Bagian 02

385 38 11
                                    

Nathan itu memang paling berbeda dengan ke enam saudaranya yang lain. Anak itu paling tak suka dengan yang namanya belajar, apalagi dengan pelajaran yang berhubungan dengan angka. Nathan bukan anak yang bodoh, namun tingkat kemalasannya memang sudah tak bisa di kondisikan.  Bagi Nathan, ia masuk sepuluh besar di kelasnya saja sudah sebuah keajaiban. Dari pada menggunakan otak, Nathan lebih suka dengan kegiatan yang menggunakan fisik, olahraga contohnya. Meski fisiknya kadang sensitif dan tak sekuat yang lain, tapi Nathan sangat suka dengan olahraga, sepak bola utamanya. Nathan adalah kapten tim sepak bola di sekolahnya, posisinya sendiri sebagai striker.

Kali ini setelah upacara selesai adalah pelajaran matematika. Sungguh, jika mata pelajaran itu bisa di musnahkan dari muka bumi, rasanya Nathan ingin memusnahkan matematika dari dunia ini. Herannya lagi, guru matematika itu tak pernah absen dalam kondisi apapun, Nathan curiga, sepertinya dalam kondisi hujan badai sekalipun gurunya itu pasti akan tetap datang ke kelasnya.

"Anak-anak, kumpulkan PR yang hari senin kemaren di atas meja Ibu!"

Nathan membulatkan kedua matanya saat mendengar ucapan Bu Riska, guru matematikanya itu.

"Emang senin kemaren ada PR ya, Ja?" tanya Nathan pada teman sebangku sekaligus sahabatnya, Reza.

"Mana gue tau! gue aja gak masuk senin kemaren." balas Reza, Nathan menepuk jidatnya, ia baru ingat senin kemarin Reza memang tak masuk sekolah karena mengunjungi neneknya yang sedang sakit di Bogor.
Lagi pula bertanya pada Reza tak ada gunanya, anak itu sebelas dua belas kelakuannya dengan Nathan, sama-sama urakan dan petakilan.

"Reza.. Nathan.. mana PR kalian? kalian belum ngumpulin ke depan?"

Nathan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"I—itu Bu.. PR nya udah saya kerjain, tapi bukunya ketinggalan."

"Kalo saya, hari senin kemaren gak masuk, Bu. Makanya gak tau kalau ada PR.. hehe."

Bu Riska hanya bisa membuang nafas lelah, menghadapi kedua murid bandelnya itu memang memerlukan kesabaran ekstra.

"Kalian ini, alasan saja terus!! bilang aja kalau gak ngerjain PR!" tegas Bu Riska.

"Nathan.. Reza!! cepat keluar dan lari keliling lapangan sepuluh putaran!"

"Bu... tapi—"

"Gak ada tapi, Nathan! atau mau Ibu tambahin hukuman kalian berdua?"

Pada akhirnya Nathan dan Reza hanya bisa pasrah dan menuruti ucapan Bu Riska, kini mereka tengah melakukan hukuman, berlari memutari lapangan sepuluh putaran di tengah cuaca panas terik setelah sebelumnya berdiri berjam-jam mengikuti upacara bendera, sungguh nikmat sekali bukan?

"Nat!! cepetan napa larinya! kayak keong lo larinya!!" ujar Reza saat melihat ke belakang dan Nathan tertinggal jauh di belakangnya, sementara Nathan, ia merasa nafasnya begitu terengah-engah saat ini, salahkan juga tadi pagi Nathan yang melewatkan sarapan hingga tubuhnya malah agak lemas.

"Bangke lo, Ja!! capek gue!!"

"Ya elah, masa kapten tim bola lemes gitu! biasanya juga lari sembilan puluh menit lebih aja kuat lo, Nat!"

"Bodo amat, engap tau! hah.... bangke... engap.. hah..." Nathan menghentikan laju larinya dengan kedua tangan yang bertumpu pada kedua lututnya. Biasanya ia kuat berlari berjam-jam tapi entah kenapa pagi ini ia merasa begitu kepayahan padahal baru beberapa putaran saja ia berlari.

"Payah lo, Nat!"

"Diem, gobl*k!! udah lah, males gue lari lagi, engap, Ja! gue mau ke kantin aja pengen beli minum!"

"Woyy Nathan!! Lo mau ketahuan Bu Riska hah!!"

Namun Nathan tak menghiraukan teriakan Reza, ia tetap berjalan menuju kantin.

EUPHORIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang