CALVARY 9

28 5 0
                                    

"Tuan Swozard ke-enam belum kembali dari puncak menara."

Seorang ksatria menara sihir menatap gugup pria tua di depannya. Ia salah satu penggemar Profesor Han dulu, ketika Profesor Han menjadi Master Swozard V, dan dia masih mengikuti akademi pelatihan ksatria sihir. Sedangkan Profesor Han yang ditatapnya tengah menghela napas tipis, frustrasi. Satu hari lamanya perjalanan dari akademi ke menara sihir ini. Sampainya di sini, Master Swozard VI justru sedang bermeditasi.

"Apa yang tengah beliau lakukan?" tanya Profesor Han. Dia terlihat tergesa-gesa. Mau bagaimanapun ini tentang Tiegar, Arcana Soul liar yang pernah menjadi sang kehancuran kekaisaran, "Ada yang hendak aku jelaskan padanya. Ini penting. Beliau juga sudah mengirim surat padaku."

Ksatria itu nampak ragu, tapi dia mengangguk, "Saya juga diberi perintah untuk menyampaikan pesan beliau untuk Anda. Jika anda berkenan, menunggu dua hari adalah satu-satunya cara. Puncak menara menjadi tempat terlarang untuk dikunjungi oleh siapapun, kecuali—"

"Ya, aku tahu. Aku pernah di posisi itu," sela Profesor Han. Dia juga tahu peraturan mutlak di menara Swozard.

Puncak menara adalah tempat agung, hanya seorang penerima gelar 'Master' Swozard dan Arcana Soul-nya yang bisa masuk. Untuk mantan Master Swozard seperti Profesor Han, itu terlarang bagi mereka. Karena di sana terdapat garis sihir, yang hanya bisa dilangkahi oleh pemilik kekuatan turun menurun. Ini disebut 'Reinkarnasi Swozard'. Kekuatan yang disalurkan ke orang terpilih, dari pilihan Swozard itu sendiri. Profesor Han memilih Master Swozard VI, seorang ahli bela diri, muridnya dulu.

"Baiklah. Aku akan menunggu," ucap Profesor Han, menghela napas tipisnya lagi. Dia harus menyewa kamar lagi, mengeluarkan uang lagi, menyewa kereta kuda lagi, dan sialnya itu jauh dari sini. Cepatlah turun, Dimitri. batin Profesor Han, menghela napas berat.

Penjaga ksatria itu tersenyum tipis, tatkala dirinya menyadari rasa dilema Profesor Han yang tampak di raut wajahnya yang muram, "Bagaimana jika saya siapkan kamar kosong di menara?"

"Ahaha, ide bagus. Aku terima tawaranmu." Profesor Han langsung sumringah, tertawa khas dibalik jenggot putihnya yang membuat ksatria itu tersenyum kikuk.

***

"Lagi."

Mona menggeram ketika dia sudah tepar di tanah. Dadanya kembang kempis, rambutnya amburadul, dan kemeja putihnya sudah kusut, dekil oleh debu. Gadis itu membaringkan tubuhnya di tanah, terlentang seperti di atas hamparan salju. Mereka masih di sana. Di sekitar hulu sungai yang menjadi tempatnya mencari makanan. Sayangnya tujuan mereka lain, menjadikan tempat itu juga sebagai tempat latihan, apalagi, sekarang Mona diangkat menjadi seorang murid dadakan, yang harus ia jalani jika ingin tetap bersama pak tua itu.

Karena mereka sudah membuat kesepakatan. Kesepakatan yang menguntungkan Mona untuk tetap mengikutinya--daripada tidak memiliki tujuan--dan menguntungkan bagi Pak tua untuk tetap mendapatkan babu. Yah, maksudnya dia ingin melatih Mona menangkap ikan, alih-alih dirinya dan burung favoritnya harus turun tangan.

"Capek—" suara Mona tersendat oleh napasnya sendiri, "Istirahat sebentar, Guru Hawk." Dia lelah. Lelah mengejar Valk yang terbang begitu cepat di angkasa, dia harus menangkapnya sebelum sore, sayangnya, sore tiba pun dia belum mampu menangkap Valk. Itu atas perintah Guru Hawk—nama Pak tua itu yang kini Mona ketahui dan Valk adalah nama elang emas peliharaannya, "Aku lapar."

"Kubilang aku tidak punya makanan untuk pengemis sepertimu—"

"Kemarin gelandangan, tadi pagi gembel, sekarang pengemis, maumu apa, Pak Tua!" protes Mona, mengangkat kepalanya dengan tanda perempatan silang di pelipisnya, yang seketika mendapatkan sentilan dari paruh Valk yang mematuk dahinya hingga kepala Mona kembali terbaring ke tanah, gadis itu sampai berguling-guling karena sakit, "Elang botak sialan! Sakit, moya!" gerutunya.

Valk menggeram seolah-olah menahan diri agar tidak mencabik-cabik Mona. Dia itu Elang Emas yang gagah, bukan seekor Elang Botak. Matanya menyalang ke arah gadis itu, jika bukan karena tangan Guru Hawk yang mengelus kepalanya, mungkin Valk benar-benar akan menyantap Mona untuk makan malam.

Mona merinding melihat Valk, bukan karena takut, melainkan rasa kesabarannya akan segera menipis untuk menjadikan Valk sebagai daging panggang. Ia sudah lapar. Dua hari hitungannya, dia tidak makan apapun! Perutnya keroncongan. Guru Hawk padahal menyadarinya sejak ketika melihat Mona tadi sudah tidak terlalu berisik seperti beberapa waktu sebelum latihan, dan sering sekali mengelus perut. Meski begitu Mona jarang mengeluh.

Pria itu menatap langit sejenak, matahari sudah mulai tenggelam dari ufuk barat. Cahayanya mulai menjadi jingga menyala, sebelum meyakinkan langit untuk berganti malam, "Pergilah, kumpulkan kayu kering," Guru Hawk memerintah, melepaskan jubahnya dan menggulung ujung celana panjang hitam yang dia pakai.

Alis Mona terangkat, wajahnya meminta protes, "Kenapa tidak kau saja—Akh!" belum selesai kalimatnya, dahinya sudah terhentak karena sundulan dari Valk. Burung elang itu benar-benar galak, tak habis pikir tingkahnya terhadap Mona. Mona mengusap dahinya, mengerucutkan bibir, "Dasar burung plontos!"

Valk menggeram, Mona menjengit ketika mendapatkan tatapan menajam dari Valk. Elang Emas itu menerjang ke arah Mona yang seketika bangkit dan berlari terbirit-birit ke sisi hutan. Meskipun satu dua kali Valk berhasil mematuk puncak kepala Mona.

"Jauh-jauh dariku, dasar botak! Shuh! Shuh!" Mona berseru, protes. Tentunya itu justru menimbulkan Valk semakin marah mengejarnya.

Guru Hawk menghela napas untuk kesekian kalinya, sudah lelah dengan tingkah Mona yang terlalu 'bersemangat' dan 'energik'. Berkebalikan dengan sifatnya yang tenang dan malas. Dasar anak muda.

***

Mona membuka mulutnya lebar-lebar, ketika seekor ikan bakar hasil tangkapan Guru Hawk berhasil dia dapatkan dari kerja kerasnya mengikuti pelatihan yang tidak terduga itu. Sedangkan sang empu yang bertugas 'memasak' ikan bakar itu hanya bisa menatap dengan ekspresi datar. Matanya melihat dari atas ke bawah, mengira-ngira berat badan Mona, dan kapasitas makanan dalam perut murid dadakannya.

"Apa perutmu terbuat dari karet?" terka Guru Hawk tiba-tiba, mengundang suara Valk yang nyaring nyaris melengking seolah tertawa meledek, cakarnya mencengkeram seekor ikan mentah. Sedangkan sang empu yang sejak tadi disindir menatap tak paham. Dengan mulut penuh bicara, "Memang mengapa?"

"Lima ikan kau habiskan sendiri. Hampir setulang-tulangnya," jawab Guru Hawk, menghela napas tipis dan memakan ikan bakar yang sudah masak. "Aku tidak akan bertanggung jawab jika perutmu sakit."

Mona justru tersenyum lebar dengan mulut penuh, tangannya mengepal, menghentak beberapa kali ke dadanya, bangga, "Aku tahan banting, moya!"

Sebaliknya dari rasa bangga, guru barunya itu justru menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir. Mona itu kurus dan pendek. Ketika makan dengan mulut penuh dan belepotan, justru terlihat seperti ... "Kau terlihat seperti tupai."

"Eik! Mana ada!" protes Mona, mengunyah makanannya dengan pipi menggembung karena terlalu banyak gigitan yang masuk. Dia tidak mau dibandingkan dengan binatang pengunggis buah-buahan itu. Lagipula dirinya itu hampir 2 hari tak mendapatkan makanan. Diejek perut karet pun tak masalah, asalkan bukan binatang pengunggis itu. Dia hampir tak habis pikir ketika membayangkan dua giginya tubuh besar di atasnya saja.

Habisnya Guru Hawk melihat sisi Mona seperti itu. Tidak ada yang beres dari gadis itu, terlihat seperti anak kecil ingusan di mata sang Guru yang baru ia jumpa dua hari lalu. Penyelamatnya.

Sebenarnya Guru Hawk penasaran dengan Mona. Bagaimana gadis itu bisa berada jauh di dalam hutan, di tengah hujan lebat dengan segelintir luka di tubuhnya? Memakai seragam formal akademi, dengan jas almamater yang sedikit robek di lengannya, dan dalam keadaan syok hingga jatuh pingsan. Namun, Guru Hawk tidak bisa menanyakannya. Lebih tepatnya, dia tidak mau bertanya.

Dia menatap Mona yang asyik dengan santapan malamnya, meletakkan ikan itu di atas alas daun besar sebagai piring ala kadar.

"Apa kau tidak penasaran siapa diriku?" tanya Guru Hawk, dengan mata kuning seperti mata elang itu semakin menyipit ke arah Mona.

つづく

ーARIGATO FOR READINGー
THANKS chip! 🐿️

Antagonist on BellatrixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang