Duduk Berdua di Jalan Braga

26 2 1
                                    

Banyak kenangan yang harus berakhir untuk di tinggalkan.

"Aku marah kepadamu! Kamu telah menghacurkan perasaanku!"

"Kamu jangan marah dulu, aku bisa menjelakan semuanya kepadamu."

Matanya yang sayu berkaca-kaca lalu bulir air matanya jatuh, ia mencoba segera untuk menghapusnya. Cerita tentang perasaan yang serba salah atas tindakan, mencoba menjelaskan untuk bisa dimengerti.

Nuansa malam di tengah kota, pusat keramayan di Jl. Braga dekat dengan mall, biasa setiap malam minggu ramai orang-orang berlalu-lalang di sepanjang Jl. Braga hingga masuk ke dalam Jl. Asia-Afrika. Kafe-kafe dan restaurant berjajar menjajakan aneka makanah khas Bandung. Para plancong yang penasaran dengan hingar-bingar kota, yang kental dengan sejarahnya menjadi daya tarik wisatawan dari luar daerah hingga turis asing.

Malam yang menyakitkan penuh dengan teka-teki, pejelasan yang tercampakan. Sepasang kekasih sedang berdialog mesra di bangku terotoar jalan. Tempat yang romantis akan tetapi sayang, sepasang yang sedang beradu argument.

Marlina yang duduk berdua dengan Sahlan. Padangan yang tak mau terlepas dari gadis bermata sayu penuh bintang yang baru satu bulan menjadi kekasihnya.

"Sudah berapa lama, kamu jalan dengan perempuan itu!"

"Aku tidak bermaksud untuk menduakanmu."

"Buka itu yang aku tanyakan kepadamu Sahlan! Aku hanya bertanya sudah berapa lama?"

"Dengarkan, aku hanya mengantarnya, karena dia butuh pertolongan. Hubungan aku denganya hanya sebatas teman, itu aja tidak lebih dari itu. Dan aku mengenal dia sudah hampir dua tahun. Tapi kita hanya teman biasa."

Mencoba menjelaskan agar Marlina mengerti akan penjelsanya.

"Ya, kalau memang benar, tidak ada hubungan apa-apa buktikan saja, nanti!"

"Nanti akan aku buktikan."

Sahlan menghela napas panjang.

Tatapan matanya memudar seakan hilang kepercayan kepada Sahlan, sebagai seorang perempuan muncul rasa cemburu itu hal yang wajar, sebab disanalah letak kasih sayang yang sesungguhnya.

Sahlan mencoba menyentuh tanganya Marlina dengan perlahan.

Marlina menolaknya. "Sekarang coba kamu hubungi perempuan itu, bilang aku mau bicara!"

"Untuk sekarang dia tidak bisa di hubungi, karena harus merawat ibunya di rumah sakit."

"Berarti kamu bohong..."

"Aku tak bohong, besok aku buktikan, kepadamu."

"Aku tak butuh besok! Aku maunya sekarang titik."

Sahlan melingkarkan tanganya, perasaan bingung pun melandanya.

Lalu selang beberapa menit, karena tidak ada obrolan Marlina pun meminta izin untuk pergi.

"Aku mau pulang!"

"Biar aku antar ya."

Sahlan mencoba membujuk.

"Tidak, aku bisa pulang sendiri."

Tak berpikir panjang Marlina pun berdiri dan berjalan menuju perempatan. Sementara Sahlan mencoba mengejar Marlina yang sangat kesal dan marah. Sahlan menghampirinya, memegang tanganya namun dikibaskanya oleh Marlinan dengan sorot mata tajam, memberi isyarat untuk segera melepaskan tanganya. Sahlan hanya melihat dari jarak jauh dari tempat awal mereka duduk. Marlina pun perlahan mulai mengecil dan menghilang seperti ditelan bumi.

Nampak beberapa orang yang lalu-lalang pun seakan mentertawakan kisahnya. Kelap-kelip lampu menjadi sebuah pemandangan yang indah, namun malam itu berbeda hanya gelap dalam pikirannya.

Meski Sahlan tahu permasalahan yang akan dia lalui ketika menolong Ciara. Dia sudah berpikir panjang sebelum kejadian sekarang.

Sahlan pun mengalah untuk malam itu, ia tak mau memperkeruh kedaan.

Marlina berjalan menuju Jl. Asia-Afrika. Menatap malam dengan hati yang sakit, tak di sangka kisah cintanya yang di harapkan ternyata penuh dengan drama. Marlina menangis, tapi segera menghapus air matanya, menahan sakit yang sebenarnya telah ia buat sendiri. Permasalahan yang ia angkat dengan ego sendiri.

Marlina tidak langsung pulang, melaikan jalan memutar mengelilingi Gedung Merdeka, di samping gedung itu, sebelah kanan gedung marlinan melihat keramayan, hingga sedikit meredakan kesedihan yang menimpanya. Dia duduk di bawah pohon dalam Taman Cikapundung. Dilihatnya orang-orang yang sibuk dengan aktifitasnya.

Ketika Marlinan duduk diam, tiba ada yang mengkagetkan, seorang pengamen yang menyanyikan lagu yang tak merdu sedikitpun, seakan memakasa untuk dikasihani. Lalu memberikan uang kepada pengamen, agar pengamen itu cepat pergi meninggalkan dia. Momen sedih, marah berkecamuk dalam dirinya. Pengamen yang menyanyikan lagu, seakan mentertawakan kehiduapan dia sekarang. Mau marah, tak bisa. Marlina hanya bisa melampiaskan ke kesalannya itu dengan diam tidak bicara sedikitpun.

Malam itu, malam yang seharunya dinantikan Marlinan bahagia kini telah lenyap, bersama hujan yang tiba-tiba datang tak di undang. Orang-orang pun berlarian mencari tempat untuk berlindung sementara Marlina kaku terdiam tak bergerak, ataupun mengamankan dirinya dari derasaknya air hujan.

Semua pakaiannya basah, rambut panjangnya pun menjadi tempat berlabuh air hujan, sementara baju putihnya yang ia kenakan pun menjiplak pada lekukan badannya. Lalu selelang beberapa menit Marlina mengayukan tasnya. Dia mulai menyadari banyak barang berhaga yang ada dalam tasanya. Dia pun mulai melangkah menuju kerumunan orang-orang yang berteduh. Sebagian orang menatap Marlina. Orang mungkin berkata-kata, percuma saja berteduh, kalau sudah basah kuyup seperti itu. Terdengar oleh Marlina orang-orang membicakannya. Ada dari mereka yang berkata, mungkin dia ada masalah dilihat dari mukanya demikian. Tetapi Marlina menghiraukan perkataan orang-orang itu.

Marlina berdiri tegap di depan orang-orang, badanya pun yang kurus, tinggi menutupi sebagian orang, lalu ada seorang pria yang datang menghamirinya.

Mengalungkan Jaket parka warna hitam kepada Marlina.

"Kenakan jaket ini, tutuplah badanmu, orang-orang di belakangmu, memperhatikanmu."

Pria itu berbisik kepada telinganya Marlina. Lalu Marlina menatap pria itu tanpa berkata sedikitpun. Setelah menatap beberapa menit pria itu memalingkan muka lalu berlari kecil, sambil menutup kepalanya dengan tangan agar sedikit menepis air hujan dan menuju mobil yang ada di sebrang jalan.

Tiba-tiba ponselnya Marlina berdering berulang kali, dilihatnya pangilan dari Sahlan. Dia tidak mengangkat, atau menggubris panggilan dari Sahlan. Hujan pun mulai reda, tubuh Marlina mulai kedinginan, ia pun mulai pergi bersamaan dengan orang lain yang sedari tadi berteduh di tempat itu.

Marlina pun memesan ojek online lalu pulang dengan pakaian yang masih basah.

Tiba di depan pagar rumah, Marlina pun mengetuk-ngentuk pintu, setelah beberapa kali mengetuk akhirnya ada yang membukakan pintu. Kenok pintu itu di buka.

"Teh, kok ujan-ujanna sih."

"Mama ada gak De?

"Mama sama Ayah tadi ke rumah Nenek."

"Ada acara apa? Kok, Teteh gak di kasih tahu sih?"

Manda menutup pintu.

"Lagian, kan Mama tahu Teteh pergi sama Kang Sahlan ya..."

Marlina mulai berjalan menyusuri anak tangga ke lantai dua.

"Teh, Teteh udah makan belum? Tandi Bi Sanah masak buat kita makan, tapi Bi Sananya pulang dulu untuk selametan suaminya, katanya!"

"Iya... Teteh mau mandi dulu!"

Marlina beranjak pergi masuk ke dalam kamar. Sementara itu Manda kembali ke tengah rumah untuk belajar lagi, karena tadi sebelum membukakan pintu Manda lagi belajar, karena beberapa hari lagi akan masuk ke SMA.

Marlina pun mengambil handuk lalu mandi malam itu juga.

Bersambung...

Marlina Puspa IndahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang