"Eh, itu Eca! Dia mau kemana sih? Kok buru-buru gitu?"
Saat Evan dan Zefan keluar dari kelas dan bersiap untuk pulang, bertepatan dengan Eca yang keluar kelas dengan terburu-buru. Niat hati Zefan ingin memanggil, namun ia urungkan karena gadis itu tampak sangat tergesa-gesa dengan raut wajah panik.
Pandangan Zefan kemudian beralih pada Evan yang berada di sampingnya. "Lo ga ada niatan buat ngejar dia?" Pertanyaan itu membuat kening Evan mengerut. "Ngapain?"
Sudah ku duga. Ni anak kampret kaga ada rasa apa-apa sama Eca, njir.
Batin Zefan menjerit. Menatap Evan dengan tatapan menyebalkan.
Ponsel dari dalam saku Evan tiba-tiba berdering. Membuat laki-laki itu merogoh saku celananya, melihat siapa gerangan orang yang menelepon. Ia langsung mengangkat telepon itu.
"Iya, Pa? Andra masih di sekolah."
"Iya, Papa tahu. Nanti tolong kamu ke makam Mama, ya. Papa rencananya hari ini mau kesana, tapi malah kebentur jadwal. Bisa, kan?"
"Bisa. Andra juga ada rencana mau ke makam Mama habis pulang sekolah ini."
"Papa juga mau berangkat nih ke Bandung 3 hari. Tolong bilang ke Zara buat balikin mobil Papa yang dia pinjam."
"Oke, Pa."
Sambungan telepon itu dimatikan. Evan kembali menaruh ponselnya di saku celana. Ia lantas menuju ke parkiran motor, dan mencari letak dimana motornya terparkir. Setelah itu, ia melesat pergi meninggalkan area sekolah.
Jangan tanyakan kemana Zefan karena saat Evan menelepon tadi dia sudah pamit pulang duluan.
Beberapa menit kemudian, akhirnya ia sudah sampai di parkiran pemakaman yang sepi. Benar-benar tidak ada satu kendaraan pun yang terparkir disini. Tapi Evan memilih cuek. Ia melangkah masuk ke dalam area pemakaman.
"Mama, Andra datang. Maaf, Andra ngga bawa bunga. Papa ngasih tahu nya mendadak, mana sempat jadinya Andra beli."
Tatapan mata Evan melembut. Diusapnya batu nisan makam Ibunya dengan perasaan rindu yang teramat sangat. Tak lupa ia memanjatkan do'a dengan mata tertutup. Setelah itu, barulah ia beranjak pergi.
"Mama, Andra pulang dulu."
Evan bukannya tidak nyaman berada di sini lama-lama. Hanya saja ia sesak. Menatap makam ibunya yang sudah tidak ada di dunia ini membuat dadanya sakit.
Saat ia berjalan keluar dari pemakaman, netra Evan tak sengaja menangkap seorang gadis yang berjalan menunduk. Ia berjalan keluar dari pemakaman dengan masih mengenakan seragam sekolah. Tunggu, kenapa gadis itu terasa sangat familiar sekali?
Ah. Ia tahu. Gadis itu pasti Eca. Tidak salah lagi karena tas berwarna biru yang dipakai. Meski dia sering bersikap acuh tak acuh pada gadis itu, bukan berarti Evan tak memerhatikan semua yang dipakai Eca. Termasuk cardigan rajut yang sering dipakai. Untung saja gadis itu tak melihat dirinya. Jika iya maka bisa dipastikan Eca langsung heboh.
"Permisi, mas," Evan langsung menoleh saat ia merasakan pundaknya ditepuk seseorang dari belakang. Ternyata pria tua yang memanggilnya. Evan menaruh kembali helm yang tadinya ingin ia pakai. "Mas nya lihat ada perempuan yang keluar tadi? Soalnya dia ninggalin buku ini. Bajunya sama persis dengan baju yang mas pakai, baju seragam sekolah." Ujar pria tua itu sambil menyodorkan sebuah buku catatan berwarna biru pastel.
"Saya temannya, Pak. Biar saya aja yang kasih ke dia."
"Eh, beneran? Mas temannya Eca?"
Tunggu, kenapa orang ini terlihat sangat akrab sekali dengan gadis itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
My True Love
Teen FictionBanyak orang bilang, jika kamu mencintai seseorang, kamu harus mengejarnya. Jangan biarkan satu kemungkinan terburuk terjadi, dan kejar satu kemungkinan terindah. Antara dia yang akan luluh hatinya dan menerimamu, atau dia akan risih dan semakin men...