Bagian 17

936 36 4
                                    

"Maaf, saya terlambat bangun, Kak. Jadi nggak bisa bantuin Kakak nyiapin sarapan," ujar Kayla sungkan, saat ia tiba di ruang makan.

"Duh, Kay, kamu itu sudah jadi adik maduku. Cara ngomongnya jangan kaku gitu lagi ah!" tegur Asya.

"Iya, Kak. Maaf." Kayla tersenyum malu. Ia lalu duduk berseberangan dengan Asya dan Erik yang berdampingan.

"Dan perlu kamu ingat, di sini ... aku ratunya. Kamu adalah tamu di sini. Jadi, segala keperluan Bang Shabri adalah kewajibanku untuk menyiapkannya. Demikian halnya nanti di rumah yang sudah disiapkan Bang Shabri untukmu. Di sana, kamu ratunya. Jika aku mampir, maka aku juga adalah tamu. Bukan begitu, Bang?" Asya menoleh Erik. Wanita itu lebih suka memanggil Erik dengan nama hijrahnya.

Erik mengangguk. "Asya benar, Kay. Jadi, kamu tidak perlu sungkan jika Asya yang menyiapkan sarapan kita."

"Iya, Bang."

Kata-kata Asya sebenarnya terdengar aneh di telinga Kayla. Namun, tidak ada yang salah dari tujuan Asya menjelaskan hal tersebut. Mungkin, cara Asya menyampaikan saja yang agak terburu-buru sehingga ia tidak sempat mengatur untaian kata-kata yang lebih lembut.

Kayla berusaha memahami. Karena walau bagaimanapun, Asya adalah wanita yang harus ia hargai sebagai istri pertama Erik. Kayla tidak mau memantik api perselisihan sedikit pun. Ia harus belajar mengalah. Sebab, bukan tidak mungkin Asya akan memperlihatkan keegoisannya suatu saat dan Kayla harus belajar menahan diri.

"Kakak nggak ikut makan?" tanya Kayla, ketika tidak melihat Asya ikut sarapan dan hanya sibuk melayani Erik.

"Aku harus puasa sebelum menjalani operasi siang nanti."


***

"Oh, ya, Bang. Apa boleh, aku tidak ikut ke rumah sakit?" pinta Kayla, saat Asya sedang bersiap di kamarnya.

"Kenapa? Kamu capek, ya?"

Kayla mengangguk. "Apalagi karena anak-anak sudah ada yang menjaga, aku mau pulang saja ke rumah Ayah. Boleh, kan?"

Erik menatap Kayla, seperti sedang mencari tahu apa yang terjadi. Sepertinya, Kayla merasa tidak nyaman berada di rumah itu. Erik harus memakluminya.

"Kalu Abang keberatan, aku ikut apa kata Abang saja." Kayla pasrah saat Erik tidak menanggapi keinginannya.

"Ngambek, ya?"

"Enggak."

"Ya, sudah. Kamu siap-siap dulu, aku antar kamu pulang sekalian jalan ke rumah sakit."

Kayla semringah. "Terima kasih, Bang."

Erik tersenyum dan mengangguk. Ia membiarkan Kayla pergi ke kamar untuk mengganti pakaian.

***

"Abang dan Kayla tampaknya sudah dekat sekali. Aku senang melihatnya." Asya berkomentar saat mereka berdua menuju rumah sakit setelah mengantar Kayla.

"Oh, ya? Apa terlihat seperti itu?"

"Iya. Kalian seperti sudah mengenal lama. Seolah-olah sudah saling memahami."

Analisa Asya membuat Erik tergemap. Namun, ia tetap berusaha bersikap normal.

"Mungkin karena karakter kami cocok. Apalagi ... kamu sendiri yang memilihkannya untukku." Erik mencoba membuat Asya tidak berpikir negatif. Diliriknya wanita bercadar yang duduk di sampingnya. Lalu, ia meraih tangan kanan Asya dan menggenggamnya.

"Terima kasih atas semua pengorbananmu untukku, Sya," ucap Erik, kemudian mengecup punggung tangan Asya dengan mesra.

Asya menoleh dan tersenyum di balik cadar hitamnya. "Semuabtak sebanding dengan pengorbanan yang Abang lakukan untukku. Kalau saja tidak ada Abang waktu itu—"

Dikhitbah Masa Lalu (Dalam Proses Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang