5. Theresia's World

16 6 4
                                    

Ditulis dari sudut pandang si puan bersurai hitam, Theresia Arum Thalia.

•••

Jika minggu adalah hari bersantai untuk semua orang maka tidak untuk seorang Theresia, gadis itu memilih untuk mengunjungi butik dan toko buku di semua tempat.

Coping mechanism, katanya, sehabis 'hari buruk karena Laut' gadis itu memilih berbelanja, entahlah berapa kali ia menggesek kartunya.

Gadis itu menyusuri seluruh sudut kota, hingga ia berhenti di sebuah coffee shop dekat dengan toko buku yang baru saja ia kunjungi, memesan chocolate cake kesukaannya serta vanilla latte hangat.

Tidak ada yang spesial hari ini, hanya Theresia dan patah hatinya. Gadis itu sibuk menggulir handphonenya, beberapa kali menyesap kopinya.
Terkadang, ia memerhatikan sekitar, entah buat apa.

Pada akhirnya, netranya berhenti ke sudut cafe itu, ia menaruh handphonenya lalu menatap ke sudut cafe lamat-lamat. “bitches!” celetuknya, lalu mulai menghubungi Gisella untuk menyusulnya ke cafe.

•••

Entah sudah berapa lama netra coklat milik Theresia terkunci pada sudut cafe itu, tapi, Gisella sekarang bahkan sudah mendapatkan menu yang ia pesan.

Rinjani? right? udah kali, mata lo tuh copot lama-lama” Gisella sudah muak melihat sahabatnya itu, oh ayolah, mengapa tidak datangi gadis itu saja dan menjambaknya hingga kepala gadis itu botak.

Benar, Theresia mengunci netranya pada Rinjani, ia termenung sesekali.
Gisella yang muak itu menoyor kepala gadis cantik dengan otak bodoh itu, katanya.

“Diliatin juga enggak bakal paham, datengin elah! lo enggak sadar apa? kita duduk lebih jauh dari dia! ayolah, pukul aja kepalanya” Gisella menyerocos, gadis itu rasanya ingin mewakili Theresia bila tidak ditahan sedari tadi.

“Gi, am i too pathetic?” seseorang, pukul kepala Theresia sekarang.
“Enggak! lo itu goblok! ge ogo be obo el olo k, goblok!” singut Gisella lagi-lagi
“Perih juga ya, Gi, bayangin kalau tiba-tiba Kak Laut da-” nah mati kau disitu Theresia, lelaki yang baru saja ia sebut sudah mendekati gadis itu.

“Otak lo bisa enggak berpikir dengan baik?” Gisella memang duduk menghadap sehingga tidak menyadari mengapa temannya itu tiba-tiba terdiam.

Theresia menangis, Gisella baru sadar. Gisella menoleh dan benar saja, Laut sudah duduk bersama gadis bernama Rinjani itu.
Tidak, cukup, Gisella muak. Gadis berambut lurus itu menggebrak meja dan berjalan kearah Rinjani dan Laut.

“Althair Sandya” Gisella memanggil lelaki itu, membuat sang empunya nama terkejut
“Lo mau gue habisin lo apa butuh lawan kayak Jeremy?”

•••

Theresia mengusak wajahnya kasar, segera berlari kearah sahabatnya yang sudah melabrak lelakinya. Ia menggenggam tangan Gisella.

“Udah, Gi! enggak apa-apa, ayo balikk!!” rayu Theresia, hal itu hanya membuat Laut semakin mematung.

“Enggak bisa gitu! manwhore! what the fuck did you think?? you forgot your girl huh?” Gisella dan kesabarannya, oh rasanya Gisella bisa menendang kejantanan lelaki itu sekarang juga.

“Gisella, gue bisa jelasin! Re, enggak gitu! aku kerja, Re!” Laut membuka suaranya, Rinjani yang sedari tadi dia mulai bersikap sibuk “Sorry, kita beneran lagi bahas project kantor” kilah gadis itu

“Kocak! lo kira gue Theresia yang bisa lo bohongin gitu aja?? No, asshole! you'll never trick me! Kerja? kerja apa? enggak ada apapun di meja kalian, sialan!” omongan Gisella membuat Theresia diam, ironi sekali, rasanya memang Theresia mudah dibohongi.

The Apartment We Won't ShareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang