Hidup Pasti Ada Masalah

20 1 0
                                    

Marlina Puspas Indah sosok perempuan berumur 25 tahun berparas cantik, postur tubuh ideal. Satu tahun baru lulus kuliah S1 di salah satu universitas yang ada di Bandung. Lulusan sastra murni. Memang tidak nyambung dengan pekerjaannya sekarang. Tapi itulah kehidupan. Setiap orang punya jalan masing-masing tidak ada yang tahu. Pepatah orang Sunda mengatakan jodoh, bagja, pati, cilaka sudah ada yang mengatur. Pun demikian yang Marlina rasakan. Dia memilih menikmati hidup. Begitulah cara hidup.

Rambut Marlina terurai, keringat membasahi sekujur tubuh dan wajahnya. Marlina rasa perlu menetapkan hari ini adalah hari tersial dalam sejarah hidupnya. Langkahnya berlarian cepat, melintasi halaman perkantoran. Rusak semua dandanannya. Siang ini angin bertiup sangat kencang sekali bercampur dengan asap kenalpot kendaraan yang terjebak macet di beberapa ruas jalan kota Bandung. Beberapa daun jatuh berguguran, mendarat di tubuhnya, Marlina menepis beberapa daun yang jatuh ke kepalanya, lalu merapihkan sedikit anak rambutnya. Tinggal naik ke jembatan penyebrangan maka tibalah dia di tempat kerjanya. Mentiti anak tangga satu persatu, melintas dua anak perempuan, anak SMA seusia adiknya, yang sedang cekikikan menuruni anak tangga. Marlina berdecak kesal. Apa mereka mentertawainya. Marlina berpikir positif.

Dengan langkah lebar-lebar, Marlina menyebrangi jembatan penyebrangan. Melintasi seorang kakek itu yang usianya sudah senja, berbau minyak angin yang menyengat, sedang berjalan perlahan dengan tongkatnya. Nyaris saja Marlina menabraknya, jika tidak segera melangkah ke samping dan mencari celah jalan yang lain. Udara yang ekstrim membuat angin berhenti mendadak dan segera menjebak semua manusia yang sedang beraktivitas.

Marlina tetap menyalahkan Sahlan atas semua kejadian yang menimpaknya.

Terpaksa pagi tadi, Marlina membuat desain ulang karena permintaan kelayan. Kelayannya mengancam akan menarik kerja sama yang beberapa bulan lalu yang telah di sepakati. Marlina harus memastikan ulang request, desain baru dari kelayannya itu.

Beruntung Bu Nita senang dengan hasil desainnya. Dua jam Marlina membuat desain itu. Bu Nita membawa desain itu pergi. Bu Nita bilang akan membawa desain itu untuk di jahit di langganannya. Baju yang menurunya 'rusak' semula dia oggokkan saja dimejanya Marlina, tapi kemudian dia ambil kembali dengan alasan tidak mau rugi.

"Baju ini akan saya perbaiki dan saya akan berikan ke tetangga saya!"

Bu Nita seraya membanggakan diri lalu menghilang bak di telan bumi.

"Silahkan saja."

Dalam hatinya Marlina.

'Silahkan saja bawa Bu, mau di kasih ke tetangga, di jual atau pun di buang, aku tak perduli.'

Marlina mengomel sendiri.

Ketika Bu Nita sudah pergi, aku memanggil Siti, quality control para penjahit, bersamaan dengan Ai sebagai pimpinan produksi. Mereka yang harus bertanggung jawab. Marlina tidak memarahi para pekerjanya. Marlina malah memberi kesempatan untuk para pekerjanya berpikir, karena menurutnya sebuah kerja sama tim itu akan lebih baik.

Tentunya Marlina menahan diri agar tidak mengucapkan kata-kata kasar, Marlina menyadari jikalau dia memarahi para pekerjanya nanti usahanya yang dia rintis dari nol akan bangkrut. Mungkin bisa saja Siti akan kabur karena tidak betah di sini.

Marlina marah dengan elegan dengan suara yang pas, tidak menyinggung atau menyalahkan. Bagaimanapun Siti adalah salah satu karyawan terbaik, sekaligus temannya Marlina.

Lega karena semua emosi Marlina sudah di kuras, Marlina mencoba menelepon Sahlan untuk meminta maaf. Rasanya tak mungkin dia masih menunggu di kafe itu. Marlina harap Sahlan mau memahami situasi yang menjengkelan ini. Tapi teleponnya Marlina sama sekali tidak di angkat oleh Sahlan. Hanya membalas chat di whatsapp, yang membuat Marlina melongo.

'Padahal aku sudah menunggumu dari tadi, kemana aja sih.'

Rahang Marlina nyaris jatuh setelah membaca pesan. Ruang kerja berukuran 3 x 4 meter, mendadak jadi sempit menghimpit. Marlina sesak napas. Nyaris pingsan, lalu dia bergegas menemui Sahlan menuju kafe, Marlina berharap dia masih di sana.

Marlina segera membawa mobil tuanya, Mercedes-Benz C-Class W204. Di tengah perjalanan menuju Mimiti Coffee & Space di Jalan Bukit Pakar Timur nomor 7, Dago atas ini menjadi pilihan yang tepat bagi Marlina dan Sahlan. Ketika perjalan menuju kafe tidaklah macet karena mungkin saja orang-orang di kota ini lagi sibuk dengan dunianya sendiri atau lagi pada di ruamnya masing-masing.

Sampailah Marlina di parkiran, lalu dia memarkirkan mobil kesayanganya. Lutut Marlina lemas, bahunya melorot hingga terjatuh di atas meja. Gara-gara Bu Nita yang cerewet itu, hingga Marlina harus kehilangan momen bersama Sahlan. Untuk memperbaiki hubungan yang miskomunikasi waktu yang lalu, karena ketika pacaran dengan Sahlan banyak masalah, dari mulai harus membagi waktu ketika kerja dan momen mereka bersama. Bukan Marlina saja yang sibuk dengan dunia kerja. Sahlan pun sama sibuk harus meeting dengan kelanyannya di kantor. Atau hal yang lain yang membuat hubungan mereka tampak merenggang.

Marlina bergegas mengumpulkan tenaga untuk berdiri, merapihkan pakaian dan dandannanya yang sudah hancur. Marlina merapihkannya di sebuah toilet di kafe itu.

Marlina pun begegas mencari batang idungnya Sahlan, akan tetapi setelah Marlina berkeliling ke semua spot tempat itu, tidak ada Sahlan. Marlina pun bertanya ke barista kafe itu, kebetulan hubungan Marlina dengan barista dan pegawai kafe sudah dekat, buka hal yang baru, karena sudah hampir dua tahun Marlina suka nongkrong di kafe.

"Sakii, kamu tadi lihat Sahlan gak di sini?"

"Oh iya, tadi ada di sana, di meja nomor 5, gak tahu sekarang sepertinya tadi dia lagi galau."

Sakii menunjuk meja nomor lima tanpak tidak ada siapapun.

"Tapi gak ada... apa dia udah pergi? Ya..."

"Mungkin..."

Sakii pun beranjak mengantarkan kopi ke meja yang ada di pojokan.

Pikiran Marlina pun tak tenang, dan dia pun beberapa kali menelepon Sahlan tetapi tidak diangkat. Marlina mencoba menelepon sekertarisnya dan minta disambungkan dengan Sahlan, tapi sekertarisnya bilang kalau Sahlan tidak mau menerima telepon dari Marlina karena sedang meeting. Marlina terpaksa ke kantornya Sahlan sekarang.

Sepertinya Tuhan benar-benar sedang becanda. Mobil yang Marlina bawa bannya bocor. Sejenak Marlina berpikir ulang bagaimana caranya agar bisa ke kantornya Sahlan. Lalu sebuah ide muncul di kepala Marlina sambil berjalan menemui Sakii.

"Ki, aku mau ngomong!"

Sakii yang sedang duduk santai menghampiri Marlina.

"Ada apa?"

"Gini, kebetulan aku mau pulang, pas ke parkiran mobilku bannya bocor, aku boleh pinjem motor kamu gak?"

"Boleh saja... memangnya kamu bisa motor? Terus nanti mobil kamu gimana?"

"Aku titip aja sama kamu kuncinya, paling aku sambil minta tolong."

"Oke, minta tolong apa lagi?"

"Gantiin bannya, kebetulan aku bawa ban serep di bagasi mobil."

"Paling nanti aku ganti, setelah kafe tutup."

"Berarti malam dong?"

"Iya, tapi nanti kamu gak usah ke sini lagi, biar aku anter saja mobilnya ke rumah kamu, sekalian aku pulang."

"Seriusan... kamu baik banget."

Lalu Marlina bertukar kunci. Dan Sakii berjalan ke sebuah ruangan untuk mengambil helm motornya.

Untung saja siang itu, ban mobilnya Marlina bocor di kafe, coba saja kalau di tempat yang lain. Sungguh menyebalkan. Dan yang beruntungnya lagi Sakii adalah mekanik handal. Lalu Marlina pun pamit dan bergegas ke parkiran untuk berangkat menuju Jalan Cicadas. Motor Rx-King warna biru mengantarkan Marlina bertemu dengan Sahlan.

Bersambung.....

Marlina Puspa IndahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang