Bagian 11

302 46 13
                                    

"Bang Shandi, apa kita harus kasih tahu Mama sama Papa soal ini?" Kaffi membuka suara di antara keheningan yang seolah menyelimuti mereka.

"Kayaknya jangan dulu, Papa sama Mama lagi sibuk banget sekarang kalau kita kasih tahu pasti mereka kepikiran disana, nanti biarin Acil agak tenang dulu baru kita kasih tahu masalah ini sama mereka." ucap Shandi.

"Bang, gimana kalau kita coba kasih tahu Bang Yasa, siapa tahu Bang Yasa bisa hibur Acil." usul Dewa yang di setujui Shandi dan saudaranya yang lain.

"Kayaknya kita emang perlu kasih tahu Yasa, biasanya Acil selalu nurut kalau sama Yasa."

"Biar gue nanti yang telpon Bang Yasa. Oh ya, gimana kalau kita gantian aja jagain Acil nya, malam ini gue bakal nginep disini, siapa yang mau nemenin gue disini?" ucap Kaffi.

"Biar gue aja, El." ujar Kaffa menawarkan diri.

"Besok giliran gue sendiri, Dewa sama Dirga besoknya lagi." ucap Shandi yang di setujui adiknya yang lain, Shandi rasa berada di dekat Nathan untuk hari ini hanya akan memperburuk suasana hati adik bungsunya itu.

"El, gue mau pulang dulu buat bawa baju gantinya Acil sama baju ganti buat kita. Lo coba lagi temuin Acil, ya." ucap Kaffa dan dengan cepat Kaffi menyetujuinya.

Setelah memastikan kakaknya yang lain pergi, Kaffi pun memasuki ruangan Nathan. Bisa ia lihat adiknya itu tengah tertidur dengan posisi menyamping dan membelakanginya, namun Kaffi tahu adiknya itu hanya pura-pura tidur saat ini.

Kaffi membuang nafas panjang, rasanya sangat menyakitkan melihat adiknya yang biasanya ceria menjadi seperti ini.

Kaffi duduk di sisi ranjang Nathan dan mengelus lembut kepala belakang adiknya.

"Kalau lo mau nangis, nangis aja gak papa. Gak usah di tahan, Cil. Gue emang gak ngerti apa yang lo rasain saat ini, tapi gue percaya, adek gue itu kuat. Adek gue yang gue kenal itu selalu penuh semangat dan pantang menyerah, gue tahu lo hancur. Tapi gue gak mau lo terpuruk terlalu lama, gue pengen lo bangkit, Cil. Kalau lo ngerasa sakit, bagi sakitnya sama gue, sama abang lo yang lain. Lo gak sendirian, Cil."

Sesaat setelah mengatakan itu, Kaffi bisa mendengar suara isakan Nathan dan ia bisa melihat bahu adiknya yang bergetar, Nathan merubah posisinya menjadi duduk menghadap Kaffi dan Kaffi bisa melihat wajah adiknya yang basah oleh airmata saat ini.

"Gue harus gimana setelah ini, Bang? satu-satunya hal yang ngebuat gue ngerasa hidup udah gak bisa gue lakuin lagi. Gue harus gimana, Bang?"

Kaffi merengkuh tubuh adiknya, membiarkan Nathan menangis dalam pelukannya dan mengelus lembut punggung Nathan demi sedikit memberi adiknya itu kekuatan, bisa Kaffi dengar suara isakan adiknya itu semakin kencang dalam pelukannya.

"Apa ini karena dosa gue sama Mama Papa, Bang? Tuhan ngehukum gue kayak gini karena gue ngelawan mereka."

"Ssstt!! jangan ngomong gitu, justru Tuhan kasih ujian ini sama lo karena Tuhan tahu lo itu anak yang kuat. Tuhan sayang sama lo." ucap Kaffi lalu kembali mengelus dengan lembut punggung adiknya. Rasanya begitu menyakitkan melihat adiknya seperti ini.

Kaffi kemudian melepaskan pelukannya dan menghapus dengan lembut airmata yang mengalir di pipi Nathan. Kaffi bisa melihat Nathan nampak meringis seperti menahan sakit.

"Kenapa, Cil? kaki lo sakit?" tanya Kaffi yang agak cemas, Nathan hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Mau gue panggilin dokter?"

"Gak usah, Bang. Gak papa kok."

"Yakin gak papa?"

"Iya, Bang."

EUPHORIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang