CALVARY 8

27 5 0
                                    

Sang surya telah menyalakan sinar fajarnya. Mata Mona tak lepas dari pria yang sekarang sibuk mencari ... ikan? begitu pikirnya. Sejak tadi pria itu berdiri diam di pinggiran sungai yang airnya mengalir deras, masih banyak bebatuan yang tampak licin oleh lumut, tetapi memiliki air yang begitu jernih tatkala disekitarnya adalah hutan yang belum terjamah.

Kepala Mona melongok dari batang pohon di belakang pria itu, sekitar 7 meter jaraknya. Matanya menyipit heran dengan wajah cengo, sekaligus bosan melihat orang yang dia ikuti hanya berdiam diri tanpa aksi di pinggiran sungai seperti itu. Sejauh ini, dia berhasil mengikuti pria itu sampai pagi tiba keesokan harinya. Mengendap-endap seperti ninja, tidak, dia lebih mirip seperti penguntit.

Mata Mona berkedut melihat pria itu hanya menoleh ke kiri-kanan sembari menunduk menatap aliran sungai, begitu bergerak saja dia tidak mendapatkan ikan satu pun. Matanya baru berkedip saat ada ikan yang keluar arus ke permukaan, Tangkap, moya! seru Mona dalam hati, tetapi semangatnya padam ketika untuk kesekian kalinya pria itu menangkap udara, menyebabkan ikan itu kembali terjun ke air.

Payah. batinnya sekali lagi. Perutnya keroncongan, dari hari kemarin belum ada makanan yang masuk dalam perutnya.

"Hei, nak. Daripada kau diam di sana, bukankah lebih baik memanfaatkan waktumu untuk mencari makanan?" ucap pria itu yang seketika membuat Mona menenggelamkan tubuhnya ke batang pohon, bersembunyi. Dia ketahuan? Jelas-jelas pria itu tadi seperti bicara dengan seseorang. Gadis itu menoleh ke belakang, perlahan-lahan mengintip dari balik batang pohon, dia masih melihat pria itu di sana, bergeming.

Tidakkah tadi dia hanya halusinasi? Tidak. Jelas-jelas dia dengar sesuatu dari pria itu, mengatakan kalimat panjang seolah menyadari ada seseorang yang mengikutinya. Tudung jubah Mona berkibar hingga terlepas dari wajahnya, dia menjengit kaget ketika seekor burung menerjang kepalanya dari atas pohon. Kepakan sayap burung itu kencang sekali menerpa wajahnya hingga dia terjungkal ke belakang.

"Ack! Hei!" Paruh burung itu mematuk kepala Mona berkali-kali, hingga gadis itu merangkak untuk berdiri, berlari keluar dari persembunyian pohon ke lahan lebih terbuka di pinggiran sungai dengan tangan di kepala, menutupi puncak kepalanya yang dipatuk oleh seekor burung entah datang darimana, "Berhenti, moya! Berhenti!"

Mona berlari terbirit-birit, pandangannya tertutupi oleh kelopak matanya sendiri hingga tidak sadar tidak lagi menginjak tanah, dia berseru tertahan ketika tubuhnya terperosok ke sungai. Hembusan angin menerpa punggungnya dari belakang, rasanya jubah itu tertarik ke atas, beruntung tidak mencekik lehernya. Mata Mona perlahan terbuka, melihat aliran sungai deras di bawah kaki-kakinya yang melayang beberapa sentimeter.

"Benar-benar gadis yang sembrono."

Suara itu membuat Mona mendongak, melihat tangan pria itu dengan paruh burung yang mematuk tadi menjinjing leher jubahnya. Dengan ringan pria itu melempar Mona kembali ke tanah, gadis itu terjungkal dengan punggungnya yang mendarat lebih dulu, "Sakit, moya!" serunya protes, sebelum menjengit kaget ketika seekor burung elang mendarat di depannya.

"Sudah kubilang aku tidak punya makanan untuk gembel sepertimu."

"Sebelumnya kau menyebutku gelandangan!"

Mona hampir melempari wajah pria itu dengan sepatunya jika saja burung elang itu tidak menghentikan gerakannya dengan memekik dan menggeram. Sudut mata Mona berkedut menahan diri, dia cemberut lantaran paruh elang itu sangat kinclong dan terlihat sangat menyakitkan jika dia mematuk dengan serius. Tidak. Mengapa Mona rasa elang itu memelototinya sekarang? Dia hanya seekor elang emas, beraninya memelototinya.

Mona mencoba menggeram untuk menakut-nakuti, tetapi malah elang itu membalasnya dengan lebih ganas, hingga dia menjengit dengan wajah syok.

Pria itu tampak menghela napas tipis, melepas tudung jubahnya hingga terlihat jelas wajah itu sekarang. Wajah tenang dengan sedikit keriput samar di dahi, rambut berwarna coklat keemasan yang beberapa sudah mulai memutih, serta mata kuning seperti mata elang. Jelas dia lebih muda dari Profesor Han. Pria itu sudah menyadari kehadiran Mona sejak awal ia mengikutinya, mengira Mona akan menyerah di tengah jalan. Namun, meski fajar menyingsing pun, gadis itu tidak berhenti, mau diapakan sekarang?

"Turunlah ke hulu," pria itu dengan santai menarik jubah Mona hingga dia terpaksa berdiri, sebelum mendorong punggungnya hingga hampir tersandung. Mona menoleh dengan ekspresi kesal, "Untuk apa, moya?!" serunya tak terima disuruh-suruh.

Pria itu balik badan, melenggang pergi begitu saja, "Tangkap lima ikan jika kau masih ingin ikut denganku," ucapnya, melambaikan tangan dengan santai sebelum mencari pohon yang lebat di sisi sungai, lantas duduk di bawah pohon sembari mengeluarkan botol bambu untuk ia minum air di dalamnya. Elang emas itu ikut mendarat di pundak tuannya.

Alis Mona terangkat, matanya tanpa sadar bersinar ketika tahu pria itu mengizinkannya untuk ikut. Dia tidak akan lagi mengendap-endap seperti penguntit sialan yang menyedihkan. Mona seketika membuang muka, "Dasar pak tua payah! Menangkap ikan saja tidak bisa!" gerutunya, meski ujung telinganya terlihat memerah terlihat di antara cahaya pagi.

Pria itu menatap Mona yang mulai melepaskan kaus kaki panjangnya, dan perlahan-lahan turun ke sungai. Ia memilih untuk bersantai, membaringkan tubuhnya dengan menyilangkan tangan di belakang kepala sebagai bantalan, menunggu Mona mendapatkan ikan. Mona dengan setengah serius menerjang arus sungai dangkal, matanya bergerak-gerak untuk menargetkan ikan yang akan dia tangkap.

Akan kutangkap sepuluh ikan, moya!

***

"Lambat," pria itu menguap tak bersalah. Hari mulai siang dan dia sudah malas menunggu Mona dengan siklusnya yang berulang-ulang, berdiri tak jauh dari bibir sungai sembari mengetuk-ngetuk tanah dengan ujung kakinya.

"Cih! Tunggu dulu! Aku sudah dapat—eh!" Setiap kali Mona menangkap ikan, tangannya tergelincir hingga ikan itu kembali melompat ke air. Gadis itu sudah basah kuyup. Tak satupun ikan yang berhasil dia tangkap, yang ada hanya membadut, ketika melihat ikan, dia hanya menangkap air kosong, atau malah tergelincir lumut di dasar sungai. Begitu terus menerus sampai dia juga bosan dan frustrasi sendiri.

Mona menyeringai ketika dua tangannya mencengkram erat seekor ikan, dia buru-buru hendak ke tepi, "Lihat! Aku dapat!"

Pria itu mengangkat alis, melihat Mona naik ke daratan. Mona menjulurkan tangannya, hingga pria itu melihat hasil tangkapan Mona. Wajah cengo pria itu hanya mampu mengundang tatapan tajam. Bagaimana tidak? Yang Mona tangkap itu anakan ikan. Bukan induk ikan, atau ikan yang lebih besar.

"Lima ikan, bukan berarti anakan ikan, bodoh." Tangan pria itu menjentik dahi Mona, gadis itu tersentak ke belakang tanpa tahu apa yang terjadi. Kakinya kehilangan keseimbangan sebelum dia terjungkal ke sungai.

Mona mengibas-ngibas kepalanya yang basah, dia terduduk di dasar sungai dangkal itu, "Kau tidak bilang jenisnya, dasar pak tua!" protesnya.

Raut wajah Mona berubah ngeri ketika merasakan hawa dingin disekujur tubuhnya sampai buat merinding. Bukan karena air sungai itu, tetapi berasal dari tatapan tajam pria yang sekarang menjulang tinggi di depannya, dengan seekor elang emas yang bertengger di bahunya begitu gagah menurut. Mata biru Mona seperti terhipnotis beberapa saat oleh tajamnya tatapan itu.

Suara rendah pria itu tidak main-main kali ini, "Musuh tidak akan memberitahu jenis kekuatan apa yang dia inginkan darimu. Itu pelajaran pertamamu."

Pria itu melangkah ke samping Mona yang seketika burung elang emas itu mengepakkan sayapnya ke angkasa. Pria itu melewati Mona tanpa melepaskan jubah hitam yang kini berkibar oleh hembusan angin dari aliran sungai. Mona menoleh kebelakang, hanya untuk melihat pria itu bergerak begitu cepat, menghentakkan tangannya ke dalam air hingga menimbulkan gelombang kecil dan cipratan air ke arah daratan dan wajahnya. Mata Mona terbelalak, tubuhnya menegang ketika melihat tangan pria itu berhasil mencengkeram seekor ikan besar dan dengan santai melemparkannya ke bibir sungai.

Mata kuning pria itu mengilat ketika melirik Mona dari balik bahunya, seolah-olah menyala dalam pandangan Mona.

"Jangan panggil aku 'pak tua', bocah."

つづく

ーARIGATO FOR READINGー
THANKS (⌐■-■)

Antagonist on BellatrixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang