3. Hukuman

87 54 42
                                    

للهم صَلِّ عَلى مُحَمَّدٍ وَّعَلى الِه وَسَلِّم<>

مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً وَاحِدَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ وَحَطَّ عَنْهُ عَشْرَ خَطِيئَاتٍ

"Barangsiapa bersholawat kepadaku satu kali, niscaya Allah bersholawat kepadanya sepuluh sholawat dan menghapus darinya sepuluh dosa" (HR. Ahmad)

Allah lebih mengetahui tentang jalan hidupmu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Allah lebih mengetahui tentang jalan hidupmu.
Sekalipun kamu menentangnya, jika itu adalah Takdirmu, kamu bisa apa?

Helga menatap anak gadisnya itu sebentar sebelum berucap "Mumpung ada Gus Zen disini, Ayah akan memberitahu apa hukuman yang akan kamu dapat kali ini."

Saat melihat Ayahnya berbicara serius Yaara membenarkan posisi duduknya. "Gak usah serius-serius amat dong yah, Yaara jadi takut nih," kata Yaara mencoba mencairkan suasana yang berubah menegangkan baginya.

Sambil menggelengkan kepalanya pelan, Helga mengelus rambut Yaara "Kali ini, kamu harus janji gak bakalan nolak hukuman yang akan Ayah berikan," ucap Helga.

"Ya hukumannya apa dulu?" tanya Yaara.

"Kamu harus janji dulu sama Ayah."

"Iya, iya Yaara janji gak nolak," pasrah Yaara.

"Ok, ucapan kamu sudah Ayah rekam, supaya kamu tidak mengubah keputusan yang sudah kamu ambil." Helga mematikan rekaman suara di ponselnya sambil tertawa sebentar saat melihat wajah Yaara yang cemberut.

"Ayahhh nyebelin! Terus hukumannya apa?."

"Hukumannya adalah kamu akan Ayah masukkan ke pesantren An-Nuriyah milik sahabat Ayah, Abahnya Zen," ucap Helga enteng.

"WHAT?! Pesantren?? Ayah bercanda kan? Gak mau Ayahhh, Yaara gak mau." Yaara refleks berdiri dan langsung bergelanyut manja di lengan Helga.

Sedangkan Gus Zen, ia tak sekalipun melihat kepada Yaara. Ia hanya menyimak obrolan Bapak dan Anak didepannya itu, tanpa ikut menimpali obrolan mereka.

"No, janji tetaplah janji. Ayah sudah membicarakan ini dengan Gus Zen."

***

Pagi harinya, Yaara sudah bangun pada jam 06.00. Bukan baru bangun tidur, tapi lebih tepatnya ia tak bisa tidur karna memikirkan nasib dirinya hari ini yang akan masuk pesantren.

Masuk pesantren bagi seorang Yaara adalah sebuah siksaan tersendiri. Ia yang minim ilmu agama dan nakalnya naudzubillah malah disuruh jadi santri yang kalem dengan segala peraturan, apa gak bakalan tersiksa hidupnya?. Yaara mendudukkan dirinya diatas kasur mencoba mencari cara agar keluarga pesantren merasa ilfeel saat melihatnya nanti, dan berujung ia ditolak di pesantren.

"Nah gue tau." Yaara menjentikkan jarinya ke udara. Ia berdiri menghampiri cermin dan menatap dirinya sendiri sambil tersenyum devil. "Ayo Yaara, lo pasti bisa bikin mereka ilfeel sama lo," gumamnya.

Sementara itu Helga yang sudah siap kini sedang menanti Yaara dibawah. Ia terus beristiqfar karna anaknya itu lama sekali untuk turun.

"Bi Sari minta tolong panggilin Ya- ASTAUFIRULLAH, kenapa model jilbab kamu seperti itu Yaara?!," Helga tak jadi meminta tolong Bi Sari ketika matanya menangkap seorang gadis bergamis putih dengan jilbab pasmina berwarna senada yang hanya di pakai dikepalanya tanpa jarum sedang menuruni tangga dengan high heels tinggi.

Yaara berjalan menghampiri Ayahnya "Apa sih yah, iya Yaara tau kalo kecantikan Yaara sekarang nambah berkali-kali lipat, gak usah sampe segitunya juga dong natap Yaara." Kata Yaara dengan percaya diri. Walau pada kenyataannya, ia memang tampak lebih cantik menggunakan jilbab dan gamis.

"Ayah gak bilang gitu. Itu kenapa kamu pake heels? Sama jilbab kamu kenapa hanya dipakai seperti itu? Mana gak pake ciput lagi. Astaufirullah Yaara ingat kita mau ke pesantren, bukan mau jalan-jalan," ucap Helga merasa jengah dengan seluruh tingkah Yaara.

Yaara melihat penampilannya sebentar sebelum memilih mengapit lengan Helga dan membawanya ke luar menuju mobil. "Sttt, gak ada yang salah dengan penampilan Yaara. Mending kita berangkat sekarang ke bandara sebelum ketinggalan pesawat kan?."

Ya, Helga dan Yaara akan menggunakan pesawat untuk ke pesantren An-Nuriyah yang letaknya berada di Jawa Timur. Karna jika mereka menggunakan kereta dari Jakarta, pasti hal itu masih membutuhkan waktu 9-10 jam untuk sampai.

"Ayah selalu mencoba ekstra sabar menghadapi kamu ra. Entah bagaimana nanti kalo kamu udah punya suami? Apa gak pusing tujuh keliling suami kamu ngadepinnya." Helga memejamkan matanya sambil menyandarkan tubuh pada kursi mobil. Sedangkan sosok yang selalu menguji kesabarannya hanya bersantai ria sambil memainkan ponsel tanpa peduli dengan perkataan Ayahnya.

***

Setelah beberapa jam didalam pesawat, kini Yaara sudah berada di dalam mobil yang disewa Ayahnya untuk mengantar mereka berdua menuju ke pesantren.

Yaara melamun sepanjang perjalanan sembari menatap pepohonan yang seakan melambai-lambai kepadanya. Ia memikirkan apakah cara yang ia gunakan akan mampu membuat mereka ilfeel padanya? Bagaimana jika tidak?.

Menarik nafas pelan, Yaara menatap Ayahnya yang tertidur disampingnya.

"Ayah, maafin Yaara. Karna Yaara Ayah jadi kelelahan begini, karna kenakalan Yaara Ayah kewalahan sampai-sampai mau memasukkan Yaara ke pesantren. Maafin Yaara, tapi Yaara tetep gak mau, Yaara usahain agar tidak masuk pesantren. Yaara gak mau, Yaara nakal, Yaara tak pantas. Namun, kalo disana Yaara bisa ketemu banyak pangeran-pangeran tampan seperti di novel-novel, maka gak papa deh Yaara ridho. Serius," batin Yaara absurd. Entah karna apa, ia malah kepikiran tentang santri putra yang tampan-tampan seperti di tik-tok yang lewat diberandanya. Astaufirullah Yaara tobat, tobat.

Tak ingin kembali berperang dengan pikiran yang berkecamuk, Yaara memilih ikut memejamkan matanya karna jarak ke pesantren An-Nuriyah masih sekitar satu jam setengah. Sedangkan dirinya sudah amat sangat lelah, sebab dari semalam belum tidur walau sedetik. Tak butuh waktu lama, Yaara sudah masuk kedalam dunia mimpi.

***

TAKDIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang