1. Bertemu Amarish

385 27 0
                                    


**disclaimer!! Harusnya Amarish kelas 1 SMA

Gadis cantik dengan wajah campuran Jepang, Jawa, dan Arab itu keluar dari lift dengan pengandangan sang ayah sedang menyarap ditemani dua asisten pribadi laki-laki dan sekretaris pribadi yang cantik. Ayahnya tampak biasa saja, bahkan tatapannya hanya fokus pada makanan di piring.

Kediaman ayah dari Amarish sangatlah mewah. Semua serba modern, canggih. Rumahnya sudah seperti kerajaan saja, sangat luas, ditambah puluhan pesuruh dari mulai sopir, hingga perawat kucing khusus milik Amarish.

Amarish Queen Hartigan, anak tunggal kaya raya dari Hamish Pramudya Hartigan, pria tampan dengan tinggi 190 cm dan wajah keturunan Jawa, Jepang dan Arab yang kental. Amarish sejak kecilnya tidak memiliki ibu. Sang ibu meninggal dunia saat sebelum melahirkannya ke dunia. Jika terlambat lebih dari 1 jam, para dokter yakin dirinya ikut mati.

Meski menjadi anak tunggal, itu tak menjadikan Amarish mendapat kasih sayang yang cukup. Ayahnya selalu sibuk. Sejak kecil ia sering ditinggal dan hanya dibiarkan ditemani pelayan dan suster pribadi saja. Ayahnya adalah anak tunggal, menjadikannya tidak memiliki paman ataupun bibi.

"Morning, daddy!" sambut Amarish sangat hangat. Amarish sangat centil, menggemaskan didukung banyak manik-manis berbentuk hewan lucu di rambut, tangan, hingga kaki. Penampilannya selalu nyentrik.

"Hai! How was your sleep?" timpal Hamish, pria tampan itu menarik kacamata dan menyimpannya pada wadah.

"So good." Amarish tersenyum centil, lalu memberi kecupan pada pipi sang ayah. Sedetik setelah itu, ia menatap sinis pada sekretaris ayahnya agar menyingkir dari kursi yang paling dekat dengan sang ayah. Meja makan mereka panjang sekali.

Hamish berterima kasih. Ia mengusap hangat punggung sang anak. Senyumannya manis sekali.

Sejenak Hamish menelisik penampilan anak semata wayangnya. Ada yang aneh. Rok sekolah anaknya lebih pendek dari aturan yang ia ketahui. Namun, ia hanya mengedik saja. Anaknya adalah anak yang berprestasi baik di bidang akademik, ataupun non akademik, dan selalu membanggakan.

Sejenak Amarish menunduk menelisik roknya. Tatapan matanya sinis bercampur layu. Menatap pada sang ayah, ayahnya sudah sibuk kembali membahas urusan perusahaan. Tak ada respon dari ayahnya atas rok yang sangat pendek ini.

"Kemarin daddy ga datang perwalian buat aku?" tanyanya dengan chef undangan yang menyajikan kimbab di depannya.

"Hmm? No." Hamis menggeleng. Ia fokus membaca dokumen.

"Bu Pratiwi udah wanti-wanti banget, daddy. Padahal jadwal ketemu juga hasil keputusan bersama. Harusnya daddy dateng." Amarish menahan kecewa yang berat. Teman-temannya mempunyai ibu, dan ibu mereka lah yang dominan datang menghadap guru untuk perwalian. Jika ibu mereka sibuk, ada ayah, lalu bibi, lalu nenek. Tapi dirinya? Tidak ada.

"Daddy belum pernah jemput Ammy pulang sekolah. Apalagi anter."

Lagi, Hamish sangat fokus dengan dokumen-dokumen di i-Pad ataupun kertas. Ia menatap sesaat pada sang anak, lalu menyerahkan tumpukan kertas pada salah satu sekretarisnya.

"Ada Riko yang wakilin daddy. Riko jelasin kok apa aja yang dibahas." Hamish menggenggam dan mengusap tangan mungil sang anak. Ia tersenyum tipis dan mengedip lemah.

"Perwalian orangtua lho ini! Daddy orangtua aku, kan?!" timpal Ammy bernama frustasi dan sedikit meninggi.

"Ammy! Jaga bicara kamu!"

"But-." Ammy tergagu tak percaya menatap pada sang ayah. Ya, ayahnya sangat tegas dan tidak menerima penolakan. Mata ayahnya melotot tajam.

Menatap sekretaris ayahnya yang menunduk membuang muka karena menahan tawa membuat Ammy perlahan berdiri dengan kedua tangan mengepal kuat. Tatapannya begitu menusuk pada sekretaris itu.

Asmara PrincessaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang