CALVARY 7

33 6 0
                                    

"Kita tidak bisa menemukannya."

Helaan napas profesor ksatria yang sudah basah kuyup karena menerjang hujan di tengah pengejaran Mona mengundang rasa geram perkumpulan profesor itu.

"Kenapa kita tidak lenyapkan saja gadis itu dari dulu!? Dilihat darimana pun Duke Skylark telah melahirkan seorang anak monster!" seru garang bersamaan dengan munculnya gebrakan meja dari salah satu profesor senior di akademi itu mampu meleburkan ketahanan emosi dari profesor lain. Mereka saling memandang, memiliki sorot mata yang sama. Amarah.

"Dia bahkan bisa membangunkan Tiegar! Arcana Soul liar sialan itu!"

"Kita tidak bisa hanya diam, membiarkannya lepas seperti binatang liar di hutan Utara," tanggap Profesor lain, dia sampai menghela napas berat, menepuk puncak kepalanya sendiri, "Dia bisa saja memberontak dan hilang kendali seperti Tiegar seutuhnya. Dimana kepala profesor? Kita harus memberitahu hal ini padanya."

"Kau benar! Jika itu Profesor Han, pasti dia bisa menangkap monster itu dengan mudah. Dia mantan Master Swozard ke-lima!"

"Namun, apa nanti dia akan mau melakukannya? Sebelumnya saja dia membiarkan gadis itu," tanggapan lain membuat semuanya bungkam. Sejak awal, Profesor Han yang membiarkan Mona berperilaku seperti itu. Entah berapa kali Mona membuat ulah, dia hanya mendapatkan omelan dan hukuman ringan. Bahkan menolak permohonan untuk mengeluarkan Mona dari akademi.

Profesor Anavel, yang sejak tadi terdiam di ambang pintu, menatap mereka dengan pandangan gelap. Sebelum dirinya balik badan, memilih untuk diam-diam keluar dari ruangan. Dia merasa sesuatu yang tak nyaman dalam hatinya, tak pernah sekalipun ia menyangka tentang ekspresi Mona waktu itu. Tidak sekedar amarah, ada sesuatu yang lain dan setiap kali bayangan itu terbesit kembali di kepala Profesor Anavel, hanya ada hantaman menyakitkan dalam hati.

Di sepanjang lorong menuju ruang kerjanya, Profesor Anavel hanya memandang kakinya sendiri. Profesor muda itu baru mendongakkan kepalanya ketika melihat seseorang yang berjalan berlawanan dengan arahnya. Mata merah delima sipit dan senyuman misterius yang selalu dia tampakkan jika seseorang melihatnya. Profesor Anavel tidak menyukai laki-laki itu. Laki-laki yang lebih tua darinya dua tahun.

"Mau pergi kemana?" Langkah Profesor Anavel terhenti ketika tangan laki-laki itu meraih satu pundaknya, yang berniat melewatinya begitu saja. "Bukankah keributan ini terjadi karena ulah anak muridmu? Bisa kubantu?"

Mata hijau beradu dengan mata delima itu sekilas, "Bukan urusanmu, Iaros," desis Profesor Anavel, sebelum ia menepis tangan Profesor Iaros dari pundaknya.

Senyuman dan reaksi mata sipit dari Profesor Iaros, hampir tidak pernah luntur di depan Profesor Anavel yang selalu memperlakukannya dengan buruk. Meski begitu, setiap langkah Profesor Anavel yang menjauh darinya, terdapat makna mendalam pada setiap kali lirikan itu jatuh padanya.

"Menyedihkan," gumam Profesor Iaros, menatap punggung Profesor Anavel yang semakin menjauh dan hilang di belokan lorong.

***

"Dia anak seorang pahlawan, 'kan?"

"Dua saudaranya yang lain mirip dengan kedua orang tuanya, tapi dia?"

"Bagaimana bisa anak seorang pahlawan memiliki penampilan seperti monster seperti itu?!"

Seruan yang membuat telinganya berdenging, membuat Mona terkesiap dengan napas terengah-engah dan matanya yang terbelalak setelah berada dalam pertarungan mimpi. Langit-langit batu membuatnya menoleh ke samping untuk melihat sekeliling, menerka-nerka apa yang terjadi sebelum pulih dari tidur sepenuhnya. Gadis itu bangkit tergesa-gesa, membuat selimut tipis dari jubah hitam yang menyelimutinya merosot.

Lengannya sudah terperban dengan baik, Mona masih merasakan nyerinya. Ia menatap percikan api dari tumpukan kayu kecil yang terbakar, suara hujan sedikit terendam dalam lorong batu. Dia berada di gua yang cukup besar, dan sekarang Mona menarik mundur tubuhnya dari tempat dia berbaring, ketika pandangannya menangkap sosok berjubah hitam duduk tak jauh dari api unggun, bersandar di dinding gua.

"Sudah bangun?"

Suara yang begitu rendah itu membuat Mona terkesiap sekali lagi, berjaga-jaga orang itu bukan dari akademi, tangannya hendak menarik pedang, tetapi hanya ada udara kosong yang membuatnya celingukan untuk menemukan pedangnya. Sedangkan pedang itu diangkat oleh pria itu sebelum dilempar ke arahnya, yang seketika membuat Mona refleks menangkap sampai terhuyung mundur.

"Kauー"

"Jika sudah bisa berdiri, pergilah, bocah ingusan. Merepotkan saja," sela pria itu. Mata Mona berkedut lantaran kesal, sebelum dia menghentakkan kakinya di tanah, bersungut-sungut, "Aku bukan bocah ingusan! Kau siapa?!" seru Mona.

Pria itu hanya berdiri, melemparkan jubah hitam, menutupi kepala Mona yang membuatnya menjengit kaget, sebelum pria itu melangkah pergi, "Pergilah dari sini sebelum hujan semakin deras. Atau, kau bisa menetap dan memilih untuk kelaparan."

Hanya ada nada mengusir, pria itu melirik sekilas ke belakang, melihat Mona menatapnya dengan tatapan bingungnya, "Aku tidak punya makanan untuk gelandangan sepertimu."

Alis Mona berkedut, "Aku juga bukan gelandangan, moya!"

Jubah hitam pria itu berkibar ketika melewati mulut gua. Hujan menerpanya, sialnya itu masih deras. Dan bahu Mona merosot ketika pria itu tidak kembali menoleh padanya, mengingatkan tentang mimpi yang selalu menghantuinya, "Tung—"

Wajah Mona berubah sendu, ia melirik ke arah baju seragamnya. Kemeja putih dan almamater hitamnya tergeletak di dekat api unggun, baru menyadari itu sudah terlepas dari tubuhnya, sekarang dia hanya memakai celana rok dan kaus putih. Mona sadar, Pria itu telah menolongnya dan membuatnya menatap ke arah mulut gua.

Mona melangkah, mencengkeram kemeja putih dan almamater hitam itu sebelum memakainya untuk melapisi kaus yang melekat di tubuhnya, mengikat sabuk pinggang untuk pedangnya, sebelum menyibak jubahnya ke bahu. Ia menarik tudung jubah hingga menutupi sebagian wajahnya, sebelum berlari untuk mengejar pria itu.

Langit tidak lagi menurunkan hujan, awan itu sudah menghilang digantikan oleh langit malam yang cerah bertabur bintang. Sayangnya, Mona tidak dapat melihat bintang-bintang itu mengerjap memenuhi langit, dari dalam hutan yang lebat dengan pepohonan yang rindang. Mona melongok dari batang pohon, ia mengawasi pria itu dari jauh, yang kemungkinan jaraknya hanya sekitar delapan meter. Langkahnya berderak sunyi untuk bersembunyi di pohon ke pohon, entah mengapa perasaan Mona campur aduk, nekat mengikuti pria yang tidak dia kenal.

Mona tidak mendapatkan arah tujuan untuk saat ini. Dia tidak bisa kembali ke akademi, ketika semua orang menolaknya berada di sana. Ataupun pulang ke mansion Duke? Bisa-bisa pak tua itu menendang pantatnya karena tahu dia adalah alasan Tiegar bangkit. Hingga gadis itu memutuskan untuk mengikuti penyelamatnya, meskipun ucapan pria itu dengan mudahnya mengusir Mona, tetapi ia tidak merasa terintimidasi seperti ketika berada di akademi. Lentera yang dibawa pria itu seperti cahaya tujuannya sekarang.

Tidak sekali dua kali pria itu menoleh ke belakang, merasa ada yang mengawasi dan mengikutinya seperti ninja, dan saat itu terjadi, Mona tengah menenggelamkan dirinya dibalik batang pohon, bersembunyi tanpa suara seperti bunglon. Ketika pria itu kembali melangkah, barulah Mona melongok, lantas kembali mengendap-endap mengikuti jejak pria itu.

つづく

ーARIGATO FOR READINGー
THANKS

Antagonist on BellatrixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang