika itu hanya halusinasi.
Namun, di sisi lain kota, Soobin merasa gelisah. Sesuatu tentang kondisi Yeonjun akhir-akhir ini membuatnya khawatir lebih dari biasanya. Soobin tidak hanya peduli sebagai psikiater, ia juga peduli sebagai seseorang yang diam-diam mencintai Yeonjun. Rasa cinta itu terlarang dan tak pernah ia ungkapkan, tapi itu ada dan terus tumbuh di dalam hatinya.
Malam itu, Soobin tak bisa tidur. Bayangan Yeonjun terus menghantui nya, dan akhirnya ia memutuskan untuk menghubungi pria itu.
Ketika Yeonjun mengangkat telepon, suaranya terdengar lemah, hampir tidak bernyawa. "Kenapa menelpon malam-malam begini, Bin?"
"Aku hanya ingin memastikan hyung baik-baik saja," jawab Soobin, mencoba untuk menyembunyikan kegelisahan yang ia alami. "Apa hyung sudah tidur?"
"Tidak. Aku sedang berbicara dengan Beomgyu," jawab Yeonjun dengan tenang, seolah-olah itu adalah hal yang paling normal di dunia.
Hati Soobin terasa teriris mendengar jawaban itu. "Hyung, dengarkan aku. Kamu tidak sendiri. Aku ada disini untukmu. Jika kamu butuh sesuatu, aku akan datang."
Namun, Yeonjun hanya tertawa kecil menanggapi ucapan Soobin, suara tawanya penuh kesedihan. "Terima kasih, Soobin. Tapi kamu tidak bisa menggantikan Beomgyu hyung. Tidak ada yang bisa."
Setelah percakapan itu berakhir, Soobin merasakan ketakutan yang semakin membesar. Ia tahu bahwa pasiennya, Yeonjun, berada di tepi jurang dan ia mungkin tidak memiliki cukup kekuatan untuk menariknya kembali.
.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
At The Border Of Sanity and Insanity
Fanfiction[ON GOING] In the end, everyone will leave us and make us have to stand alone. ───── dom: soob sub: jun warning ! homophobic dni. cerita ini tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan asli tokoh yang ada di cerita. Be a good reader. 📝 Indonesi...