Bab 19

1.3K 147 22
                                    

Lagi-lagi waktu berjalan begitu cepat, terlalu cepat sampi zee tidak sadar jika dirinya sudah memasuki akhir kelas 11. Hari ini adalah hari kenaikan kelas sekaligus kelulusan bagi angkatan eli. Acara kelulusan dan kebaikan kelas itu di lakukan di ruang auditorium yang di hadiri oleh seluruh siswa serta orang tua siswa.

Zee duduk di barisan tengah, tepatnya barisan para murid kelas 11. Mata zee bergerak mencari keberadaan orang tuanya. Ia tersenyum tipis ketika melihat mereka ada di barisan kursi khusus orang tua siswa.

Dari kejauhan, zee bisa melihat senyum bangga shani ketika mendengar nama eli di panggil sebagai murid berprestasi. Cio pun tengah asyik memotret anak sulungnya itu. Melihat kehangatan ketiganya, ada rasa sesak dan cemburu dalam hati zee.

Kenapa ya, mama nggak pernah senyum sehangat itu sama zee? Batin zee.

Zee pun tersenyum tipis. Ia ingin sekali berdiri di panggung sana dan menggenggam sebuah piala dan mendapatkan tatapan serta senyum hangat kedua orang tuanya. Namun nyatanya, ia tidak bisa. Ia tidak akan pernah bisa seperti eli.

Zee menunduk, memeriksa jam tangannya, kemudian pergi dari sana. Ia tak peduli jika saat ini acara belum selesai. Zee tidak ingin berlama-lama di sana dan memilih pergi sendirian untuk berkeliling kota tanpa arah.

Sudah hampir tiga puluh menit zee berkeliling ke sana kemari, sampai akhirnya ia memilih pergi ke studio milik adel. Sesampainya di sana, ia beranjak menuju meja yang tak jauh dari sofa untuk mengambil gitar. Ia pun duduk di sofa itu, lalu memetik gitarnya seraya bersenandung pelan. Sangat tenang sampai ia tidak menyadari kedatangan sahabatnya yaitu adel.

"Heh " ucap adel, membuat zee terkejut lantas menoleh.

"Lah, kapan lo dateng? " tanya zee.

"Barusan"

"Emang acara udah selesai? " tanya zee yang di jawab gelengan oleh adel.

"Lah terus lo ngapain di sini? "

"Ya balik. Ngapain lagi? Kan, bagian gue udah. Lagian acara lainnya itu khusus angkatan yang mau lulus doang" jawab adel, lalu memilih duduk di sebelah zee.

"Lo dari kapan di sini? " tanya adel

"Mungkin satu jam lalu" ucap zee seraya berdiri untuk menaruh gitarnya.

"Lo nggak mau temuin mama papa lo dulu? " tanya adel lagi.

Zee terkekeh pelan. "Ngapain? Mereka aja nggak nyariin gue".

Kemudian adel menyenderkan kepalanya di sofa itu, lalu mengulurkan sebungkus rokok.

"Mau ngerokok nggak? ".

Zee refleks memukul kepala adek pelan.

"Lo mau gue mati? ".

Ucapan zee membuat adel tertawa. Perempuan itu pun kemudian kembali memasukkan rokok itu ke dalam sakunya. Sementara itu, zee sudah kembali duduk di sebelahnya setelah menaruh gitar itu ke tempat semula.

"Del...., " kata zee.

"Lo keberatan nggak sih, selama ini suka gue repotin? Gue kan, suka numpang tidur di rumah lo".

"Apaan sih, ya enggak lah?! Jawab adel sewot sambil melempar tatapan kesal kepada zee.

"Rumah pemberian papa lo kata gue tempat ini aja zee. Nggak usah peduliin ucapan mama lo itu. Lagian kan, papa lo yang ngasih, bukan lo yang minta. Liat lo sekarang, udah kerja part time, pulang malem, terus harus nanggung uang kosan juga".

"Itu namanya perjuangan hidup del" ucap zee sambil terkekeh, meskipun sebenarnya adek tidak sedang melucu. Ia pun langsung mendapat pukulan di bahunya dari adel.

Azizi Dan LukanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang